Barisan rak-rak tinggi dengan jajaran buku berdebu menyambut langkah kakinya di ambang pintu. Beberapa yang ada di sana masih bertahan pada posisinya, tak peduli decitan pintu yang baru saja didorong oleh seorang gadis cantik. Ify melepas sepatunya. Memasuki perpustakaan sekolah yang tak begitu ramai. Setelah meletakkan sepatunya, Ify berjalan menyusuri salah satu lorong. Mengamati setiap judul buku dengan wajah serius.
Rio berbelok di ujung ruangan. Meletakkan buku kecil yang selesai dibacanya. Diambilnya lagi salah satu buku di rak yang sama.
"Hidrosfer mana sih?"
Baru saja hendak kembali ke tempat duduknya semula, Rio mendapati seorang gadis yang berdiri tak jauh darinya merapalkan salah satu istilah yang dikenalnya. Rio berjalan mendekat. Menarik salah satu buku bersampul biru pada rak paling atas.
"Hidrosfer disini."
Ify mengalihkan pandangannya. Detik kemudian, ia terpaku menatap laki-laki yang berdiri tak lebih dari satu meter di dekatnya. Si Kapten Basket berwajah teduh itu. Ify dapat melihat dengan sangat jelas wajah Si Kapten itu saat ini. Laki-laki jangkung itu memiliki sorot seteduh pepohonan. Garis tipis wajahnya seakan memberitahu siapapun tentang kepribadiannya yang baik. Ify bahkan dapat mengetahuinya sebelum mengenalnya. Ify berani bertaruh untuk itu.
Rio mengacungkan buku tersebut di hadapan gadis berdagu tirus itu. Gadis itu justru menatapnya lekat. Rio mengangkat sebelah alisnya. Menunggu beberapa detik hingga gadis di hadapannya berhenti menatapnya seperti itu.
"Lo mau ngeliatin gua kayak gitu sampe kapan?" tanya Rio sambil menggoyangkan buku di tangannya.
Refleks, Ify membuyarkan lamunannya. Meraih buku tersebut. Ia mengalihkan wajahnya ke arah lain kala sensasi panas menjalar di pipinya.
"Makasih, Mario," ujar Ify cepat.
Ify meninggalkan tempat. Berusaha meredam perasaan aneh yang membuatnya ingin lenyap dari dunia saat ini juga. Meninggalkan Rio yang masih berdiri di tempat semula dengan ekspresi bingung di wajahnya.
Ify menempatkan tubuhnya di salah satu sisi bangku panjang yang terletak di tengah ruangan besar itu. Membuka buku berjudul Hydrosphere di hadapannya dengan terburu-buru. Sebenarnya hanya untuk menenangkan rasa malunya.
"Lo kok tahu nama gua?"
Ify merasa sial kali ini. Laki-laki itu justru duduk di sampingnya. Mengajaknya berbicara dengan santai seakan mereka saling mengenal sejak lama. Ify berusaha tak menanggapi. Matanya bergerak cepat membaca deretan teori ilmiah pada buku di hadapannya, meski tak ada satu pun kalimat yang berhasil ia cerna disana.
"Lo denger gua 'kan?" ulang Rio.
Ify menyerah. Ia menoleh, menatap laki-laki itu dari samping. Laki-laki itu balas menatapnya dengan ekspresi bertanya.
"Lo Mario Stevano, IPS 1. Kapten basket. Semua anak di sekolah ini tahu itu," ucap Ify akhirnya. Sebuah alasan cemerlang berhasil muncul di otaknya.
"Oh...." Rio mengangguk. Cukup percaya dengan jawaban gadis cantik di sampingnya itu. Lagi pula apa yang gadis itu katakan tak sepenuhnya salah. Yang ia tahu, dirinya memang setenar itu di sekolahnya.
Melihat respon Rio, Ify merasa sangat lega. Untungnya laki-laki itu bukan laki-laki yang—bagi Ify menyebalkan. Ia tak akan bertanya macam-macam mengenai tingkah konyolnya beberapa menit yang lalu.
"Emm... lo sendiri? Nama lo siapa?" tanya Rio. Dimainkannya sampul buku di hadapannya tanpa berniat membacanya.
"Ify."
"Ify doang?"
Ify menghela nafas pelan. Mana bisa ia berkonsentrasi pada bukunya jika laki-laki itu mengajaknya berbicara. "Ify Alyssa. IPS 3."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionRio tidak membenci hidupnya. Sekalipun harinya diwarnai kelabu yang menemaninya berangkat sekolah setiap pagi. Papa tak mengerti dirinya. Tapi ia berusaha mengerti kemauan papa. Dan Marsal, pahlawan supernya yang pernah ia banggakan meskipun menyeba...