V

2.6K 141 10
                                    

Sisa gerimis semalam masih rebah di antara daun-daun yang bersinggungan. Menciptakan dingin yang berbalut mendung di atas langit. Ikut pula menanggalkan semangat yang biasa nampak pukul setengah tujuh di Ibu Kota. Burung-burung kecil yang biasa hinggap di tiang tepi jalan pun terlihat enggan menjalani harinya kali ini.

Rio mematut pantulan dirinya di depan cermin, sementara kedua tangannya sibuk dengan dasi abu-abu yang melingkar asal di leher. Beberapa detik, hingga Rio menghentikan aktivitasnya. Ia mendongak, menatap cermin. Ada yang terasa aneh di wajahnya. Bukan karena rona pucat yang belakangan ini menambah kesan dingin pada dirinya, hanya saja ia merasa ada bagian yang terlihat sedikit aneh. Menyudahi kesibukan membenahi dasi yang tak kunjung usai, Rio menyentuh pipi kanannya. Beberapa detik, hingga ia membenarkan dugannya sendiri tentang wajahnya yang membengkak.

Sejak beberapa hari yang lalu, ia merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Terlebih ketika rasa sakit yang akhir-akhir ini sering menyerang bagian dada kembali muncul ketika guru Bahasa Indonesia asik menjelaskan materi di depan kelas. Serangan yang secara tiba-tiba membuat ia lupa cara bernafas dengan benar. Tak hanya memancing kepanikan Iel yang tengah duduk di sampingnya, seisi kelas mendadak heboh dan penasaran dengan apa yang terjadi. Terlebih ketika aliran darah mengalir deras dari hidungnya, hingga kesadarannya yang direnggut perlahan oleh gelap. Sejujurnya, Rio tak mengerti dengan semua yang terjadi pada tubuhnya akhir-akhir ini.

Rio merogoh saku celananya, membuka ponselnya yang baru saja bergetar. Melupakan keanehan di wajahnya sejenak. Nama Ify terlihat disana.

Masuk gak? Kalo masih sakit bolos dulu aja.

Rio tersenyum tipis. Hampir dua minggu ini ia menghabiskan banyak waktu dengan Ify. Berbagi hari, kisah, dan warna yang tak pernah Rio ketahui sebelumnya. Keberadaan seseorang yang untuk pertama kali membuat ia merasa menemukan semangat baru untuk pergi ke sekolah.

Rio menyimpan ponselnya di saku seragam putihnya. Mengambil beberapa atribut hari senin untuk menghindari hukuman dari Guru Tata Tertib ketika razia berlangsung nanti. Sebenarnya ia tak pernah mempermasalahkan hukuman apapun yang diberikan oleh Sang Guru. Hanya saja tubuhnya sedang tidak bersahabat baik untuk berdiri berjam-jam di bawah terik matahari atau sekadar membersihkan toilet sekolah. Jadi untuk hari ini, Rio terpaksa harus menjadi siswa rajin seperti yang semua orang bayangkan.

"Saya sama Rio cuma butuh Anda hadir di rumah ini! Sudah, itu saja."

Rio menghentikan langkahnya. Suara Marsal—Sang Kakak bertepi di telinganya. Ditutupnya pintu kamarnya dengan perlahan. Rio memandang dua pria dewasa itu dari lantai atas. Sang Ayah yang tengah mengenakan pakaian kerjanya yang rapi, dan Marsal yang berdiri berhadapan dengan Sang Ayah. Menghadapi pria paruh baya itu dengan berani.

"Pekerjaan Papa sedang banyak-banyaknya, Marsal. Papa tidak bisa pulang setiap hari dan memantau perkembangan kamu dan adikmu."

Rio mengembuskan nafas pendek. Memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Pertengkaran yang sama, dengan pembahasan yang sama, dan di situasi yang seringkali sama. Rio bahkan tak menghafal berapa banyak ia menemui pagi yang menjemukan seperti ini. Pertengkaran Marsal dengan Sang Ayah yang menambah berat beban di pikirannya.

