Agni menghentikan petikan Cole Clark hitam di dekapannya. Sendu nada milik Sang Legendaris Joan Baez hanya mempertebal mendung yang memuramkan wajah manisnya. Ia beralih memandang jauh lapangan indoor di hadapannya. Sepi. Hanya ada dirinya dan suara samar para siswa di kejauhan. Hampa itu menjamahnya lebih dalam kali ini. Dan ironisnya, tempat ini semakin mengusung gusar yang tak mampu ia jelaskan sendirian.
Setelah segala hal buruk yang terjadi semalam, Agni tak ingin melakukan apapun atau bertemu siapapun hari ini. Pelajaran bahasa Jerman dan matematika di jam-jam awal hanya menambah buruk mood-nya. Bahkan, kekhawatiran Via ketika melihat wajah berantakannya ia abaikan begitu saja.
Percekcokan hebat di antara kedua orang tuanya menggoreskan luka panjang di hatinya. Selain itu, pertengkarannya dengan Cakka di taman rumah sakit seakan mengakhiri warna-warna indah di hidupnya. Semalam, ketika Cakka meneleponnya dengan teriakan frustasi, Agni justru menunduk pilu di seberang sana. Semua kalimat panik yang keluar dari bibir Cakka di telepon tak membuatnya tergerak untuk melakukan tindakan apapun. Samar, kata 'cerai' yang dilontarkan begitu saja oleh Sang Ayah membuat tangis Agni pecah saat itu juga. Tak mengindahkan lebih banyak pembicaraan Cakka yang menggebu, Agni menutup telepon secara sepihak. Lantas, ia menghubungi Alvin dengan isakan tertahan. Meminta temannya itu untuk membantu Cakka yang tengah panik menghadapi keadaan Rio.
Setelah sekian menit memikirkan semua omong kosong orang tuanya di lantai bawah sembari menangis sesenggukan bak gadis putus cinta, Agni beranjak dari kasurnya, mengambil kunci motor dan berlalu pergi. Dan hatinya yang masih labil mengantarnya menuju rumah sakit. Berharap dengan bertemu teman-temannya dan memastikan bahwa Rio baik-baik saja, akan turut menyembuhkan luka di hatinya. Tapi dugaannya salah. Semalam, semua menjadi lebih buruk dari yang Agni harapkan.
Agni menghapus air mata yang lagi-lagi jatuh di pipi. Meski sudah berusaha menahannya sekuat mungkin, air matanya tetap tak mau berhenti mengalir dari mata cantiknya. Beberapa orang yang berlalu lalang di depannya memandang gadis itu penuh tanya. Seakan tak peduli, Agni masih berusaha meredam isakannya.
Agni telah berjanji pada sang kakak untuk hidup bahagia di sini. Ia meninggalkan semua masa kecilnya di Purworejo, juga kakak perempuan kesayangannya yang memilih bertahan dengan keluarga besarnya. Agni pernah mengatakan bahwa suatu hari nanti, ketika ia telah beranjak dewasa dan telah hidup dengan sangat baik di Jakarta, ia akan kembali menemui sang kakak, dan menceritakan segala hal indah yang tak sempat mereka lewati bersama. Lantas, apa yang akan terjadi setelah ini? Bagaimana janjinya pada Sang Kakak untuk hidup bahagia?
"Dengerin gua baik-baik!"
Agni menghentikan isakannya kala ia mendapati Cakka tengah berdiri di ujung lorong, tak jauh dari tempatnya saat ini. Laki-laki itu terlihat tengah menelepon seseorang. Agni mengusap lagi air mata yang masih menggenang di pipinya. Ia tak ingin orang yang ia kenal, terutama Cakka, melihatnya menangis untuk ke sekian kalinya. Meski wajahnya yang kusut telah menunjukkan apa yang terjadi.
"Rio sekarang masuk IGD. Gua nemuin dia sekarat di kamar kosnya. Dia sakit. Kanker. Dan gua harap dia gak bakal ngalamin hal ini untuk kedua kalinya," jelas Cakka pada panggilan di seberang.
Agni mengernyit penasaran ketika mendengar pembicaraan Cakka dari tempatnya saat ini.
"Lo satu-satunya keluarga dia yang bisa gua kasih tau, Bang. Adek lo sakit parah. Dan dia lagi ada masalah besar sama Bokap lo. Gua gak mau tau pokoknya. Gua gak bakal maafin diri gua sendiri, termasuk lo, kalo sampe Rio kenapa-kenapa lagi."
Agni berjalan mendekat ketika Cakka mengakhiri panggilannya. Laki-laki itu mengerang kesal dengan wajah frustasinya. Agni tahu, Cakka pastilah orang yang paling khawatir akan keadaan Rio di dalam sana.
"Kka," panggil Agni. Cakka yang tengah membenamkan wajahnya pada tumpuan tangannya di dinding mendongak. Mendapati Agni berdiri di sampingnya.
"Lo barusan telepon siapa?" tanya Agni.
Cakka terdiam sejenak dengan wajah yang tak kalah kusut dari Agni. "Marsal. Kakaknya Rio."
Agni mengerutkan keningnya. "Bukannya lo udah janji sama Rio buat tutup mulut soal masalah ini sama keluarganya sampe Rio siap buat ngasih tau mereka sendiri?"
"Sampe kapan, Ag? Sampe kapan gua pura-pura diem gini sementara lo tau gimana keadaan dia. Gua cuma gak mau dia kenapa-napa, Ag. Seenggaknya ada satu orang yang ada buat dia ketika gua gak bisa ada di samping dia. Gimana kalo kejadian ini terulang lagi, Ag?" Cakka mengeluarkan emosi dan kekhawatirannya pada Rio. Bagaimana pun, Cakka adalah sahabat yang paling mengerti seperti apa sosok Rio dan kehidupannya.
"Tapi lo gak bisa main kasih tau kakaknya gini dong, Kka," sanggah Agni. Ia masih ingat betul permintaan Rio pada semua kawan-kawannya untuk menjaga rahasia ini dari keluarganya. Dan sikap Cakka barusan mampu menyulut emosinya. "Rio punya privasi yang harus dia jaga. Lo gak bisa ngerusak privasi orang seenaknya."
"Dia sahabat gua, Ag. Gua yang lebih tau soal dia. Gua gak mau dia kenapa-napa. Gua gak mau kehilangan dia. Dan gua musti gimana kalo dia sampe collapse lagi? Dia gak punya siapapun yang bisa ngasih dia pertolongan," sahut Cakka tak kalah emosi. Ujung koridor yang sepi mambawa suara keduanya menggema di dinding putih yang dingin. Ikut pula menambah ketegangan yang terjadi malam itu.
"Gua tau, Kka. Gua tau lo khawatir sama Rio. Yang khawatir gak cuma lo kok. Alvin sama Iel juga dateng secepat kilat waktu lo minta tolong. Lo pikir mereka ngapain mau repot-repot malem-malem dateng ke kosan Rio kalo bukan khawatir Rio bakal kenapa-napa? Shilla sama Ify yang gak bisa berhenti nangis juga sama khawatirnya kayak lo. Tapi kekhawatiran lo bukan alasan buat ngerusak kepercayaan sahabat lo gitu aja."
"Arghh! Terserahlah! Semua yang gua lakuin pasti salah. Selalu salah. Terus menurut lo gua harus gimana?" tanya Cakka dengan frustasi.
Agni mengembuskan napas berat. "Lo egois, Kka." Dan setelahnya, Agni berlalu dari pandangan Cakka. Meninggalkan laki-laki yang diliputi emosi dan rasa sesal itu.
Cakka meletakkan kepalanya di atas laptopnya yang tengah menyala di atas meja. Mencoba memejamkan mata lelahnya. Pertengkarannya dengan Agni semalam berputar dengan acak di pikirannya. Belum lagi kemarahan Rio padanya, ketika mengetahui bahwa Marsal akan melakukan penerbangan ke Jakarta pagi ini begitu mengetahui kabar tentang Rio darinya. Selain itu proposal pentas seni gabungan yang diberikan OSIS padanya harus ia selesaikan dalam waktu sesingkat mungkin. Tumpukan masalah yang membuat kepalanya terasa berkali-kali lipat lebih berat dari biasanya.
"Laptop gunanya bukan buat tidur."
Cakka membuka matanya, dan mengangkat kepala. Mendapati seorang gadis cantik tengah duduk di hadapannya. Cakka mengernyit menatap wajah yang familiar baginya itu.
Gadis berambut sebahu itu mengangkat alisnya bergantian. "Kenapa? Ada yang aneh sama muka gua?" tanyanya pada Cakka.
"Lo... siapa?"
Gadis itu berdecak. Mengambil salah satu tumpukan lembar proposal lawas di sebelah laptop Cakka. Membukanya dengan asal. "Kita udah seorganisasi hampir setahun. Dan lo masih gak hafal nama anak-anak OSIS," komentar gadis itu. "Gua Oik, dari seksi administrasi. Gua disuruh sama Olin buat bantuin lo ngerjain proposal ini."
"Kenapa?" tanya Cakka. "Dia pasti gak percaya gua bisa nyelesaiin ini," gumam Cakka. Melanjutkan kembali merangkai kalimat-kalimat membingungkan di laptopnya.
Oik tertawa pelan. "Bukannya si ketos gak percaya, tapi dia tau kalo lo butuh bantuan. Lagian muka lo kuyu banget. Lo lupa cara tidur ya?" tanya sekaligus goda Oik.
Cakka tak menanggapi. Ia sedang pusing. Ocehan gadis di hadapannya itu hanya menambah sekian persen beban di kepalanya.
"Beneran gak mau gua bantuin? Gratis loh. Waktu selesai istirahatnya juga kurang lima belas menit lagi. Lo bisa makan atau tidur bentar kalo lo mau. Gua udah bosen dengerin guru-guru pada ngomongin hobi lo cabut pelajaran, tidur di kelas, terus... yang jelek-jeleklah pokoknya."
Cakka melirik gadis itu sejenak, sembari termenung memikirkan perkataan Oik barusan. Detik kemudian, Cakka berdiri. Menggeser kursinya, hendak meninggalkan perpustakaan.
"Nitip laptop bentar. Makasih kalo mau bantu. Gua mau beli sarapan."
Oik mengangguk. Tersenyum menatap punggung gagah itu berlalu dari pandangannya. Dilihatnya laptop hitam milik laki-laki itu di hadapannya. Setelah sekian lama, pada akhirnya Oik dapat bertemu dengan momen ini. Meski Cakka tak menyadarinya, Oik cukup bersyukur, dapat duduk dan berbincang bersama Cakka dengan jarak sedekat ini.
🍃
Brakk
Rio melirik Marsal yang duduk di kursi sebelah ranjangnya. Suara mangkok penuh isi yang dihempaskan di atas nakas barusan tak membuat Rio mengubah minatnya sedikitpun. Dan tatapan kesal dari sang kakak semakin tak dipedulikan olehnya. Sebaliknya, game di tangannya jauh lebih menarik baginya daripada berdebat hal-hal tak penting dengan Marsal. Lagipula, tenaganya masih sangat minim untuk beradu mulut dengan kakak satu-satunya itu.
"Bandel banget sih lo jadi anak!" seru Marsal yang mulai menyerah menghadapi sifat keras kepala sang adik.
"Emang." Rio tak terlalu menanggapi. Dibaringkan lagi tubuhnya yang terbalut baju rumah sakit. Mencoba mengusir nyeri yang masih pandai menyerang tubuhnya sewaktu-waktu.
"Gua jauh-jauh dari Jogja ke sini cuma buat bujuk lo makan kayak perawan patah hati gini," gerutu Marsal. Mencoba lebih bersabar menghadapi Rio.
Marsal mengambil ponselnya di laci nakas. Membuka grup bimbingan skipsinya. Sungguh, ia sedang sangat sibuk mengurus skripsinya yang akan rampung beberapa minggu lagi. Dan berita buruk yang diterimanya semalam seakan mampu menampar kesadarannya, bahwa ia masih memiliki adik yang membutuhkan sosoknya sebagai keluarga. Meskipun jarang akur dan terlalu sering berbeda pandangan, Marsal sangat menyayangi adiknya itu. Tadi pagi, ia mengikuti penerbangan pertama menuju Jakarta dengan kekhawatiran yang luar biasa. Semalaman ia tak dapat memejamkan matanya sama sekali. Bayangan tentang keadaan keluarganya yang memburuk dan kabar dari Cakka bahwa Rio telah hengkang dari rumah selama beberapa minggu membuat ia tak mampu berpikir tenang. Lalu, apakah sang ayah telah mengetahui keadaan putra bungsunya itu?
"Permisi," Marsal dan Rio menoleh ke arah pintu masuk secara bersamaan. Mendapati Ify dengan seragam sekolah lengkap membuka pintu ruangan. Gadis itu tersenyum canggung ke arah Marsal.
"Masuk aja sini." Marsal bangkit. Ia mengetahui beberapa postingan Rio di media sosial yang mampu menjelaskan siapa gadis cantik ini.
"Gua mau ke bawah. Lo gak papa 'kan gua tinggal disini?" tanya Marsal sambil mempersilahkan Ify duduk.
"Gak papa kok, Bang." Ify tersenyum dan berterima kasih.
"Awas lo kalo macem-macem sama anak orang!" ancam Marsal pada Rio yang hanya menatapnya sinis. Ify hanya tertawa pelan, memandang Marsal yang berlalu dari ruangan beraroma karbol aneh itu.
"Udah baikan?" Ify berbalik, menatap wajah Rio yang berbaring di hadapannya. Laki-laki pucat itu tersenyum tipis dan mengangguk.
"Kalo ngerasa gak enak, harusnya lo hubungin gua atau yang lain. Untungnya kemarin Cakka udah ada di tempat lo. Gua khawatir banget tau gak? Gua takut lo kenapa-napa," omel Ify dengan wajah sedih.
Rio menarik ujung bibirnya. Senang. Karena ada seorang wanita yang ia sayangi kembali mengkhawatirkan keadaannya. Setidaknya, Rio bisa melupakan rasa sakit di tubuhnya ketika mendengar omelan manis itu.
"Iya, maaf. Kemarin tiba-tiba kambuh," jawab Rio. Ia mengangkat tubuhnya. Menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang yang diberi tumpuan bantal dengan bantuan Ify.
Ify menatap sekitar. Ruangan serba putih dengan dekorasi yang minim, beserta sebuah sofa panjang di sudut ruangan yang di atasnya terdapat beberapa pakaian milik Rio dan Marsal yang berserakan. Ify menggeleng-gelengkan kepalanya. Ify pikir, semua laki-laki yang dekat dengannya tak memiliki jiwa seni dalam hal kerapian.
Pandangan Ify berhenti pada nakas di sampingnya. Semangkuk bubur yang masih utuh dan terlihat belum disentuh sama sekali membuat Ify tergerak untuk meraihnya.
"'kan gua udah bilang, lo harus makan yang banyak, biar gak jelek." Ify mengacungkan sesendok bubur di dekat mulut Rio. Rio menatap itu tanpa minat. Namun, ketika ia menatap wajah letih Ify sepulang sekolah, ia pun luluh pada akhirnya. Rio membuka mulutnya. Menelan makanan hambar yang paling ia benci itu.
"Janji deh, besok gua bawain makanan enak. Yang penting ini habisin dulu," ujar Ify.
Bak seorang ibu yang membujuk anaknya untuk mau mengunyah makanan di mulutnya. Rio tersenyum tipis. "Iya, Bunda." Ify tertawa pelan mendengarnya.
"Udahan marahnya sama Cakka. Kasihan, kayak gak punya semangat hidup gitu," ucap Ify pada Rio.
"Gua gak marah," balas Rio. Mengambil ponselnya yang ia letakkan di sisi kirinya. Membuka chat dari Pak Joe yang menanyakan keadaannya. "Kesel aja. Harusnya Abang gua gak tau ini dan bisa fokus sama sidang skripsinya."
Ify hanya diam memaklumi. Ia tahu, Rio hanya butuh waktu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Ify hafal betul hal itu.
"Tadi gua ke sini sambil minta ajarin Alvin buat nyetir. Harusnya sama Abang gua sih, tapi dia lagi sok sibuk. Ya, lumayan lah, gua gak perlu bingung nyari taksi kalo ada keadaan darurat. Btw, lo gak marah 'kan kalo gua ngerepotin temen lo?"
Rio menggeleng dan tersenyum mahfum. "Harusnya gua minta maaf sama lo. Lo jadi terpaksa bisa nyetir buat gua."
Ify menyuapkan sesendok lagi ke mulut Rio, namun Rio menolak. Ify membiarkannya. "Enggak kok. Gua seneng, akhirnya gua berani bawa mobil sendiri." Ify tersenyum manis. Rio ikut tersenyum memandangnya.
"Lo tau gak? Gua iri banget sama persahabatan lo. Tadinya, gua kira, kalian cuma sekumpulan murid nakal yang hobi cabut pelajaran sama nyari sensasi doang. Ternyata kalian gak seburuk yang gua kira. Waktu gua nyampe sini semalem, gua lihat mereka, Shilla, Iel, Alvin, Cakka lagi pelukan bareng, saling berdoa buat keadaan lo. Gua yang tadinya mau nangis teriak-teriak jadi nggak enak. Akhirnya gua ngikut berdoa aja di belakang mereka," cerita Ify panjang.
Rio terkekeh pelan. "Iya, mereka selalu gitu. Baik banget sama gua," lanjutnya dengan senyuman tipis.
Jika diingat, mungkin Rio adalah orang yang cukup beruntung di dunia ini. Bertemu sahabat-sahabat yang sangat baik seperti mereka. Masalah berat yang telah mereka lalui ternyata tak cukup kuat untuk merobohkan benteng pertahanan persahabatan itu. Yang ada, doa-doa itu semakin kuat, menembus langit, dan meluruhkan tangan Tuhan untuk membantunya membuka mata kembali. Rio sangat berterima kasih pada Tuhan untuk segala hal baik di hidupnya, terutama keberadaan orang-orang yang mau menemaninya bertahan.
"Pokoknya lo harus cepet pulih. Gua gak mau latihan sendirian. Apalagi main sendiri di atas panggung pensi nanti," kata Ify.
Rio mengangguk dan tersenyum. Pasti. Jika bukan untuk dirinya sendiri, ia pasti akan melakukannya untuk Ify.
"Terus, sekarang Alvin di mana?" tanya Rio.
🍃
Alvin duduk bersandar di sebuah kursi berderet di depan ruang rawat Rio. Sama seperti Ify, seragam putih abu-abu yang kusut masih menempel di tubuhnya. Alvin sedang malas pulang hari ini. Itu sebabnya ia menawarkan Ify untuk pergi ke rumah sakit dan menemani Rio. Namun, sejak kedatangannya beberapa menit yang lalu, ia memilih untuk duduk seorang diri di koridor yang sepi. Membiarkan Ify menghabiskan waktu berdua dengan kekasih barunya.
Bukan, bukan karena Alvin tak ingin mengganggu euforia jatuh cinta yang tengah dirasakan sahabatnya di ruangan sana. Hanya saja, Alvin sedang berada pada suasana hati yang tidak terlalu baik untuk bisa berbagi tawa bersama sahabatnya. Singkatnya, Alvin hanya ingin sendiri.
Dirogohnya kantong celana abu-abunya, mengambil ponsel. Sekali lagi, Alvin membaca chat yang ia kirimkan dua jam yang lalu pada Deva, seseorang yang—menurut cerita Tasya, adalah kakaknya. Sedangkan banyaknya chat yang Alvin kirim, tak ada satupun yang dibalas oleh laki-laki itu. Dua simbol centang yang menandakan laporan terbaca membuat Alvin berpikir berkali lipat, mengapa Deva tak mau mengangkat teleponnya jika memang dirinya adalah adik laki-laki itu?
