"Pulang ke rumah!"
"Gak."
Rio merebut ponselnya dari tangan Marsal. Kembali membuka media sosialnya setelah sebelumnya Marsal berusaha mengganggunya dan membicarakan perihal kepulangannya dari rumah sakit besok. Rio tak ingin dibujuk seperti anak kecil. Lagipula, Marsal harusnya mengerti apa yang Ia rasakan saat ini jika berhadapan dengan sang Ayah.
Marsal menatap Rio dengan sebal. Ia tahu, adiknya memang keras kepala, dan Ia juga tahu jika berdebat dengan Rio akan sangat melelahkan. Marsal mulai jengah menghadapi Rio. Dikeluarkannya ponselnya dari saku kemeja dan mengetik sebuah chat untuk seseorang.
"Besok pagi lo dijemput temen lo. Gua pastiin lo gak cabut dari rumah. Malem ini gua balik ke Jogja. Mungkin tiga atau empat hari lagi gua pulang. Gua juga udah ngomong sama bokap kalo lo balik ke rumah, dan..."
"Lo bilang sama Papa soal penyakit gua?" potong Rio cepat.
Marsal menatap adiknya sebentar. Menghela napas berat, lantas membalikkan badannya. Laki-laki dengan wajah mirip Rio itu mulai merapikan beberapa barangnya untuk ia kemas. Ia harus kembali dengan aktivitas padatnya. Sidang skripsinya akan berlangsung sebentar lagi, dan ia tak bisa terus-menerus meminta izin pada sang dosen pembimbing untuk merawat adik nakalnya itu.
"Bang?" ulang Rio sambil menegakkan tubuhnya yang setengah berbaring. Sang kakak bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan jika berurusan dengan dirinya.
"Gua gak bakal ragu ngasih tau bokap kalo lo gak mau nurut sama gua."
Rio mengembuskan napasnya lega. Setidaknya, ia tak perlu melihat sang ayah terbebani karena dirinya lagi. Ia merasa sudah cukup melakukan semua tingkah kekanakannya selama beberapa minggu ini. Karena setelahnya ia juga tahu, kemarahannya tak menyelesaikan apapun kecuali memperburuk hubungannya dengan sang ayah.
"Ayo!"
Rio terkesiap dari lamunannya ketika Alvin turun dari motor dan menyeretnya memasuki garasi rumah. Jika bukan karena ancaman Marsal semalam, mungkin pagi ini ia sudah menyibukkan diri untuk merapikan kamar kosnya dan berangkat sekolah dengan perut lapar seperti biasa.
"Gua balik ke sekolah. Lo istirahat yang bener. Anak basket masih butuh kaptennya," ujar Alvin sambil melihat jam tangannya sejenak. Gerbang sekolah ditutup sepuluh menit lagi. 80 km/jam mungkin cukup untuk menghempaskan debu jalan raya yang sedikit padat pagi ini.
"Gua keluar dari basket."
Alvin menampakkan wajah kagetnya. "Kenapa?"
"Ya Tuhan, Rio!" Rio dan Alvin menoleh. Bi Sri dengan senyum merekah berjalan cepat dari arah dapur menuju dua remaja itu. Ini hari yang paling indah baginya. Tuan kesayangannya itu telah kembali ke rumah dengan keadaan baik-baik saja.
"Buruan balik ke sekolah! Thank's." Rio tersenyum tipis, menepuk bahu Alvin dan berlalu dari pintu garasi rumahnya. Meninggalkan Alvin yang masih berdiri di sana, sebelum menit jam menyadarkannya untuk segera berlalu dari istana megah itu jika tak ingin berdiri menantang tiang bendera selama jam pertama.
"Kamu tinggal di mana selama ini? Astaga, kenapa bisa kurus gini? Kamu sakit?" Rio hanya dapat memamerkan deretan gigi putihnya ketika bi Sri mengelus wajah pucatnya, mengkhawatirkannya seperti seorang ibu yang begitu cemas akan keadaan anaknya yang tak pulang selama berminggu-minggu.
"Gak papa, Bi. Aku capek aja."
Bi Sri menatap tuan mudanya dengan sedih. Ia telah ada di sana sejak lama, menjadi saksi semua kisah keluarga Haling. Menjadi seseorang yang berusaha menjadi Ibu kedua bagi Rio dan Marsal, terutama setelah nyonya yang paling dihormatinya pergi ke surga, dan menyaksikan kedua bocah laki-laki yang sangat berbeda itu tumbuh sebesar ini. Mungkin, ia juga dapat merasakan apa yang tengah terjadi pada tuan mudanya saat ini.
"Di dapur ada ayam kecap. Kamu belum sarapan 'kan?"
Rio mengalihkan matanya ke arah dapur. Sejenak, ia baru menyadari ada orang lain di sana. Seorang wanita yang menatap ke arahnya sejak tadi. Wanita itu memberikan senyum tipis nan canggung dari tempatnya saat ini.
Rio terdiam sejenak ketika menyadari bahwa wanita itu adalah penyebab retaknya hubungan sang ayah dengan dirinya. Rio menarik kedua sudut bibirnya kaku. Berusaha membalas senyuman wanita itu.
"Aku naik dulu ya, Bi. Nanti aku makan." Bi Sri mengiyakan. Memberi ruang pada Rio untuk beristirahat. Anak itu pasti melalui hari yang cukup berat belakangan ini.
Rio membanting tubuh di atas kasur hangatnya. Ruangan dengan aroma floral itu benar-benar ia rindukan. Rio memeluk gulingnya. Memandangi figura yang dipajang dengan apik di nakas samping kasurnya. Sebuah foto yang diambil sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kedua orang tuanya masih sangat muda kala itu. Seharusnya, ia bisa menyaksikan mama dan papanya menua dengan bahagia bersamanya saat ini. Menyaksikan betapa hebatnya anak bungsu mereka yang berulang kali menjadi juara di sekolah, hingga menemaninya melewati hari-hari berat bersama penyakit yang mulai merenggut kebebasannya itu.
Angannya kembali melayang pada sang ayah. Sepertinya, sang ayah sedang tidak di rumah pagi ini. Jika dipikir berulang kali, Rio merasa benar-benar egois dengan sikapnya. Sang ibu telah cukup lama pergi dari sisi ayahnya. Dan Rio mengerti, menjalani hari sebagai pebisnis besar seorang diri pasti sangat berat. Rio tak dapat memastikan bagaimana perasaan ayahnya saat ini. Bagaimana rasa cinta pria dewasa itu pada mamanya yang telah pergi sejak lama. Tapi yang mampu Rio pahami, ayahnya butuh seorang pendamping.
Saat ini, ia tak dapat memberikan apapun pada sang ayah. Kondisinya yang terus memburuk membuatnya perlahan memutus harap untuk bisa terus berada di sisi ayahnya, menjadi Rio versi hebat, dan membuktikan pada ayahnya tentang betapa luar biasa dirinya. Saat ini, yang ada pada dirinya hanya keinginan untuk terus bertahan, dan berusaha berdamai dengan hidupnya.
Rio memutuskan untuk bangkit dari posisinya. Mencoba berbicara dengan wanita itu mungkin bukan pilihan yang salah.
Rio terdiam di bawah anak tangga. Memandang ragu wanita yang tengah sibuk dengan kegiatannya bersama Bi Sri di dapur. Selang beberapa saat, wanita itu menyadari keberadaannya.
"Kamu mau makan?" Rio mengangguk pelan menanggapi tawaran itu. Rio duduk di meja makan. Melihat wanita seumuran ayahnya itu dengan cekatan membantu bi Sri menyiapkan makanannya. Suasana ini membawa ingatannya pada kesibukan pagi hari beberapa tahun yang lalu. Mendadak, ia mengerti apa yang dirasakan ayahnya saat ini.
"Makan yang banyak, ya." Rio tersenyum tipis. Melahap masakan menggugah selera itu. Wanita itu duduk di sampingnya. Ikut tersenyum senang melihatnya makan dengan lahap.