"Sepenting apa pekerjaan Anda? Sampai Anda lupa kalau Rio masih butuh sosok ayah di sampingnya."

Rio berjalan pelan. Mencoba mengusir pening dan sensasi tak nyaman di dadanya. Turut pula mengusir suara pertengkaran dua anggota keluarganya yang menggema di istana megah keluarga Haling itu.

"Yang seharusnya mengemban tanggung jawab soal Rio itu Anda! Tapi yang terjadi? Saya bahkan bisa menghitung dengan jari Saya, berapa kali Anda menginjakkan kaki di rumah ini. Bagaimana Anda tahu kehidupan kami? Perkembangan Rio, prestasi, sampai masalah apa saja yang sudah dia buat di sekolah. Kalau untuk menatap wajah kami saja Anda sudah lupa bagaimana caranya."

Rio menghentikan langkahnya di anak tangga pertama. Pening yang menghentak memaksanya untuk luruh di ubin yang dingin. Memijat asal kepalanya yang terasa berat.

"Sejak Mama pergi, Saya tidak pernah merasa bahwa Saya memiliki sosok Papa yang seperti dulu." Sebelum meninggalkan kediaman keluarga Haling, mahasiswa tingkat akhir itu memberi penekanan penuh pada kalimatnya pada sang lawan bicara. Lantas pemuda itu pergi meninggalkan keheningan yang sama di setiap sisi rumah besar mereka.

Rio menunduk dalam. Luka yang selalu ia tutupi dengan rapat itu terbuka lagi. Tentang keadaan keluarganya yang telah hancur sepeninggal Sang Mama, tentang Sang Ayah yang tak lagi memiliki waktu untuknya barang sebentarpun, juga tentang Marsal yang terlalu larut pada kehidupannya sebagai mahasiswa. Pangeran itu merasa tak terlihat di istananya sendiri.

Hampir tiga tahun lamanya Rio diam dalam kehampaan yang luar biasa. Menciptakan ruang kosong yang hanya ada dirinya dan warna kelabu disana. Rio senang menulis sendirian. Bernyanyi lagu-lagu aneh di kamarnya. Membelah jalanan tengah malam dengan motor hitamnya. Menangis dan memanggil Mama dalam tidurnya ketika ia merasa rindu. Tak ada yang tahu, bahwa anak laki-laki itu tumbuh dalam hening yang tak siapapun mengerti apa isi di dalamnya.

Sejak itu pula, Papa selalu menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Merambah bisnisnya dimana-mana. Bertemu orang-orang baru setiap hari. Terlalu peduli dengan urusan perusahaan dan meninggalkan siang malamnya yang dulu terasa begitu hangat. Hingga ia lupa, dua putranya masih sering bertanya tentang kapan mereka bisa ngopi bersama di teras rumah, kapan Papa bercerita dengan antusias tentang kenangan masa mudanya, atau setidaknya kapan mereka bisa melihat Papa duduk bersantai di depan televisi setiap sore. Nyaris Rio lupa akan hal-hal kecil yang dulu selalu mereka lakukan bersama-sama. Pertemuan mereka hanya sebatas permintaan Papa untuk ia hadir pada pertemuan bisnis dengan para koleganya.

Sementara Sang Kakak yang pemberani dan selalu ia percaya itu tak lagi menjadi orang yang selalu ada untuknya. Kehidupan mahasiswa memaksa Marsal untuk lebih peduli pada kehidupannya sendiri. Pada masa depannya yang mati-matian ia perjuangkan. Jarak Ibu Kota dan kampusnya di Yogyakarta turut memisahkan kedekatannya dengan Sang Adik.

Hanya dalam waktu tiga tahun, Rio merasa tak lagi mengenali keluarganya yang dulu.