"Ify mana?" lamunan Alvin buyar. Ia menoleh, sama sekali tak menyadari bahwa Via telah berdiri di dekatnya.
"Di dalem," jawab Alvin singkat.
"Lo gak masuk?" tanyanya lagi. Alvin hanya menggeleng.
Via memilih duduk di samping Alvin dan memainkan ponselnya, setelah sebelumnya melongok pada kaca pintu ruangan Rio, dan mendapati sahabatnya tengah tertawa bersama Rio. Mungkin, ia harus membiarkannya sejenak.
Alvin menyandarkan tubuhnya pada dinding di belakangnya. Melipat tangan di dadanya. Beberapa hari ke belakang terasa cukup berat baginya. Mulai dari nilai-nilainya yang turun drastis, hingga fakta tentang dirinya sendiri yang baru ia ketahui, semua itu cukup lihai menguasai pikirannya.
"Lo gak sama Iel ke sini?" tanya Alvin akhirnya. Via mematikan ponselnya kembali.
Via mengangkat kedua bahunya. "Dia gak masuk sekolah hari ini."
Alvin beralih memandang Via di sampingnya. Ia baru menyadarinya. Seharian ini ia tak bertemu Iel sama sekali di sekolah. Kemana 'sahabat baik'-nya itu? Jika biasanya Iel akan memberi tahunya terlebih dahulu jika hendak bolos atau cabut, namun Alvin tak merasa Iel menghubunginya hari ini. Alvin mencari chat atau panggilan masuk dari Iel di ponselnya, namun tak ada satu pun kabar.
"Percuma. Dia juga gak read chat gua kok," ujar Via. Alvin hanya mengangguk. Mungkin Iel sedang malas berangkat sekolah, atau ada keperluan penting.
"Cewek gua mana?" tanya Alvin lagi.
"Siapa?"
"Shilla."
"Dih, jadian aja belom," protes Via.
"Doain makanya."
"Amin." Alvin tertawa pelan. "Tadi Shilla bilang ada kegiatan di komunitas fotografi. Jadi gak bisa ikut." Alvin meng-ohkan mulutnya.
Via melirik Alvin sejenak. Menatap lamat laki-laki oriental yang dikenal ramah oleh teman-temannya itu. Jika diamati, memang wajar jika banyak teman perempuan di kelasnya yang mengidolakan Alvin. Laki-laki itu terlalu sempurna untuk dikatakan sebagai lelaki biasa. Namun, hari ini ada yang berbeda darinya. Seperti, "lo lagi sedih ya?" tanya Via akhirnya.
Alvin balas menatap Via. Mengangkat sebelah alis tebalnya. "Emang kenapa?"
"Muka lo kelihatan berantakan. Padahal, biasanya cengar-cengir mulu."
Alvin menarik ujung bibirnya tipis. "Iya, gua sedih." Alvin mengembuskan napas beratnya perlahan. "Tuhan ngasih cobaan seberat ini ke sohib gua. Gimana gua gak sedih?"
Via tersenyum tipis. "Gua denger banyak soal Rio dari Iel. Lo tau? pas pertama kali Iel bilang ke gua kalo Rio sakit parah, dia nangis. Dia bilang kalo dia gak mau kehilangan orang yang dia sayang. Gua agak kaget sih. Kata Cakka, Iel itu cowok yang keras kepala. Tapi, dia sebegitu sedihnya waktu tau temennya sakit," cerita Via.
"Kayaknya lo tau tentang Iel lebih banyak ya daripada gua," ujar Alvin menanggapi. Via hanya tersenyum tipis. "Lo sama Iel sedeket apa?" tanya Alvin. Melupakan keinginannya untuk menghabiskan waktu sendirian. Berbincang dengan gadis yang sedang dekat dengan Iel itu mungkin akan mengurangi sedikit bebannya.
"Emm... gak tau. Tapi, gua seneng, Iel selalu ngasih gua kesempatan buat nemenin dia ngabisin banyak waktu." Alvin mengangguk-angguk. Sedikit tak menyangka sebenarnya. Alvin yang sangat mencintai Shilla dapat dengan mudah menerima perempuan lain untuk mengisi tempat kosong di hidupnya. "Lo sendiri, sama Shilla gimana?"
"Gitu-gitu aja," jawab Alvin apa adanya. "Kayaknya Shilla masih sayang sama Iel. Gua gak bisa apa-apa."
"Kita ini lucu, ya? gak patah semangat berjuang buat orang yang masih saling sayang. Berasa jahat banget."
Alvin terkekeh pelan. Membenarkan.
"Padahal anak-anak di sekolah ngiranya gua sama lo ada hubungan apa-apa."
"Hmm? Serius?" Via mengangguk.
"Kok bisa?"
"Lo sih, kenapa jadi cowok pertama yang nyari gua di kelas gua waktu itu? Kenapa bukan Iel aja yang ke kelas gua, dan bilang sendiri kalo dia mau cabut? Jadinya gua digosipin sama lo 'kan." Alvin tertawa mendengarnya. Via turut tertawa.
Shilla memutar tubuhnya. Mengurungkan niatnya untuk menghampiri Rio di ruangannya. Sebuah kantong plastik berisi bakso pesanan Rio di genggamannya ia lupakan begitu saja. Kakinya melangkah kembali ke luar rumah sakit. Entah mengapa, hatinya tak rela kala mata tajamnya menangkap Alvin tengah tertawa lepas bersama orang lain di sana. Terutama orang itu adalah Via.
🍃
Dengan perlahan, Iel menutup pintu coklat berhias dedaunan plastik di hadapannya. Takut menimbulkan suara gaduh bagi sang adik yang baru saja tertidur. Setelahnya, Iel hanya terdiam di posisinya, di depan pintu kamar Nia.
Hari ini Iel memutuskan untuk bolos pergi ke sekolah. Seharian Iel menjaga Nia yang masih demam pasca pingsannya di sekolah kemarin. Iel tak tahu harus berbuat apa untuk membahas banyak hal dengan Nia. Beberapa menit yang lalu, Iel mengatakan pada Nia bahwa ia tak mau Nia mengambil pekerjaan paruh waktu lagi. Iel tak masalah jika ia tak dapat mewujudkan mimpi-mimpinya nanti, sebab baginya, Nia jauh lebih berharga dari segala yang pernah ada di hidupnya. Meski sempat berdebat beberapa kali, Nia menyerah, dan mengiyakan permintaan Abangnya.
Gimana caranya gua dapet kerjaan?
Sebelum Iel berpikir lebih jauh, suara bel rumah membuyarkan pikirannya. Iel meninggalkan tempatnya, dan berlalu membuka pintu rumahnya.
"Ada apa?" Agni mengangkat wajahnya. Iel membuka pagar rumahnya yang terkunci dari dalam.
Agni menunjuk bola basket di tangan kirinya. "Gak ada temen." Setelah mengunci pintu rumahnya, Iel berlalu menuju lapangan basket di dekat rumahnya.
Dua remaja itu saling berlari dan berebutan bola di bawah sorot matahari senja di ujung barat. Lapangan komplek yang biasanya ramai, mendadak sepi hari ini. Entahlah, mungkin orang-orang tahu, bahwa dua anak manusia itu sedang membutuhkan waktu untuk melepas beban mereka bersama kedamaian jingga.
"Lo kenapa, tadi gak masuk?" tanya Agni, di sela-sela dribble yang ia lakukan.
"Pusing," jawab Iel singkat. Masih mencoba merebut bola di bawah penguasaan Agni.
"Kebanyakan pikiran?" sindir Agni. Iel tertawa pelan, dan berhasil merebut bola oranye itu.
Happ
Bola itu melewati ring dengan mulus. "Lo sendiri?" tanya Iel.
"Hmm?"
"Gak bakal ngajak gua main kalo gak ada masalah." Agni tersenyum. Partner basketnya itu hafal dengan kebiasaannya.
Iel mengibaskan sebelah tangannya ke udara. Selesai. Ia membaringkan tubuhnya di lapangan, tak jauh dari ring. Ia memejamkan matanya. Merasakan embus angin sore yang menerpa wajahnya dengan penuh ketenangan. Seandainya, hidupnya bisa berjalan seperti angin sore ini.
"Payah," komentar Agni ketika melihat Iel mengakhiri permainan. Namun, ia turut duduk di samping Iel. Ikut menikmati cantiknya senja bersama hatinya yang masih dijamah gundah.
"Capek."
"Kalo capek, berhenti bentar. Tapi jangan kelamaan. Kaki lo bakal lupa caranya berdiri."
Iel menarik senyuman di bibirnya. Analogi yang bagus. Namun tak sebagus kenyataannya.
Iel membuka matanya. Menatap rambut kuncir kuda Agni yang tengah duduk memunggunginya. "Lo ada masalah apa?"
Agni tertawa sumbang. "Kenapa? Mau ngadu sama Cakka?" tanya Agni balik.
"Pura-pura aja."
Agni menoleh, tak mengerti maksud Iel. Iel kembali menatap langit biru yang berhias sedikit awan di atas sana. Mendung telah berlalu sejak beberapa hari yang lalu.
"Lo pura-pura gak pernah bilang apa-apa ke gua. Gua juga gitu."
Agni mengangguk-angguk, dan mencoba menceritakan semua masalahnya yang terjadi semalam. Pertengkaran orang tuanya yang berujung pada perceraian, dan pertengkarannya dengan Cakka yang membentuk warna kelabu di hatinya saat ini. Iel menyimaknya dengan saksama.
"Gua udah biasa. Sejak awal gua masuk SMA, bokap nyokap udah sering berantem, dan gua udah tau kalo akhirnya bakal gini. Tapi tetep aja, mana ada anak yang siap kehilangan kenangan sama keluarga kecilnya." Iel tersenyum tipis mendengarnya. Bagaimana dengan dirinya? Apakah saat itu ia sudah cukup siap menghadapi kehancuran keluarganya?
"Gua juga berantem sama Cakka," lanjut Agni.
"Karena?"
Agni terdiam sejenak. Ia tahu, keegoisan yang tumbuh di hati-hati masing-masinglah yang menjadi penyebabnya. Namun hati kecilnya ingin memungkiri itu. Berikutnya, Agni hanya mengangkat kedua bahunya.
"Gua kenal lo sejak lama. Apapun masalah lo sekarang, gua tau lo cukup tangguh ngadepin semuanya." Agni mengangguk, dan tersenyum tipis.
Gua kuat, karena ada dia di samping gua.
"Lo sendiri, punya masalah apa sampe bolos segala?" tanya Agni.
"Masalah gua... gua gak mau kehilangan siapapun," jawab Iel.
"Itu bukan masalah. Semua orang takut kehilangan."
"Tapi itu masalah besar buat gua."
"Bener kata Via, lo aneh." Iel tertawa pelan, Agni ikut tertawa. "Hubungan lo sama Via itu apa sih?"
"Temen doang." Iel memandang sepasang merpati yang terbang ke arah utara. Sangat manis. "Tapi, kadang, dia jadi orang satu-satunya yang gua cari pas lagi berat."
Agni tahu betul, hati milik laki-laki di sampingnya ini berada di mana saat ini. Namun, Agni membiarkannya. Agni yakin, segalanya akan mengalir menuju tempat yang lebih baik suatu saat nanti. Dan ia hanya dapat memberi support bagi Via, sahabatnya, untuk tetap memperjuangkan hati tulusnya agar berada di genggaman seorang laki-laki yang tepat, yang mampu membawa kebahagiaan utuh untuknya.
🍃
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionRio tidak membenci hidupnya. Sekalipun harinya diwarnai kelabu yang menemaninya berangkat sekolah setiap pagi. Papa tak mengerti dirinya. Tapi ia berusaha mengerti kemauan papa. Dan Marsal, pahlawan supernya yang pernah ia banggakan meskipun menyeba...