ini panjang (dan ga jelas). saya sendiri males bacanya🙂
...
Kamu tidak akan peduli,
sampai kamu tahu,
bahwa hidupmu tinggal hitungan waktu.
🍃
Shilla mengembuskan nafas berat. Seberat problema yang menjamah cerita hidup sahabat-sahabatnya. Keberadaannya tak lagi sesuai dengan tujuan awal kepindahannya kemari: memperbaiki persahabatan mereka. Yang ada kini, kisah mereka justru semakin rumit. Shilla tak mengerti, pelik macam apa yang tengah Tuhan uji pada jalan hidup mereka.
Ia memejamkan mata. Dirasakan sejuknya butiran lembut yang masih turun dari langit dan menyerbu wajah cantiknya. Shilla tersenyum tipis.
Drama macam apa ini?
"Sorry, tempat gua masih hujan deres."
Shilla membuka kelopak matanya yang baru saja terpejam. Ia mendapati Rio telah berada di sampingnya. Melepas jaket putih yang basah oleh air hujan. Mengibaskannya pada udara, dan meletakkannya dengan rapi pada punggung kursi tempatnya bersandar. Tubuh jangkungnya tampak lebih kurus. Rona pucat di wajahnya dengan kantung mata yang menghitam membuat siapapun tahu, bahwa laki-laki itu tidak sedang baik-baik saja. Shilla mengamati sahabatnya itu dengan tatap lirih.
Shilla menarik ransel merah miliknya. Diambilnya lembar coklat yang dititipkan oleh Iel padanya tadi pagi. Disodorkannya kertas itu pada Rio. Juga ponsel hitam di saku seragamnya.
Rio memandang dua benda itu tanpa berkedip. Tak ada kata tanya atau ekspresi terkejut, tentang mengapa benda-benda miliknya itu ada di tangan Shilla. Namun yang pasti, banyak hal yang harus ia jelaskan pada semua sahabatnya.
"Lo emang punya niat nyembunyiin ini dari anak-anak?" tanya Shilla akhirnya.
Seluruh pertanyaan tentang Rio yang berkecamuk di dalam akalnya tiba-tiba enyah. Kenyataan pahit yang didapatinya sejak tadi pagi, membawa pergi seluruh amarah dan keingintahuannya yang kemarin. Yang ada padanya kini, hanya pertanyaan tentang pembenaran, bahwa semua ini adalah nyata. Bahwa lembaran putih di dalam amplop itu benar adanya. Meskipun Shilla berusaha untuk mengerti akan sulitnya menerima kenyataan semacam itu, tetap saja, semuanya terasa semakin berat.
Rio menerima dua benda itu. Digenggamnya erat ponsel hitamnya. Mata lelahnya beralih menatap beberapa anak kecil yang tengah bermain di ujung taman. Tawa mereka begitu lepas. Seperti tak ada beban yang ditanggung oleh bahu-bahu kecil itu.
"Apa yang bisa gua lakuin di sisa hidup gua?" tanyanya kembali pada Shilla. Ironis. "Gua gak mau, makin jadi beban buat semua orang."
"Lo bukan beban, Yo. Lo sahabat gua. Lo sahabat kita," balas Shilla cepat. Memaksa laki-laki itu untuk balas menatap mata tajamnya. Shilla benar-benar enggan mendengar apapun tentang umur manusia. Ia tak pernah percaya pada vonis semacam itu.
"Lo gak tahu gimana frustasinya anak-anak seharian ini nyariin lo. Gua bahkan ngerasa bersalah banget, Yo. Gua biarin mereka bingung, saat gua sendiri tau lo dimana. Lo gak tahu, Yo. Sebingung apa Cakka setelah dia baca isi kertas itu."
Segala kemungkinan buruk yang ada di pikiran lo, gimana kalau kenyataannya berbanding terbalik? Gimana kalo kenyataannya lo gak pernah jadi beban buat siapapun? Gimana akhirnya kalo semua bakal terus sama sampe kita tua nanti? Lo gak pernah tahu apapun, sampe lo berani buat ngadepin semuanya bareng-bareng, Yo."
Shilla enggan bersedih. Kehadirannya di tengah persahabatan mereka adalah air yang menyejukkan. Meski ia sendiri tak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan hati yang layu di sampingnya itu. Meski kenyataan yang sebenarnya, dirinya pun takut untuk menghadapi hal mengerikan ini.
Rio tak menjawab. Ia hanya diam. Berusaha memikirkan apa yang Shilla katakan, meski akalnya pun mengatakan yang sebaliknya.
"Jangan kasih tahu mereka dulu soal keberadaan gua," ujar Rio akhirnya. Enggan membahas itu lebih panjang. Hari-harinya sedang penuh goresan luka. Ia tak ingin menambah beban di pikirannya lagi.
"Kenapa? Toh mereka udah tahu semuanya. Lo gak perlu nyembunyiin apapun dari gua atau mereka."
Rio menggeleng. "Kasih gua waktu bentar, sampe gua ngerasa bisa ketemu mereka lagi."
Shilla akhirnya diam. Mencoba memaklumi keputusan Rio. Ia tak tahu pasti bagaimana rasanya. Tapi ia tahu, sesulit apa Rio menanggung semua itu sendirian. Langkahnya sedang tertatih. Tak ada yang membantunya meneruskan jalan untuk mencapai tujuan. Shilla hanya sedang mencoba menghentikannya. Memberitahu bahwa orang-orang yang disebutnya 'sahabat' tengah menunggu di tepi jalan yang lain. Jika Rio bersedia, mereka bisa saling menopang dan meminjamkan kaki untuk terus dapat menyusuri terjal yang menunggu di depan sana.
"Pertandingan kemarin, lo kemana?" tanya Shilla memecah hening yang mampir.
Rio terdiam beberapa saat, lantas menggeleng. Shilla mengernyitkan dahinya, meminta penjelasan. "Gua gak tahu. Pagi pas kompetisi itu, gua bangun di rumah sakit. Gua maksa cabut. Tapi gak bisa."
Shilla menatapnya sedih. Kemungkinan buruk yang baru saja ditepisnya dari pikiran kembali lagi. Hal yang ia takutkan telah terjadi pada sahabatnya itu. "Separah apa, Yo?"
Rio menarik ujung bibirnya tipis. "Not bad. Selama gua masih punya semangat buat hidup." Rio melirik Shilla yang tertunduk murung.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionRio tidak membenci hidupnya. Sekalipun harinya diwarnai kelabu yang menemaninya berangkat sekolah setiap pagi. Papa tak mengerti dirinya. Tapi ia berusaha mengerti kemauan papa. Dan Marsal, pahlawan supernya yang pernah ia banggakan meskipun menyeba...