🍃

Ify menyembulkan kepalanya di ambang pintu kelas. Menyapu setiap sudut kelas yang tidak terlalu ramai. Beberapa siswa perempuan yang tengah duduk di bangku barisan depan menatapnya penuh tanya.

"Cari siapa, Fy?" tanya salah satunya. Gadis mungil yang pernah Ify kenal sebagai teman ekstrakulikuler band-nya dulu.

"Rio ada?" jawab sekaligus tanya Ify balik.

"Tuh! Tidur mulu' daritadi." Seorang gadis menunjuk bangku paling belakang. Laki-laki yang dicarinya berada disana. Menumpukan kepalanya pada bangku kayu dan menghadap ke arah jendela, membelakangi semua pasang mata di ruangan itu.

"Masuk aja, Fy. Kayaknya dia masih sakit deh." Ify melangkahkan kakinya memasuki kelas Rio. Mengucapkan terima kasih pada gerombolan gadis itu.

Ify duduk di samping Rio. Meletakkan kotak bekal yang dibawanya di atas bangku dengan hati-hati. Bangku Iel yang penuh coretan kata kasar dan gambar aneh membuat Ify tersenyum geli. Ia mengalihkan perhatiannya pada laki-laki di sampingnya. Menatap dalam laki-laki pemilik messy fringe hair yang tengah membelakanginya itu. Ify menumpukan dagunya pada tangan kirinya. Menikmati tempo nafas yang teratur dari punggung laki-laki itu.

"Lo beneran tidur ya, Yo?" tanya Ify pelan. Tak bermaksud benar-benar bertanya sebenarnya.

Namun dugaannya salah, laki-laki itu mengangkat tubuhnya. Berbalik dan balas menatap Ify dengan wajah kusutnya. Ify menegakkan tubuhnya. Kaget.

"Ah, gua kira lo tidur," ujar Ify salah tingkah.

"Kok lo disini?" tanya Rio dengan suara serak. Ify menunjuk kotak bekal yang ia bawa. Rio menatap kotak hijau itu dengan wajah polosnya.

"Kata Iel lo belum sarapan. Ya udah gua kesini." Rio mengambil kotak bekal di hadapan Ify. Sebenarnya ia sama sekali tak berminat untuk memasukkan makanan apapun ke dalam pencernaannya. Tapi ia harus berterima kasih pada gadis yang mau repot-repot membawa bekal sarapan untuknya itu.

"Lo sendiri udah sarapan?" tanya Rio sambil membuka kotak bekal itu. Ify hanya mengangguk.

"Lo masih sakit ya, Yo?" tanya Ify ketika Rio menyuapkan nasi dengan sup ayam buatan Ify ke mulutnya.

"Enggak," jawab Rio singkat. Sebenarnya, pening tadi pagi masih menyiksanya hingga kini. Ditambah sensasi tak nyaman di dada dan kerongkongannya membuat Rio ingin cepat-cepat mengistirahatkan tubuhnya saat ini.

"Abis ini lo ke UKS aja. Muka lo pucet banget. Gua ngeri liatnya." Rio terkekeh pelan. Gadis itu polos sekali.

"Padahal gua ganteng." Ify berdecak. Laki-laki memang begitu.

Setelah menyuapkan beberapa sendok nasi ke mulutnya. Rio menyudahi sarapannya. Ify tak berkomentar banyak. Ia tahu bagaimana rasanya dipaksa menelan sesuatu ketika sakit. Rio meletakkan kotak bekal Ify di hadapannya.

Rio menyandarkan punggungnya pada kursi. Memandang ke arah luar jendela kelasnya. Aula sekolah tengah dipadati siswa kelas dua belas. Menimbulkan suara riuh yang terdengar jelas.

"Gua sedih," ujar Rio tiba-tiba. Ify yang tengah mengamati buku catatan milik Iel pun menoleh pada Rio. Menatap laki-laki yang masih memandang ke arah luar itu dengan penuh tanya.

"Kenapa?"

"Gua... kangen Mama," jawab Rio pelan. Ify menatap Rio prihatin. Luka yang selalu Rio simpan terlihat jelas kali ini. Ify tak tahu, jenis luka macam apa itu. Yang Ify mengerti, luka yang tengah Rio miliki masih menganga lebar di dalam hati kecilnya. "Dulu, kalo gua pusing dikit, pasti Mama langsung heboh," lanjut Rio. Senyum nanar tercetak di wajah pucatnya.

"Sebenernya gua gak inget. Tapi Mama pernah cerita sama gua. Waktu kecil, gua pernah sakit pas Mama lagi tugas di luar kota. Badan gua panas banget sampe berhari-hari. Ajaibnya, pas Mama pulang dan pijitin gua, gua langsung sembuh."

Rio menunduk. Ada sesak yang kembali menjamah dadanya. Bukan, bukan rasa sakitnya yang kerap datang seperti biasa. Namun sesak yang tak pernah bisa ia definisikan. Rasa sesak yang timbul setiap kali ia mengingat hidupnya yang menyedihkan. Setiap ia teringat keberadaan Sang Mama yang tak pernah bisa ia jamah lagi. Seandainya dunia tahu, selemah ini pangeran yang selalu berdiri gagah itu.

"Mau gua pijitin? Tangan gua gak seajaib Mama lo, sih. Tapi Abang gua pernah sembuh dari masuk angin waktu gua kerokin." Rio tertawa mendengarnya.

Meskipun ada banyak hal yang membuat Rio merasa dunianya begitu hampa, setidaknya hidupnya tak sesepi yang ia kira. Ada orang baik di sekelilingnya. Alvin yang sering bertanya tentang kesehatannya, Iel yang selalu ngomel jika maagnya kambuh, Cakka yang marah jika melihatnya bersedih, dan yang paling ia syukuri akhir-akhir ini adalah keberadaan Ify menciptakan warna baru dalam hidupnya.

Rio tahu, ada sesuatu yang lain di dalam hatinya sejak pertama kali ia mengenal Ify. Sesuatu itu tumbuh semakin besar dari hari ke hari. Kala matanya menangkap senyum cantik Ify, ketika suara lembut Ify mengucapkan kalimat lugu kepadanya, atau tingkah-tingkah menyenangkan yang tak pernah Rio temui pada gadis manapun yang ia kenal. Hanya saja, ia tak mau menyimpulkan segalanya terlalu cepat. Keinginannya untuk mengenal gadis itu lebih besar daripada keputusannya untuk memiliki gadis itu.

"Lo jangan sakit-sakit ya, Yo? Gua juga sedih, liat lo gak ngasih gua senyum sebagus biasanya."

🍃

Hampir seminggu lamanya ia menghilang. Setelah memupuk perasaan dengan subur, justru ia memilih untuk mematahkan tangkainya satu-persatu. Kata orang, mundur teratur di jalur yang sama jauh lebih baik, sebelum perasaan yang ia tanam tumbuh besar dan sulit ditebang. Dan ia menuruti perkataan penuh keputus asaan itu.

Via menempel satu dari tiga lembaran ilustrasi di tangannya pada papan majalah dinding utama sekolahnya. Gambar karikatur yang didominasi warna cerah itu terlihat begitu menarik. Beruntung seorang senior jurnalisnya mau membantunya menyelesaikan tugas ini. Via tak mau membayangkan akan sekecewa apa teman-temannya yang meminta bantuan padanya, jika ia tak dapat menyelesaikan tugas ini sesuai tenggat waktu yang diberikan.

"Gua kok gak pernah liat lo, ya?"

Refleks, Via menoleh. Seorang laki-laki jangkung itu berdiri di sampingnya. Suara beratnya yang menyapa Via dengan tiba-tiba mampu membuat degup jantung Via bergerak tak lagi teratur. Terutama ketika ia mengetahui siapa pemilik suara itu. Mata laki-laki itu tertuju pada lembar poster olimpiade sains yang tertempel di papan mading.

Sambil berusaha menetralkan detakan jantungnya yang tak karuan, Via kembali menempelkan lembaran kedua di tangannya pada ruang kosong papan. "Iya. Gua sibuk," jawabnya setenang mungkin.

"Sibuk apa?" Tanya Iel, laki-laki itu.

"Ngurus jurnalis."

Sebenarnya, hati kecilnya masih diselimuti rasa kecewa, tentang momen ketika ia melihat Iel dengan manisnya memperlakukan Shilla selayaknya seorang kekasih di koridor IPA seminggu yang lalu. Apalagi permintaannya untuk bertemu Iel di rooftop pada siang hari tak diiyakan oleh laki-laki itu. Alvin justru datang ke kelasnya, mengatakan bahwa Iel cabut dengan alibi ada urusan mendadak.

Tak ada hak baginya untuk marah akan hubungan Iel dan Shilla. Terlebih dirinya hanyalah seorang pendatang baru yang tiba-tiba menyelip diantara hubungan dua manusia yang telah terjalin jauh sebelum ia hadir. Dan lagi, ia tak mungkin merebut laki-laki yang telah berhasil membuat harinya terasa suram beberapa hari ke belakang itu dari seorang gadis baik hati, yang menurutnya tak akan bisa dibandingkan dengan dirinya.

"Markas jam segini lagi bagus-bagusnya. Gua mau naik. Lo mau ikut?" tawar Iel.

Selang berpikir beberapa saat, Via mengangguk. Melangkah menuju anak tangga usang yang sering ia datangi tanpa sepengetahuan Iel. Menikmati udara yang sejuk sesampai ia di sekolah pada pagi hari. Tempat yang baru-baru ini menjadi lokasi favoritnya untuk menyendiri dan berharap akan keberadaan Iel, meski ia sendiri yang berusaha menjaga jarak dari laki-laki itu. Serumit itu alam pikiran perempuan.

Via menyipitkan matanya. Sinar matahari pukul empat sore memberi sorot pada wajah ayunya. Sepoi angin ikut menerbangkan rambut hitamnya yang terurai di bahu. Via tersenyum tipis.

Iel mendudukkan dirinya pada pembatas tepi bangunan. Membiarkan kakinya yang dibalut sepatu futsal hijau menjuntai ke bawah. Disusul Via yang ikut duduk di sebelahnya. Menghadap matahari di sisi barat langit sore.

"Bagus 'kan?"

"Iya."

Benar kata Ify. Senja itu cantik. Tapi lebih cantik lagi, kalau aku bisa memandangmu waktu senja tiba. Sekarang Via mengerti arti pembuka puisi tidak jelas milik sahabatnya itu. Terlebih seseorang yang ia rindukan, kini berada tepat di sampingnya. Mengajaknya menikmati suasana menjelang senja yang amat mengagumkan. Secantik itu Tuhan menunjukkan mahakarya-Nya pada Via.

"Lo beneran pacaran sama Shilla?" tanya Via tiba-tiba. Memancing pertanyaan yang akhir-akhir ini menjajah pikirannya secara sporadis.

"Tau darimana?" tanya Iel balik.

Oh, jadi bener.

"Ya, tau aja."

Iel tertawa pelan. Benar kata teman-temannya, perempuan memang agen mata-mata paling hebat di dunia ini. "Gua baru putus sama dia. Rabu kemarin."

Via mengerutkan keningnya. Mencoba mengulang hari dimana ia melihat Shilla dan Iel di koridor IPA. Sepertinya, itu adalah hari yang sama dengan hari yang Iel katakan barusan. Meski ada pertanyaan-pertanyaan yang bergelayut di pikirannya, Via memilih enggan menyampaikannya.

"Kenapa putus?" tanya Via akhirnya.

Iel menceritakan bagian-bagian besar dari kisah cintanya dengan Shilla. Hubungan absurd yang terjalin tak lebih dari setahun itu harus berakhir di tengah jalan. Memberikan salam jumpa bagi hati yang sebenarnya masih berdiri di ambang keraguan. Juga tentang keberadaan Alvin sebagai penyebab utama dari keputusan keduanya untuk mengakhiri hubungan itu.

Via mengangguk paham. "Berarti, intinya lo masih sayang sama Shilla, tapi lo ngalah, karena lo lebih mementingkan Alvin?" simpul Via.

"Lebih tepatnya, mementingkan hubungan persahabatan kita."

Via memandang atap-atap rumah di seberang sekolah dengan tatapan tanya. Apa mungkin ia bisa memiliki hati laki-laki di sampingnya itu, manakala Iel masih menyayangi gadis lain yang bertahta lebih lama di hatinya?

"Ini pertama kalinya gua curhat masalah percintaan gua ke orang lain loh," celetuk Iel tiba-tiba.

Via tertawa pelan. "Serius?"

"Beneran." Via juga sangsi, terlebih Iel adalah seorang laki-laki yang setia pada satu wanita. "Kalo masalah pribadi, gua susah percaya sama orang. Lo hebat, Vi. Bisa bikin gua mau cerita gini, padahal kita baru kenal."

Via menatap Iel dari samping. Laki-laki tegas itu terlihat begitu misterius di mata Via. Seakan ada tembok besar yang menghalangi pandangannya untuk dapat melihat ke dalam sana. Iel yang terlalu kokoh, Via yang tak mengerti, dan segala tanya dalam hatinya yang belum terjawab oleh secuil kepastian dari laki-laki di sampingnya itu.

"Lo bisa cerita apapun ke gua. Gua pasti bakal tutup mulut kok. Itu pun kalo lo percaya." Iel tersenyum manis mendengarnya.

🍃

Adzan maghrib menggema di sudut dunia. Merampungkan aktivitas padat yang menyesakkan di pusat-pusat perekonomian Ibu Kota. Memberi jeda pada sisi lain bumi untuk menikmati gelap yang sebentar lagi menguasai langit. Sisa hujan barusan turut memberi kesempatan pada awan kelabu untuk menghalangi benda langit yang menghiasi malam seperti biasa. Dan alasan itu cukup bagus bagi Cakka untuk bertahan di sudut sekolah sambil menikmati batang rokok yang tersisa di sakunya.

Seusai adzan berkumandang, pemuda itu bergegas membersihkan seragamnya yang kotor akibat abu rokok, lantas berjalan cepat menuju parkiran motor. Bunda baru saja mengiriminya chat, dan bersiap memberinya ceramah panjang, karena lagi-lagi si bungsu pulang terlambat waktu.

Sebenarnya, Cakka tak suka berada di rumah. Meski Sang Bunda adalah seorang Ibu yang baik dan pengertian padanya, tetap saja Cakka merasa berada di luar rumah adalah hal yang lebih baik untuk menghindari pertengkarannya dengan Sang Ayah. Cakka tidak suka diatur. Cakka ingin bebas. Dunianya adalah tawa dan kebebasan. Dan Sang Ayah tak berhak mengambil itu darinya, sekalipun dengan alasan kebaikan Cakka di masa depan.

Untuk kedua kalinya, Cakka menghentikan motornya di depan halte depan sekolah, kala netranya menangkap Agni tengah duduk seorang diri disana. Lagi-lagi gadis itu memandang kosong jalanan basah yang dialiri hujan kecil yang masih turun di hadapannya. Dan untuk alasan yang Cakka sendiri tak mengerti, ia lebih memilih menghentikan motornya disana, meski baru saja ia khawatir Bunda akan marah padanya.

Agni beralih menatap Cakka. Kali ini ada yang berbeda dari tatapan wajah ayu itu. Sejak peristiwa di lapangan indoor tempo hari, hubungan keduanya terlihat jauh lebih baik. Saling bertegur sapa ketika berpapasan, membicarakan sesuatu ketika latihan basket berlangsung, bahkan makan bersama dengan teman-temannya yang lain ketika jam istirahat. Hal yang cukup mengherankan bagi Shilla, mengingat akhir-akhir ini Cakka tak pernah mengusik sore tenangnya dengan kicauan-kicauan tentang gadis yang dicap 'aneh' bagi Cakka itu. Dan mungkin lebih mengherankan lagi bagi ketiga sahabat laki-lakinya, mengetahui bahwa Cakka sering menghabiskan waktu dengan si kapten basket putri yang—katanya menjadi musuhnya sejak lama itu.

"Mau gua anter balik, gak?" tawar Cakka langsung.

Tak butuh waktu lama, Agni berdiri dari duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia menaiki motor hitam milik Cakka. Sedang Cakka hanya mengernyit heran. Meski begitu, Cakka mulai paham tentang sisi baik dan buruk gadis itu. Dan dari sekian banyak fakta yang baru ia ketahui tentang Agni, hal yang paling Cakka gemari adalah senyum tulus yang selalu tersungging untuk siapapun itu.

"Mau pake jas hujan?" tawar Cakka. Menengadahkan tangannya pada rintik yang masih turun.

"Gak usah."

Motor itu membelai jalanan Ibu Kota yang mulai sepi. Hawa dingin menjadi pengiring romansa yang sedang terjalin pada dua anak muda itu. Tak ada yang peduli. Hanya mungkin mereka lebih memilih untuk menikmati momen indah ini.

"Ag," panggil Cakka agak keras. Deru kendaraan yang bercampur suara angin dan gerimis turut meredam suaranya.

"Hmm?" Agni mendekatkan wajahnya pada Cakka.

"Di tas gua ada jaket. Kalo lo dingin pake aja." Agni tersenyum tipis mendengarnya.

Perhatian banget nih anak.

"Enggak," jawabnya singkat. Cakka hanya melirik sekilas dari spion motor. Secara teratur, Cakka mengurangi kecepatan motornya. Mencuri pandang pada wajah ayu yang tengah duduk di belakangnya melalui spion motor ternyata sangat menyenangkan.

"Kka," panggil Agni setelah beberapa saat.

"Apa?"

"Aslinya tuh gua lagi males pulang," ujarnya hati-hati.

"Terus?"

"Terserah, lo mau nurunin gua dimana. Yang penting gak di rumah."

Sebenarnya Agni ingin meminta Cakka untuk mengantarnya ke rumah Ify atau Via saja. Namun ia tahu, rumahnya dengan Ify dan Via tidak berada di jalur yang sama.

Cakka diam sejenak. Ia tak akan bertanya alasan mengapa Agni meminta demikian. Yang ia duga, mungkin saja gadis itu tengah memiliki masalah dengan orang tuanya di rumah, seperti dirinya saat ini.

"Ke rumah gua aja kalo gitu," putus Cakka akhirnya.

"Di rumah lo ada orang?"

"Ya ada lah. Gila aja gua bawa anak gadis orang ke rumah pas rumah sepi. Yang ada Pak RT nyuruh gua kawin entar." Agni tertawa geli mendengarnya.

"Ada siapa aja?"

"Bunda, Ayah, Mas Elang, dan Cakka sendiri."

"Emang boleh gua main ke rumah lo?"

"Kalo nanti Bunda ngusir lo berarti gak boleh."

Agni tersenyum. Ada laki-laki baik hati yang hadir di hidupnya baru-baru ini. Seorang laki-laki yang telah ia kenal sejak lama, namun baru dekat dengannya beberapa hari ke belakang. Sejak itu, mungkin ia merasa ada beban yang sedikit berkurang di pikirannya, kala laki-laki itu membawanya untuk mengenal hal-hal yang membahagiakan di hidupnya.

Makasih, Kka.

🍃

Bersambung

SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang