Semoga kalian menyukainya...
Happy reading guys...***
Pulang dari tempat less, aku langsung menuju kamarku. Menjatuhkan diriku di tempat tidur, lelah secara fisik dan batin menghadapi semua ini.Memejamkan mata, berharap saat aku membuka mata nanti masalah ini segera terselesaikan. Berharap ada suatu keajaiban yang membuat perasaanku padanya hilang tak berbekas dan aku bisa kembali melihatnya dengan cara yang sama seperti dulu, seperti caraku melihat yang lainnya tanpa adanya perasaan istimewa ini.
Belum juga aku terlelap dalam tidurku dan memasuki alam mimpi, suara pintu yang terbuka membuatku membuka mata dan menemukan bunda di sana.
Bangkit dari posisi tiduranku. Kulihat bunda tersenyum, berjalan menghampiriku dan duduk di sampingku. "Capek ya, sayang?" tanyanya penuh perhatian. Aku hanya menjawabnya dengan anggukkan.
Bunda merapikan rambutku yang sudah kusut, sambil memberikan senyuman menyejukkannya. "Tenang saja, sayang! Kamu hanya belum terbiasa dengan ini. Lama-lama kamu juga akan terbiasa dan nggak akan capek lagi," katanya menyemangati, aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum sekilas membalasnya.
"Oh iya, ngomong-ngomong bagaimana tadi?" tanya bunda antusias.
Sangat buruk. Ya, tempatnya baik dan cara mengajar bu Tiwi memang sangat mudah dipahami tapi dengan adanya Ervin di sana semua itu nggak ada artinya. Benar-benar nggak ada artinya.
"Bila... bagaimana?" tanya bunda lagi yang menyadarkanku.
"Emm... baik bunda, cara mengajar bu Tiwi sangat mudah untuk dipahami," jawabku jujur terlepas dari hal itu.
"Syukurlah kalo seperti itu. Yaudah, bunda tinggal dulu ya!! Pasti kamu mau istirahat, capek," kata bunda beranjak berdiri yang kubalas dengan anggukan.
"Oh iya, apa kamu mau makan sekarang sayang?" tanya bunda saat akan keluar dari kamarku.
"Tidak bunda, nanti aja. Bila belum lapar."
Setelah bunda pergi, aku kembali merebahkan tubuhku di tempat tidur. Tidak lagi berniat untuk tidur, mataku nyalang menatap langit-langit kamarku. Mencoba untuk merenungkan dan memahami jalan kehidupan seperti apa yang tengah kujalani ini.
Di saat aku berusaha keras untuk melupakannya dan menghapus rasa ini, kenapa seolah takdir selalu membawanya datang padaku dan menggagalkan semuanya?
Tadi selama sisa waktu less, aku berusaha untuk fokus dan mengabaikan keberadaannya. Cepat-cepat keluar dari ruangan saat less berakhir dan bergegas pulang ke rumah.
Aku berhasil mengatasinya hari ini. Tapi bagaimana dengan less di pertemuan yang akan datang? Mungkin jika di sekolah, peluang untuk bertegur sapa dengannya sangat kecil jadi tidak masalah. Tapi bagaimana dengan ini? Akan sangat aneh jika kami tidak saling bertegur sapa saat kami berasal dari sekolah yang sama.
Memijat kepalaku pelan, aku benar-benar bingung bagaimana harus mengatasi hal ini. Di satu sisi, tidak mungkin jika kukatakan pada bunda jika aku tidak ingin less di sana lagi, sedangkan tadi aku sudah memberikan kesan yang positif saat pertama less di sana pada bunda.
Bunda pasti akan bertanya-tanya kenapa aku tidak mau less di sana lagi dan jelas aku tidak bisa jika harus mengatakan alasanku yang sebenarnya. Aku juga tidak mau mempermalukan bunda dan membuatnya kecewa, apalagi saat tahu bu Tiwi adalah sahabatnya bunda dan terlebih lagi aku sendirilah yang setuju untuk less di sana.
Tapi di sisi lain, pecuma saja aku less di sana jika tujuan awalku tidak ada yang tercapai. Pertama, tidak bisa fokus pada materi yang diajarkan karena keberadaannya di sana, saat aku tahu pasti bagaimana pengaruhnya terhadap diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Is Never Enough
Ficção AdolescenteHanya sebuah ketertarikan itu tidaklah cukup untuk CINTA, butuh sebuah usaha dan bukti nyata hingga cinta itu bisa sempurna dan memberikan kebahagiaan pada orang yang bersangkutan. Itulah yang dialami Bila, cewek yang mencintai teman sekelasnya dala...