Banyak yang bilang, sejuk angin sore tak pernah mengecewakan. Ia membawa damai setiap kali daun-daun bergerak membelai udara panas ibukota. Menyimpan rapat setiap keluh yang terucap dari bibir-bibir penghuni dunia. Matahari yang terik dibenamkannya dengan anggun di ujung barat. Secara perlahan dan pasti, rona jingga yang indah segera menghilang di balik gedung-gedung mewah. Sementara di lain sudut, barisan merpati membentuk pola cantik yang perlu dinikmati di senja yang cerah. Jika boleh menyarankan, alunan folk song mungkin dapat menjadi pilihan tepat untuk memuja keindahan yang satu ini.
Rio mengisap dalam gulungan tembakau di jarinya. Mengembuskan asap yang menguar tanpa arah, lalu menghilang beberapa detik setelahnya. Rio tersenyum tipis. Melihat bola hitamnya meluncur mulus melewati ring basket yang berdiri kokoh di sisi selatan. Temannya yang—katanya sedang patah hati itu benar-benar lihai berlari dengan bolanya. Ia sangat menikmati pemandangan menenangkan ini.
Tangannya merogoh kantong celananya. Ponsel hitam itu meneriakkan riuh drum milik Dave Grohl yang dipotong asal oleh si empu. Nama Cakka ada di sana. Digesernya tombol hijau di ponselnya.
"Njing, gua pinjem kaos lo," salam hangat dari Cakka diiringi suara pintu lemari yang ditutup keras. Suara menyebalkan menghentak gendang telinganya. Rio mengumpat pelan.
"Hmm."
"Besok diajak Abner pemanasan."
"Hmm."
"Hmm mulu kayak cewek PMS. Balik, buruan!" Seru Cakka.
Rio mengisap rokoknya sekali lagi. Menyentil abu yang tersisa di ujungnya.
"Nunggu temen lo," balas Rio kemudian.
"Biar aja. Dia lagi nyari pencerahan buat hubungannya sama Shilla." Cakka tertawa pelan di seberang.
Rio bangkit. Menginjak puntung rokok terakhirnya. "Balik." Mengabaikan suara Cakka pada panggilan yang ia matikan begitu saja. Iel berjalan ke arahnya. Dengan bola hitam di tangan dan ekspresi yang sama pekatnya.
"Alvin, tadi nelpon." Ujar Iel.
"Terus?" Tanya Rio. Tak terlalu peduli sebetulnya. Dirogohnya ransel hitamnya mencari sesuatu.
"Dia bilang mau balik kesini," lanjut Iel.
"Bagus," komentar Rio. Melirik wajah mendung temannya yang satu itu.
Rio menarik kunci motornya dari dompet. Menangkap sekilas sebuah foto yang sengaja dipajang di dompetnya. Setahun yang lalu. Hari-hari yang membahagiakan untuk lima pemuda di dalamnya.
Sebenarnya, seringkali timbul rasa ketidakmampuan untuk berharap banyak kala ada di antara mereka yang memilih pergi untuk memperbaiki 'sesuatu' yang hampir rusak. Ada bagian-bagian rumpang yang harus segera diselesaikan dan dikembalikan sebagai naskah. Dan Sang Sutradara meminta agar naskah itu segera diperankan.
"Jangan lari dari masalah lagi!" Titah Rio sebelum berlalu. Mengambil motornya terlebih dahulu.
Iel tertawa sumbang. Dilihatnya sisa hujan pada halaman sekolah yang basah. Bagaimana bisa senja yang indah menggantikan hujan deras yang baru mengguyur tadi pagi? Ia menarik nafasnya pendek. Melangkahkan kakinya menyusul Rio. Mencoba menghilangkan segala yang berkecamuk di kepalanya sebentar saja.
"Woi! Mas!"
Iel berhenti. Menoleh pada sumber suara. Mempertajam matanya pada dua gadis yang—sepertinya memanggil dirinya. Iel memandang sekitar. Memastikan tak ada seorang pun di sana selain ia sendiri. Iel melangkah mendekat.
"Bisa nyalain motor ini gak?"
Iel mengangkat alisnya bingung.
🍃
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionRio tidak membenci hidupnya. Sekalipun harinya diwarnai kelabu yang menemaninya berangkat sekolah setiap pagi. Papa tak mengerti dirinya. Tapi ia berusaha mengerti kemauan papa. Dan Marsal, pahlawan supernya yang pernah ia banggakan meskipun menyeba...