III

2.9K 142 3
                                    

Motor hitam berpelat nomor Ibu Kota itu memasuki gerbang sekolah dengan kecepatan yang berkurang konstan. Dua siswa laki-laki di atasnya membuka kaca helm. Menyapa hormat dua orang guru yang tengah melaksanakan piket di belakang gerbang. Beberapa siswa di halaman sekolah ikut menyapa kedua laki-laki itu. Hal itu seakan menunjukkan eksistensi baik dua pemuda itu di sekolah ini.

Cakka menuruni motor Iel. Membuka pengait helmnya. Meletakkannya di atas motor Iel. Menunggu sahabatnya yang satu itu melepas jaketnya.

"Kalo motor gua bocor tiap hari, lo bakal tebengin gua tiap hari gak?" tanya Cakka. Memindahkan kotak rokok di saku seragam putihnya pada saku celananya. Takut kena razia.

"Doa aja biar motor lo bocor terus," jawab Iel. Ia menuruni motornya. Berlalu memasuki sekolah bersama Cakka dan beberapa siswa yang lain.

Di ujung lorong dekat kelas dua belas bahasa, Iel menengok ke belakang. Memandang seorang guru berkumis tebal tengah menyalami para siswa yang baru datang di lobi sekolah. "Tar jam sepuluh gua cabut. Ikut gak?" tanyanya pada Cakka.

"Dalam rangka?" Cakka bertanya balik.

"Lupa ngerjain PR Bahasa Inggris."

Cakka menggaruk lehernya. "Lo semalem 'kan pulang duluan. Katanya ngerjain PR."

"Terus lo percaya?" Cakka menggeleng.

Langkah dua pemuda itu terhenti di dekat persimpangan koridor utama. Seorang gadis cantik tak jauh di hadapan mereka ikut berhenti melangkah. Sama-sama terpaku dan saling menatap dengan ekspresi yang tak mampu dijelaskan.

Cakka melirik Iel di sampingnya. Sahabatnya itu tak merespon apapun. Entah apa yang tengah dipikirkannya.

"Apa kabar, Shill? Asik bener temen curhat gua udah balik." Cakka melangkah mendekati gadis itu. Menyadari situasi dengan cepat, Cakka mencairkan suasana canggung yang tak dipahaminya.

Shilla, gadis itu mengalihkan perhatiannya pada Cakka yang menyalaminya. Tersenyum hangat pada Cakka. "Baik, Kka. Lo sendiri?"

"Baik dong. Lo baru masuk hari ini?" Shilla mengangguk. Mengalihkan lagi tatapannya pada Iel yang tengah menghampirinya. Iel mengisyaratkan sesuatu pada Cakka. "Gua ke kelas dulu ya? Tar gua ceritain soal cowok cakep yang kangen sama lo."

Shilla mengangguk dan tersenyum. Matanya mengikuti punggung Cakka yang menjauh dari jangkauannya. Sahabatnya itu selalu peka pada setiap situasi.

"Kamu kok gak bilang kalo mau balik?" tanya Iel langsung.

Shilla balas menatap kekasihnya. Tak tahu apa yang harus ia katakan pada Iel. Alvin pasti telah menjelaskan tujuan mereka kembali ke Jakarta secara bersamaan.

"Duduk di sana, yuk. Biar enak ngomongnya," ajak Shilla tanpa menjawab pertanyaan Iel terlebih dahulu. Iel hanya menurut. Mengikuti gadis di depannya yang mengajaknya duduk di gazebo dekat lapangan.

Tak banyak yang berubah dari Shilla setelah hampir setahun tak berjumpa. Rambut hitam legamnya semakin panjang sejak terakhir kali Iel mengelusnya. Wajahnya terlihat sedikit lebih dewasa dengan polesan warna merah muda di bibirnya. Iel tersenyum tipis. Pemandangan cantik itu kembali hadir di hidupnya.

"Kamu apa kabar?" tanya Shilla.

"Baik." Iel tersenyum canggung. "Kamu?"

"Jauh lebih baik selama disini." Iel tertawa pelan.

"Berarti kamu harus disini terus." Shilla mengangguk. Memandangi beberapa siswa yang baru datang. Shilla tersenyum tipis. Ia merindukan seragam biru muda khas sekolah mereka yang akhirnya ia pakai lagi hari ini.

SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang