BAB 36

7.3K 288 0
                                    

Aku terdiam memandang pahatan di batu yang bertuliskan nama adikku, Elisa Agatha Collins. Nama itu terukir seakan menandai akhir dari segala canda dan tawa yang pernah menghiasi hidupnya. Langit pun seakan ikut berduka, gelap dengan awan kelabu yang menggantung.

Aku menatap kosong, membiarkan air mataku mengalir tanpa henti. Elisa– sosok mungil yang selalu membuatku tersenyum, malaikat kecil yang menjadi penopang hari-hariku, sudah pergi. Senyum lembutnya, tawa cerianya yang bagaikan melodi penenang bagiku, kini hanya bayang-bayang yang tak akan pernah kembali. Selamanya.

"Sharin, ayo pulang, sayang," suara Mommy terdengar serak di sebelahku. Aku tahu ia juga sedih, tapi hatiku terlalu terluka untuk menanggapi. Aku tidak menjawab, tidak memandang, hanya membiarkan airmataku tetap mengalir.

"Sayang..." Daddy ikut memanggil, nada suaranya penuh iba. Namun, bagiku, itu semua sia-sia. Mereka berdua lah yang membuat Elisa pergi secepat ini! Seandainya mereka tidak terlalu sibuk, seandainya mereka bisa berhenti bertengkar dan meluangkan waktu untuk memperhatikan Elisa... kalau saja mereka tidak terus saja hidup dalam dunia mereka sendiri, Elisa masih akan ada di sini bersamaku!

Perasaan marah, kecewa, dan hampa berputar hebat di dalam diriku, membuatku hampir ingin berteriak. Dengan penuh emosi, aku menepis tangan Mommy yang mencoba menggenggamku. Tanpa menoleh lagi, aku berjalan cepat meninggalkan mereka, tak peduli meski mereka memanggil namaku.

Aku melewati kerumunan yang padat di sekitar pemakaman, Sebagian besar dari mereka adalah media yang datang untuk meliput sosok Mommy sebagai model dan Daddy sebagai penyanyi. Mereka mengajukan berbagai pertanyaan tentang perasaan keluarga ini. Mereka seperti serigala, mengelilingi dengan tatapan lapar demi memuaskan rasa ingin tahu yang tak pada tempatnya. Aku mengacuhkan mereka, mempercepat langkahku dan masuk ke dalam mobil, menutup pintu dengan keras. Mesin mobil kuhidupkan dan aku melaju tanpa arah.

Begitu berada di jalanan sepi, aku melepaskan semuanya. Jeritan penuh luka menggema di dalam mobil, terpantul pada kaca yang dingin dan kursi yang sunyi. Tanganku menekan kemudi dengan erat, memaksa rasa sakit ini keluar. Elisa.... Aku mengingat hari-hari terakhir bersamanya, betapa cerianya dia.

"Kakak tahu nggak? El, pengen jadi model kayak Mommy."

"Pekerjaan bergaya itu seru, loh!"

"Kak, Elisa sayang kakak."

"Nanti kakak jadi model, ya."

Suara Elisa bergema di pikiranku, tawa ringannya kembali terdengar, seakan ia masih di sini bersamaku. Kata-katanya membuat hatiku remuk, suaranya yang riang seolah terus menusuk dadaku yang sudah hancur. Aku menggigit bibirku menahan sakit yang menyesakkan, hingga aku merasakan rasa anyir besi. Darah merembes masuk ke sela-sela bibirku, tapi aku tidak peduli.

Aku berharap seseorang bisa menenangkan dukaku, seseorang yang bisa menghapus beban ini. Raveno... dia selalu ada saat aku membutuhkan bahu untuk bersandar, tapi sekarang dia pun juga pergi. Ia tak lagi ada di sini untuk menghapus air mataku. Rasa kecewa dan kesepian semakin menusuk, membuatku tertawa getir di tengah tangisan ini.

"Kenapa, Rav? Kenapa harus di saat seperti ini lo pergi ninggalin gue?" gumamku sendiri terisak.

Aku menekan pedal gas lebih dalam, kecepatanku semakin tinggi, menantang nasib. Rasanya tak peduli lagi jika aku mati di tengah jalan.

Sampai di pekarangan rumah, aku memakirkan mobilku asal. Pemandangan bunga-bunga duka cita menyambutku. Karangan bunga berderet rapi di sepanjang jalan menuju pintu masuk, ucapan belasungkawa menghiasi tiap papan. Mataku tertuju pada bingkai foto keluarga kami yang tergantung di dinding ruang tamu. Mommy dan Daddy tersenyum dalam foto itu, terlihat bahagia dan sempurna. Amarah kembali berkobar dalam diriku.

"Ini semua salah kalian..." bisikku pelan, namun penuh dendam.

PRANG!!

Aku membanting bingkai foto itu. Serpihan kaca berserakan di lantai. Tanpa pikir panjang, aku menghancurkan semua bingkai di atas meja, menghantamnya dengan keras seakan mencoba memecahkan rasa sakit di dadaku. Aku mengacak-acak rambutku, berteriak sekeras mungkin, membiarkan semua perasaan mengalir keluar.

"ARGHH!!" Teriakanku memenuhi ruangan, menggema di setiap sudut, mengiringi air mata yang kembali jatuh deras. Tubuhku melemah, amarah yang membara mulai berganti menjadi lelah, hingga pandanganku mulai kabur. Semuanya perlahan menjadi gelap, hanya samar-samar terdengar suara Mommy berteriak panik memanggil namaku dari kejauhan.

HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang