"Dasar modus!" desisku sambil menutup rapat-rapat wajahku. Mual dengan makanan yang tersodor di depanku.
"Nih, cobain dulu!" ucap Raveno dengan sendok di tangannya bersiap menyuapiku.
Aku hanya bisa menatap makanan itu dengan ngeri. Bubur putih, telor mata sapi dan semangkuk sop. Aku bergidik tak nafsu makan.
"Gak mau ah!" tolakku sambil menarik selimut lebih erat, membungkus diri.
"Eits, ayo makan dulu," dengan cekatan Raveno menarik selimut yang menutupiku.
"Gak mau, makanannya gak enak!" decakku kesal. Mencoba menyingkirkan piring itu.
"Ya, makanya jangan sakit!" balasnya sedikit geram.
"Gue juga gak pengen sakit tau!" aku mendengus.
"Mau makan enak, kan??" tanya Raveno dengan senyum misterius.
"Ya iya lah!"
"Ya udah, sembuh dulu makanya, baru makan enak, ayo cepet!" ujarnya sambil mengarahkan sendok ke mulutku lagi.
"Ayo dong satu suap aja," ucap Raveno sambil memelaskan wajahnya.
"Aaaa..."
Aku tetap menutup mulut ku.
"Ayo sedikit aja, tangan gue pegel nih!" keluh Raveno.
Dengan pasrah, aku membuka mulutku perlahan dan Raveno mulai memasukan makanannya.
"Enak, kan?" ledek Raveno.
Ya, ternyata rasanya sangat berbeda dengan apa yang aku kira. Ini sangat enak.
"Udah, kan?" ucap Raveno menggodaku hendak membawa kembali makanan itu keluar.
"Lagi!" kataku cepat, memotong gerakannya.
"Tuh kan, ketagihan!" tawanya pecah, penuh kemenangan.
"Gak jadi deh!" ucapku sebal.
Raveno malah tertawa lebih keras. "Iya, iya, sini.." ucap Raveno lalu menyuapiku lagi.
Satu suap
Dua suap
Tiga suap. Aku sudah tidak sanggup lagi.
"Udah Rav, udah kenyang," ujarku sambil menghela napas.
Raveno mengangguk. "Ya udah, nih minum," Sambil menyodorkan segelas air.
Aku mengambilnya dan meneguk pelan, sambil mengintip Raveno yang kini tersenyum puas, seperti seorang perawat yang berhasil menakhlukkan pasien keras kepala.
Tapi kemudian, Raveno memecah kesunyian. "Eh, lo denger suara orang nangis gak?" tanyanya tiba-tiba, suaranya lebih serius dari biasanya.
Aku langsung mendelik, bulu kudukku sedikit meremang, "Ish, apaan sih lu!" ucapku melempar selembar tisu, aku mulai takut.
"Serius, coba diem dulu!" balas Raveno sambil menaruh tangannya di bibirnya, memberi isyarat untuk diam.
Aku sedikit menegang, mencoba mendengarkan. Tapi, tidak ada apa-apa. "Mana sih? Orang gak ada juga!" ucap ku mulai serius.
"Emang gak ada!" ujar Raveno lalu tertawa terbahak-bahak.
Aku mendesah keras."Garing lo! Gak lucu banget!" ucap ku dengan nada sebal.
"Hahahahahaha..." Raveno terpingkal setelah berhasil mengerjaiku.
"Bete ah!" keluhku sambil menatap ke arah jendela. Di luar, suasana tampak cerah.
Raveno yang duduk di sofa, tersenyum santai. "Jalan-jalan yuk?" ajaknya tiba-tiba.
"Kemana? Kan, lo tau kalo gue gak boleh kemana-mana!" ucapku dengan menggembungkan pipi.
"Tenang aja, kan ada gue yang jagain lo," ucap Raveno menaikan kedua alisnya.
"Stop modus, deh!" ucapku tak berminat meladeni ucapannya.
"Tunggu disini!" ucap Raveno sambil beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari kamar.
Aku mengernyit bingung. "Dih aneh dah, malah ninggalin!" gumamku kesal.
Beberapa menit kemudian, Raveno kembali. Tapi kali ini dengan sesuatu yang membuatku melongo. Sebuah kursi roda.
"Lo ngapain bawa ini?" tanyaku dengan nada tak percaya.
"Buat bawa lo jalan-jalan," jawab Raveno santai.
Aku melipat tangan di dada. "Ogah! Ntar gue dikira lumpuh lagi!" protesku.
"Ya udah, gak mau jalan-jalan? Yakin?" tantangnya dengan nada yang membuatku berpikir dua kali.
"Tapi kan..."
"Daripada bete di kamar, mending jalan-jalan," ucap Raveno memotong ucapan ku.
"Ya deh, mau!" ucapku cemberut, meski dalam hatiku masih ragu harus menduduki kursi roda ini.
Kami berhenti di sebuah taman di kawasan rumah sakit, taman itu terlihat indah dan rindang. Banyak pasien lain juga di bawa kesini. Aku yakin mereka bosan dan merasakan apa yang kurasakan sekarang.
"Gue mau ngomong sesuatu sama lu," ucap Raveno memecah keheningan di antar kami. Aku melihat kedua bola mata Raveno yang indah. Detak jantungku makin kencang, rasa gugup tiba-tiba muncul di benakku.
"Lo kok sekarang makin kurusan sih? Gue gak bisa nyubit pipi lo lagi deh jadinya," ucap Raveno tiba-tiba menarik pipiku yang kanan dan kiri.
"Rav sakit tau! Gak jelas banget lo sumpah! Kirain, serius ngomong apaan," ucapku dengan nada sedikit tinggi.
Raveno perlahan tertawa. "Emang lo berharap gue ngomong apa?" ledeknya.
"Gak ada," Aku berusaha memalingkan wajahku yang sedikit memerah.
"Bohong, ayo ngaku!" ucap Raveno terus terkikik. "Kalo bohong hidungnya bolong, ya?" tambahnya lagi.
Aku memutar mata, lalu balas mencibir, "Yee, dimana-mana hidung bolong, Dumber!" balasku, kali ini sambil ikut tertawa bersamanya.
Kami berdua akhirnya tertawa bersama. Raveno selalu tahu cara menghapus segala canggung yang tadi sempat melintas. Sesaat, lupa kalau aku sedang sakit. Hanya tertawa, seperti dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]
Novela Juvenil[PRE-ORDER NOVEL HOME SWEET HOME] Dalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayan...