"Senja itu cantik! Tapi lebih cantik lagi kalau aku bisa memandangmu waktu senja tiba..."
Via mendesah kasar. Bosan mendengar kalimat itu terucap berulang kali dari bibir sahabatnya. Ify, manusia berparas cantik itu duduk di bawah, bersandar pada tiang listrik depan sekolah bersama es krim vanilla yang hampir habis dan buku catatan di pangkuannya. Sedikit menjauh dari Via. Membiarkan Via bersusah payah menyalakan motornya seorang diri.
Suruh siapa nerjang banjir?
"Senja..."
"Ayolah, Fy..." Ify mengatupkan bibirnya. Urung melanjutkan kalimat berikutnya. Ia mendongak. Memandang Via yang berdiri di dekatnya.
"Apaan?"
"Nih motor gak bakalan nyala kalo lo terus-terusan di sana sambil ngocehin itu mulu," protes Via. Kesal. Wajah kusamnya diperparah dengan keringat yang jatuh di pelipis. Diusapnya kasar keringat sebesar biji jagung itu. Ia menatap Ify dengan patah semangat.
"Nih, gua kasih tau ya, Vi. Motor tuh tempatnya di darat, bukan di air. Mogok 'kan jadinya? Terus salah siapa kalo udah gini?"
Via berdecak. Temannya itu bukannya membantu, malah ngomel. Percayalah, itu hanya akan memperparah mood-nya.
Ify membuang stik es krimnya, lantas melirik wajah Via sekali lagi. Ia meletakkan buku dan penanya ke dalam tas, lalu berdiri dan mengibas roknya dari pasir jalanan.
Ia memandang ke sekeliling. Ini sudah hampir maghrib. Sekolahnya yang terletak di sebuah komplek perumahan akan sangat sepi jika malam datang. Disisirnya sekali lagi lingkungan depan sekolah, sampai matanya menangkap seorang laki-laki yang sepertinya hendak meninggalkan lobi sekolah.
"Tuh, ada cowok." tunjuk Ify. Via mengikuti arah tersebut. Laki-laki dengan seragam dan warna bedge yang sama dengannya itu tengah berjalan menuju parkiran motor.
"Lo deh yang manggil. Gua malu." Ify berdecak.
Kebiasaan.
"Woi! Mas!" Teriak Ify.
Via mencubit lengan Ify. Suara itu melampaui manusia normal.
"Apa sih? Tuh, denger 'kan dia?" Bela Ify ketika laki-laki itu berjalan ke arah keduanya.
"Bisa nyalain motor ini gak?" Tanya Ify to the point.
Laki-laki ber-name tag Gabriel Stevent itu memandang Ify bingung, sebelum akhirnya mengambil alih motor milik Via. Mencoba menyalakan motor yang baru saja menjadi korban banjir ibukota itu.
"Tungguin gua!" ujar laki-laki di samping Ify itu. Setengah berteriak pada pengemudi motor hitam yang baru saja berhenti di depan gerbang sekolah. Membelakangi ketiganya dengan helm full face yang menyisakan mata teduhnya. Sepasang matanya tak sengaja bertemu dengan raut penasaran Ify lewat spion.
Tak berselang lama, motor milik Via menyala. Memberikan gerak reflek pada si empu untuk tersenyum lega. Berulang kali Ify mengucap terima kasih pada manusia ber-name tag Gabriel itu. Ia hanya mengiyakan, tersenyum, dan berlalu meninggalkan dua gadis itu.
"Jangan nyusahin mulu deh!" Seru Via sambil memukul motornya pelan. Bersiap meninggalkan lingkungan sekolah yang mulai gelap. Meminta Ify untuk naik ke motornya.
Dan sebelum motor biru itu menjauh dari pelataran sekolah, Ify masih sempat melihat laki-laki yang—sepertinya adalah teman orang yang menolongnya barusan. Laki-laki itu menunduk. Sibuk memainkan ponselnya. Mengabaikan Ify yang masih penasaran dengan mata teduhnya.
🍃
Bagian yang paling Via benci dari sekolah ini adalah suasana ramai kantin ketika istirahat tiba. Jam-jam paling krusial bagi seluruh siswa yang telah menahan lapar sejak jam pelajaran pagi berlangsung. Dan tak ada alasan bagi Via untuk tetap bertahan di sana dengan semangkuk bakso di tangannya, kecuali ingin mengumpulkan butiran keringat di tubuhnya dan menikmati suasana sesak kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionRio tidak membenci hidupnya. Sekalipun harinya diwarnai kelabu yang menemaninya berangkat sekolah setiap pagi. Papa tak mengerti dirinya. Tapi ia berusaha mengerti kemauan papa. Dan Marsal, pahlawan supernya yang pernah ia banggakan meskipun menyeba...