Rambutnya sebatas bahu. Ia berdiri memunggungi setiap mata yang memandangnya. Paduan gaun berwarna putih selutut dengan sneakers yang juga berwarna sama membuat seluruh pasang mata ingin melihat wajahnya. Sementara yang ada di hadapannya, hamparan laut tak bertepi terlihat begitu menawan untuk dipandang berkali-kali. Lagi-lagi pantulan senja pada riak air menghangatkan pemandangan cantik itu.
Via tersenyum untuk ke sekian kalinya. Selembar kertas di tangannya dengan gambar yang sangat indah membuatnya ingin memuji karya itu berulang kali. Sebetulnya, bukan karena gambar seorang perempuan di senja hari itu. Melainkan sebuah tanda tangan yang dilengkapi dengan nama si pelukis berada di pojok kanan bawah lembaran itu. Gabriel Stevent.
Via bahkan baru mengetahui hal ini setelah satu tahun menjadi anggota ekstrakurikuler jurnalistik. Salah satu ilustrator dari beberapa artikel yang tertempel di mading itu adalah Iel, Pemuda yang dekat dengannya sejak beberapa hari yang lalu.
Pagi-pagi sekali, sebelum bel masuk meneriakkan bunyi nyaring, Via melangkah dengan hati berbunga menuju kelas Iel. Selain karena gambar di tangannya itu, Via juga bermaksud untuk meminta saran dari Iel terkait ilustrasi yang akan ia tempel di mading minggu depan. Sang Ketua jurnalistik memohon padanya untuk membantu tim mading yang saat ini tengah sibuk menghadapi lomba. Via tak pernah sekalipun mengisi mading dengan hasil tangannya. Dan keberuntungan yang besar untuknya mengetahui fakta bahwa Iel pernah menjadi ilustrator mading sekolah.
Sepasang kaki berbalut pantofel hitam itu berhenti perlahan. Matanya menangkap Iel tengah berdiri di persimpangan koridor IPA. Bukan, bukan lagi senyum manis Pemuda itu yang membuat Via terpaku kali ini. Melainkan seorang gadis cantik yang dikenalnya tengah menertawakan sesuatu bersama Iel. Shilla, gadis yang kemarin sore baru berkenalan dengannya itu ada disana, berdua dengan Iel. Ekspresi keduanya menunjukkan seberapa dekat hubungan mereka. Terlebih ketika Iel mengusap rambut panjang yang terurai anggun itu sebelum ia melangkah meninggalkan Shilla dengan senyum di wajah masing-masing.
Mendadak, pembicaraan dengan beberapa teman perempuan di kelasnya dua hari yang lalu kembali muncul di pikirannya. Yang mereka tahu, Iel pernah berpacaran dengan seorang siswa dari kelas IPA. Siswa itu bahkan sempat menjadi bulan-bulanan para penggemar Iel lantaran kabar mereka yang berpacaran menyebar cepat di telinga kaum hawa yang mengagumi Iel. Namun tak ada kabar tentang hubungan keduanya sejak lama. Mereka bahkan tak pernah lagi melihat Iel jalan berdua dengan gadis itu. Mereka berpikir bahwa hubungan dua remaja itu telah berakhir. Namun sepertinya sekarang Via tahu, siapa gadis beruntung itu.
Via memutar tubuhnya. Urung menuntaskan niatnya untuk menemui Iel. Mood-nya mendadak buruk setelah melihat secara langsung bagaimana Iel—yang katanya cuek dengan perempuan mana pun itu memperlakukan Shilla dengan sangat manis.
Bruk.
"Aduh, sorry sorry. Gua gak sengaja, beneran. Sorry ya." Via berjongkok. Mengambil sebuah ponsel yang terjatuh menghantam lantai. Mengambil pula lembaran di tangannya yang ikut terjatuh.
Laki-laki yang baru saja ditabraknya itu ikut berjongkok. "Gak papa kok."
"Sorry banget ya, ya ampun. Rusak gak? Gua benerin deh kalo ada yang rusak," tanya Via sambil mengembalikan ponsel itu pada si pemilik. Meminta laki-laki itu untuk mengeceknya.
"Gak papa kok. Gak ada yang kurang." Laki-laki itu tersenyum ramah. Via menghela nafas lega. Ia bahkan tak menyadari situasi sekitarnya sebelum laki-laki berwajah oriental itu tak sengaja ia tabrak. "Gua juga salah. Main hape gak liat jalan," lanjut laki-laki itu.
"Kalo ada yang rusak, temuin gua di IPS 3, ya? Pasti gua benerin kok," ujar Via tak enak hati. Laki-laki itu hanya tersenyum dan mengangguk.
Laki-laki itu memperhatikan lembaran di tangan Via. Terutama gambar gadis berlatar senja itu. Ia mengangkat satu alisnya. "Ini, mau dibawa kemana?" tanya laki-laki itu sambil menunjuk gambar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionRio tidak membenci hidupnya. Sekalipun harinya diwarnai kelabu yang menemaninya berangkat sekolah setiap pagi. Papa tak mengerti dirinya. Tapi ia berusaha mengerti kemauan papa. Dan Marsal, pahlawan supernya yang pernah ia banggakan meskipun menyeba...