Semoga kalian suka ceritanya.
Maaf jika masih banyak typo.***
Masih teringat jelas saat kulitnya menyentuh kulitku tadi siang. Sengatan seperti tersengat listrik juga debaran jantung yang tak menentu, membuatku bergidik saat mengingatnya. Apa sebesar itu pengaruhnya pada diriku?Tadi setelah foto kami makan bersama di kantin, mumpung masih ada waktu sebelum bel istirahat berbunyi. "Lumayan bisa makan sepuasnya tanpa harus mengantri" kata Diki tadi saat kami hendak kembali ke kelas.
Saat makan aku mencoba mencuri pandang ke arahnya yang dengan santai makan dan mengobrol dengan Diki, membahas pertandingan sepak bola yang berlangsung semalam.
Kenapa dia bersikap biasa saja? Apa tadi nggak ada artinya buat dia? Bodoh kamu Bil, jelas saja tidak berpengaruh apapun untuknya. Kamu pikir kamu siapa? Rutuk dewi batinku.
"Ehh... Bil, kok diem aja. Makanan lo nggak enak?" tanya Nensy menyadarkanku.
"Iya nih, dari tadi Bila diem terus nggak asik tahu. Lagi mikirin apa sih?" Sambung Diki yang membuatku melihatnya. Dan tadi aku sempat melihat Ervin menatapku sekilas sebelum lanjut memakan makanannya. Apa itu tadi cuma fikiranku saja?
"Bil, lo nggak papa?" tanya Nensy lagi.
"Ehh... gue nggak papa kok. Udah yuk kita balik ke kelas! Keburu yang lain pada ngumpulin."
"Tapi makanan lo masih banyak tuh," kata Diki menunjuk semangkok bakso yang masih setengah.
"Biarin aja, gue lagi nggak laper. Udah yuk, buru!" kataku.
Saat keluar kantin, kami berpapasan dengan Dysa and the geng yang menghentikan langkah kami. Ralat, menghentikan langkah Ervin lebih tepatnya.
"Kok kamu udah di luar, sayang?" tanya Dysa sambil melingkarkan tangannya di lengan Ervin. Entah kenapa hatiku seperti diremas saat melihatnya.
"Tadi abis selesai ngerjain tugas wawancara di kantin. Terus kamu sendiri, kenapa ada di luar bukannya belum bel ya?" kata Ervin lembut sambil memandang Dysa penuh cinta.
Mungkin semua orang akan berkata bahwa pemandangan ini sangatlah manis, tapi bagiku ini adalah pemandangan terpahit selama hidupku. Ya, katakan aku sedang cemburu meskipun aku tidak punya hak untuk itu.
"Lagi jamkos sayang. Daripada di kelas suntuk, mending ke kantin aja. Kamu temenin aku makan di kantin ya?!" kata Dysa.
Huhh... rasanya aku sudah tidak tahan lagi mendengarnya, aku ingin cepat-cepat pergi sebelum hatiku lebih sakit lagi. "Nensy, ke kelas yuk!"
"Kalian duluan aja! Aku mau nemenin Dysa ke kantin," sahut Ervin.
"Oke, yuk Bil!" kata Nensy. Lalu kami berjalan menuju kelas bersama Diki juga pastinya.
"Huhhh... ngeliat mereka bikin gue muak tahu. Apa mereka nggak tahu tempat yang pas buat nunjukkin kemesraan? Ini sekolah tahu. Mereka pikir mereka ada dimana?" gerutu Nensy saat kami telah cukup jauh dari mereka.
Jadi bukan aku saja yang tadi merasa panas melihat pemandangan itu, ternyata Nensy juga sama. Meskipun mungkin panasnya dalam arti yang berbeda.
"Alah... bilang aja kalo lo itu syirik sama mereka," sahut Diki di sebelahku.
"Ehh, Gue? Syirik? Ogahh... lagian bukan cuma gue kok yang ngomong kayak gitu. Kebanyakkan penghuni sekolah ini juga ngomong kayak gitu. Iya kan, Bil?" kata Nensy meminta dukunganku.
"Ehh... gue nggak tahu," kataku jujur karena memang aku baru mendengar tentang ini saat Nensy bilang tadi.
"Tuh kan! Bila aja nggak tahu, ngarang pasti lo?!" tuduh Diky.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush Is Never Enough
Fiksi RemajaHanya sebuah ketertarikan itu tidaklah cukup untuk CINTA, butuh sebuah usaha dan bukti nyata hingga cinta itu bisa sempurna dan memberikan kebahagiaan pada orang yang bersangkutan. Itulah yang dialami Bila, cewek yang mencintai teman sekelasnya dala...