"Jangan pikirkan hubungan tante dan ayahmu. Tante tidak akan melanjutkan hubungan ini jika kamu dan Marsal keberatan," ujar wanita itu ketika Rio menyelesaikan sarapannya.
Rio menatap kosong meja makan yang dipenuhi lauk di hadapannya. Berpikir cukup lama, sebelum akhirnya, "Saya cuma gak mau posisi Mama digantikan sama orang lain."
Wanita itu menegakkan tubuhnya. Menatap wajah Rio lebih dekat. Anak itu sudah sebesar ini. "Rio, tidak ada yang bisa mengganti posisi mamamu dari hati siapapun. Tante tahu betul itu." Rio menatap wanita itu. Dan Rio baru menyadari, wajah itu sangat familiar di matanya, namun Rio tak tahu siapa tepatnya.
"Tante berteman dengan orang tuamu sejak SMA. Tante mengerti, bagaimana Papa Kamu mencintai Mamamu dengan sungguh-sungguh. Dan, jika tante berada di posisi Kamu dan Marsal, mungkin Tante akan melakukan hal yang sama. Tante tidak akan mengijinkan Papa kamu untuk menikah lagi."
"Tapi Papa bahagia," sahut Rio cepat. "Walaupun bukan Mama, tapi Papa bahagia ada orang di samping Papa. Saya, gak boleh egois," ucapnya lirih di akhir kalimat.
Wanita itu terdiam. Ia tahu, anak laki-laki di sampingnya itu telah terluka untuk segala kehilangan yang ia alami. Mungkin, luka itu pula yang telah membentuknya untuk berpikir lebih dewasa dari pemuda seusianya.
"Tidak apa-apa, Rio. Kamu boleh mementingkan perasaanmu. Jangan berpura-pura terlihat bahagia jika kamu tidak bahagia. Menjadi egois bukan hal yang salah jika itu memang cara untuk membuatmu tidak terluka."
Rio menarik napas berat. Dilema itu tak memberinya celah untuk bernapas lebih dalam. Ini pilihannya, dan mungkin keputusannya akan mengubah banyak hal di hidupnya ke depan.
"Tante, menikahlah dengan Papa. Kalau memang Papa bisa bahagia dengan pilihan itu, Saya sama Abang akan baik-baik saja."
🍃
Desing suara mesin kereta membawa penumpangnya melaju dengan cepat membelah jalur panjang tanpa akhir. Kesibukan di dalam susunan gerbongnya tak pernah mengenal jeda. Tak peduli hari biasa atau bahkan akhir pekan, mereka tetap di sana, menjajaki bumi yang jauh dari rumah demi keyakinan untuk terus bertahan hidup.
Via dan Iel turut berada di sana. Ikut pula meninggalkan ibu kota untuk menyegarkan pikiran seperti biasa. Jika biasanya suasana kebun teh yang menyejukkan menjadi pilihan keduanya untuk melepas penat, kali ini Via meminta Iel untuk membawanya menghirup angin hangat pantai, seperti yang sering Iel ceritakan tentang keseruannya ketika menghindari pelajaran bersama ketiga kawannya dulu.
Via menyandarkan kepalanya pada kaca di sisi kirinya. Bosan. Laki-laki di sampingnya itu hanya diam dengan mata terpejam sejak lima belas menit yang lalu. Mungkin sedang tertidur, atau sama bosannya dengan Via. Via mengamatinya dalam diam. Wajah dengan rahang tegas itu selalu menarik perhatiannya sejak kali pertama bertemu. Juga sorot matanya yang tak ubah sendu setiap kali Via mencoba menelisik lebih dalam apa yang ada di dalamnya. Meski Via tak mengerti apa sejatinya yang tengah disembunyikan oleh Iel dari dirinya, gadis itu tetap menyimpan hatinya untuk laki-laki itu.
"Lo tumben ngajak gua naik kereta?" tanya Via dengan suara pelan. Mencoba memecah keheningan, dan memastikan apakah laki-laki di sampingnya itu tengah terlelap.
Iel membuka maniknya. Mengerjapkan matanya yang terlihat lelah, sebelum menoleh pada Via yang menatapnya menunggu jawaban. "Motor gua mogok." Via mengangguk menanggapi.
"Lo akhir-akhir ini lagi sibuk banget, ya?" tanya Via lagi. Mengusir bosan dengan pertanyaan apapun yang muncul di kepalanya.
"Kenapa emang?" tanya Iel balik.
"Gua jarang ngeliat lo di sekolah. Biasanya basket mulu. Kemarin lusa gua lihat lo di parkiran motor pas pulang sekolah. Tapi kayaknya lo lagi buru-buru banget. Jadi gua gak berani nyamperin. Terus, lo juga jarang online di sosmed. Lo ada kesibukan baru, ya?"
Iel menghela napas berat. Menyandarkan kepalanya yang terasa sama beratnya. Dipandangnya dengan silih berganti sawah-sawah yang mulai menguning di luar jendela. Pemandangan secantik itu bahkan tak dapat mengurangi semua beban yang ia rasakan di kepala.
"Sorry, ya," jawab Iel akhirnya.
Via menarik kedua ujung bibirnya simpul. Ia paham, laki-laki itu tak akan mau berbagi beban hidupnya pada siapapun, apalagi pada dirinya yang dikenalnya tak lebih dari setahun.
"Kalo lo ada masalah, jangan ragu buat cerita sama gua. Tapi, kalo emang lo belum siap, gak apa-apa. Gua siap nunggu lo mau cerita, kapanpun itu," ujar Via diakhiri dengan senyum manisnya. Iel balas tersenyum mendengarnya. Ada sesuatu yang menggelitik di dalam pikirannya yang sedang berat. Sesuatu yang terasa lebih hangat dari terik mentari di luar jendela kereta.
Via meluruskan kakinya di atas pasir putih. Tak peduli rok hitamnya akan terlihat kotor nantinya. Ia ingin merasakan lembut pasir yang membuat Iel dan sahabat-sahabatnya betah berlama-lama di tempat ini. Di atasnya, sebuah pohon dengan akar kokoh yang pernah menjadi saksi Iel dan keempat kawannya menghabiskan sisa hari di pantai yang menawan itu melindungi keduanya dengan kesejukan yang masih terasa sama di kulit Iel. Lama Iel tak berjumpa dengan pemandangan ini sejak kepindahan Alvin ke tempat lain. Kini, semuanya terasa jauh dari bayangan bahagia yang pernah tercipta di sini.
"Gabriel Stevent," panggil Via, melepaskan pandangan Iel dari debur ombak biru di depan sana.
"Hmm?" Iel menoleh.
"Gua boleh nanya sesuatu gak sama lo?"
"Apa?"
"Gua kok gak pernah ngeliat lo ngerokok lagi, ya? Padahal, dulu kalo lo ngomong deket gua, pasti bau rokoknya kemana-mana," tanya sekaligus protes Via dengan polosnya.
Iel terkekeh mendengarnya. Selanjutnya, laki-laki itu merogoh kantong celananya. Memperlihatkan sebuah korek api dari sana. Via menatap itu dengan sabar, menunggu penjelasan.
"Gua, Alvin, sama Cakka sepakat buat gak ngerokok lagi. Supaya gak ada Rio-Rio selanjutnya. Gua gak mau temen-temen gua pergi gara-gara barang ini." Iel menatap dalam benda itu. Keputusan yang tepat di situasi yang sebenarnya tidak tepat.
"Hebat. Lo sama yang lain bisa berhenti ngerokok karena Rio. Pasti awalnya susah banget ya?"
Iel beralih menatap Via di samping kirinya, lantas memberi senyuman tipis. Diraihnya tangan seputih salju itu. Iel meletakkan korek apinya di sana, di dalam telapak tangan Via, lantas menggenggamnya. Membiarkan mulut Via terkunci karena aksi Iel saat ini.
"Rokok itu candu, Vi. Sekali lo coba-coba, lo bakal keterusan. Walaupun lo tau, dia cuma ngerusak badan lo. Tapi lo tetep mau, dan mau nyobain lagi," ujar Iel. Menatap mata Via dengan tegas, dengan jarak sedekat ini.
Tapi, candu itu bukan sesuatu yang baik. Dia cuma bikin lo ngerasa nyaman sesaat. Seterusnya, lo bisa hancur karena candu," lanjut Iel. Dilepasnya genggaman tangan kokohnya dari punggung tangan Via. Membiarkan gadis itu mendengarkannya dengan saksama.
"Gua, berulang kali nyoba buat ngelepas. Tapi hasilnya nol. Berulang kali, dan selalu sama. Gua gak pernah bisa ngelepas keinginan gua sama barang candu itu. Walau akhirnya sama, gua bakal nyesel lagi."
"Berarti Rio hebat. Lo bisa ngelepas rokok dengan dia sebagai alasannya," komentar Via.
Iel mengatupkan bibirnya sejenak, menatap karang yang berdiri kokoh di kejauhan, "dan taruhannya," lanjut Iel.
Via mengerti, sebesar apa pengaruh Rio bagi sahabat-sahabatnya. Laki-laki yang dikenal pendiam dan dingin itu memiliki sesuatu yang membuat sahabat-sahabatnya benar-benar tak ingin kehilangan dirinya. Meski Via tak tahu, seberapa jauh tubuh tinggi itu mampu menempuh ujian yang tengah Tuhan beri di hidupnya.
"Semoga dia selalu baik-baik aja." Iel mengamini harapan Via.
"Lo juga, Yel," lanjut Via.
"Gua?"
"Iya. Semoga Lo baik-baik aja. Dimanapun."
Iel tersenyum manis. "Harusnya gua yang bilang gitu sama lo. Lo cewek baik. Lo harus tau, banyak orang jahat yang gak bisa dilihat lewat mata. Gua harap lo selalu baik-baik aja."
Via menatap laki-laki itu dari samping. Entah mengapa, setiap ucapan yang keluar dari mulut laki-laki itu selalu membuat tanda tanya besar di benak Vi. Seakan, laki-laki itu sedang memberi tahu sesuatu padanya. Sesuatu yang Via sendiri tak mengerti apa maknanya.
"Vi,"
"Ya?"
"Kenapa ya, gua bisa nyaman tiap lo ada di deket gua?"
🍃
Alvin menyandarkan tubuhnya pada dinding putih rumah megah milik ayah Shilla. Menunggu siapapun membukakan pintu untuknya. Akan lebih baik jika orang itu adalah Shilla sendiri. Gadis yang tidak membalas chat dan mengangkat telepon darinya selama tiga hari tanpa alasan yang tak ia mengerti. Hari ini Alvin memutuskan untuk datang menemui Shilla di rumahnya. Pikirannya sedang dihuni oleh rasa kekhawatiran selama beberapa hari sebab Shilla tak memberinya kabar apapun. Entahlah, mungkin seperti ini rasa tersiksa yang Ify alami ketika merindukan Rio.
"Alvin?"
Alvin mengangkat kepalanya yang tertuju pada tanaman hias di sampingnya. Menatap seorang wanita paruh baya yang tersenyum sumringah padanya. Mama Shilla.
"Tante," Alvin membalas senyum seindah milik Shilla itu.
"Shilla-nya tadi demam, jadi gak masuk sekolah hari ini," jelas Mama Shilla sembari mengajak Alvin memasuki rumahnya. Dibawanya anak laki-laki —yang sering diceritakan oleh putri sulungnya— itu ke lantai atas, tempat kamar Shilla berada.
Alvin mengangguk-angguk. Ia bahkan tak tahu jika Shilla sedang sakit. Lantas, mengapa gadis itu tak memberinya kabar sama sekali?
"Tante turun dulu, ya? Kamu masuk aja. Anaknya udah bangun dari tadi kok." Alvin mengangguk patuh dan tersenyum. Melepas punggung jenjang itu menuruni tangga.
Alvin mengetuk pintu bercat putih di hadapannya. Menunggu si empu kamar yang tengah memutar lagu Megan and Liz dengan volume keras itu untuk membuka pintu. Tak berselang lama, pintu putih itu terbuka. Menampilkan gadis dengan piyama biru dan penampilannya yang berantakan itu menatap Alvin di hadapannya tanpa ekspresi. Sedangkan Alvin balas menatap gadis itu. Menunggu sepatah kata yang keluar dari mulutnya, meski akhirnya,
Gadis itu berbalik, berjalan kembali ke kasurnya. Membiarkan pintu kamarnya terbuka, menunggu Alvin masuk dan menutup sendiri pintu kamarnya. Volume lagu Timeless dari speaker kecil di sampingnya berangsur ia kurangi. Mungkin, laki-laki itu akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan setelah ini.
Alvin berdiri di samping ranjangnya. Menyodorkan kantong plastik putih yang Shilla hafal apa isi di dalamnya. Shilla menerimanya. Laki-laki itu duduk di lantai, di samping ranjang besar tempat gadis itu duduk. Membelakangi Shilla dan menatap cantiknya sorot matahari pukul empat sore dari jendela kaca balkon yang terbuka.
"Lo kok gak ngasih tau gua kalo lagi sakit?" Alvin bersuara, dengan tetap membelakangi si lawan bicara.
Tak ada sahut. Gadis itu menatap siomay di tangannya. Makanan kesukaannya di kedai depan sekolah yang hampir setiap hari ia beli. "Lo marah ya sama gua?" tanya Alvin lagi.
Shilla beralih menatap rambut laki-laki itu. Sebenarnya, ia masih merasa cemburu pada Via. Tawa Via dan Alvin yang menggema di depan ruang rawat Rio tempo hari masih menghantuinya hingga hari ini. Pun dengan sikapnya yang mendiamkan Alvin selama beberapa hari ini.
"Lo cuma nge-read chat gua. Telepon gua juga gak lo angkat," lanjut Alvin lagi, seraya melirik ponsel milik Shilla yang tengah memutar musik di atas nakas di sampingnya.
"Kalo marah, marahnya jangan pake diem. Gua pusing nebaknya." Shilla berusaha menahan tawanya. Ini pertama kali ia ngambek pada Alvin. Dan ia baru mengetahui betapa lucunya Alvin ketika mengatakan hal itu. "Bilang aja, gua salah apa, atau ngomel kek. Gebukin gua kalo perlu. Tapi jangan diemin gua. Mau mati rasanya."
Shilla tertawa terbahak-bahak. Ia menuruni kasurnya, duduk di samping Alvin. Sungguh ia tak bisa menahan tawanya kendati Alvin berucap demikian dengan keluguannya. Sementara Alvin menatapnya bingung.
Shilla membuka plastik siomaynya. Melahapnya sebentar, membiarkan Alvin masih memandanginya dengan penasaran.
"Gua lagi diet tau, kenapa dibawain siomay," ujar Shilla akhirnya.
Meskipun begitu, Shilla memakannya dengan lahap. Hal itu membuat Alvin tersenyum tipis. Alvin menggeleng ketika Shilla menyodorkan siomaynya.
"Cara bikin cewek gak marah lagi gimana?"
"Emm... beliin seblak? atau siomay?"
Alvin tersenyum tipis mengingat percakapannya dengan teman sebangkunya tadi siang. Ternyata cara itu benar-benar bekerja pada gadis di sampingnya ini.
"Gua pengen cerita sama lo. Tapi kayaknya suasananya sekarang masih gak enak," ujar Alvin.
"Siomaynya enak. Jadi, cerita aja," jawab Shilla selagi mengunyah dengan lahapnya.
Alvin terkekeh. Ia mulai bercerita tentang hubungannya dengan Deva. Sejauh ini, ia telah berhasil berbicara pada laki-laki itu via telepon. Kakak laki-lakinya itu juga menceritakan semua yang ingin Alvin ketahui tentangnya dan tentang keluarganya di Singkawang. Saat ini, kakak laki-lakinya itu tinggal dengan neneknya yang tengah sakit. Deva juga menceritakan bahwa sebulan yang lalu ia hampir saja harus putus dari kuliahnya karena alasan neneknya. Meskipun uang dari Ayah masih ia terima, ia merasa harus bertemu Alvin, karena Alvin adalah adiknya, adik kandungnya. Itu sebabnya akhir-akhir ini ia seringkali menghubungi Tania dan meminta untuk bertemu Alvin, karena yang Alvin tahu, Tania pernah membuat permintaan pada Deva untuk tak menemui Alvin sampai Tania siap untuk melepasnya. Dan, betapapun menyebalkannya sosok Tania di mata Alvin, gadis itu tetap menjadi orang yang paling takut kehilangan Alvin bagaimanapun caranya.
"Terus, lo bakal ke Singkawang buat nemuin kakak lo?" tanya Shilla di ujung cerita Alvin.
Alvin mengangguk pelan. Terdiam sejenak, kemudian menggeleng. Bingung dengan apa yang harus ia lakukan saat ini.
"Temuin aja. Dia kakak lo juga 'kan," lanjut Shilla memberi saran.
Alvin memandang Shilla dari samping. Berpikir apabila ia memutuskan untuk pergi menemui Deva, tentu ia akan tinggal lebih lama di Singkawang untuk meringankan beban kakak laki-lakinya itu. Tapi, Alvin tak ingin pergi lagi. Ia ingin menghabiskan waktu yang berharga bersama sahabat-sahabatnya, dan terutama Shilla.
Shilla balas memandangnya. Menaikkan alisnya secara bergantian, menunggu responnya. Alvin hanya tersenyum tipis.
"Lo marah sama gua gara-gara apa sih?" tanya Alvin mengalihkan pembicaraan. Ia sedang ingin memandangi wajah cantik itu saat ini. Dan ia tak ingin masalah di pikirannya mengambil alih itu.
"Rahasia."
"Ayo dong.."
"Rahasia beneran, Vin." dan Alvin menyerah.
"Semua cewek emang aneh ya? Hal apapun jadi rahasia buat cowok, tapi malah jadi bahan gosip buat sesama cewek." Shilla terkikik mendengarnya.
🍃
Cakka menikmati ini. Sejuk angin yang menerobos lewat celah-celah tribun di belakang tubuhnya membawa sedikit teduh untuk pikirannya yang mulai membaik pasca beberapa hari yang cukup berat untuknya. Seluruh proposal hingga rundown terkait pensi yang diadakan OSIS telah berhasil diselesaikan olehnya, tentunya dengan bantuan beberapa anggota yang lainnya.
Cakka baru tahu bahwa menjadi anggota sebuah organisasi akan se-melelahkan ini. Selama ini yang dilakukannya hanyalah mangkir dari agenda mingguan OSIS. Toh, sebetulnya ia tak berminat berada di sana. Keberadaannya hanya karena permintaan Rio sebagai perwakilan ekstrakurikuler basket untuk mengisi posisi di keanggotaan OSIS, selebihnya Cakka tak pernah peduli pada apapun yang terjadi di sana, sampai akhirnya Olin —sang ketua OSIS—menegurnya dengan menggunakan ancaman proposal terkait dana untuk kompetisi basket tak akan disetujui oleh si ketua OSIS menyebalkan itu.
Laptop hitam di pangkuannya masih menunjukkan lembar kedua dari lima lembar tugas ekonomi yang harus dikumpulkannya esok hari. Biasanya, ia tak akan mau repot-repot mengerjakan salah satu mata pelajaran yang dibencinya ini, dan Rio akan dengan senang hati memberinya contekan atau mengajarinya mengerjakan dari awal hingga akhir. Tapi beberapa hari bertahan di rumah sakit membuat teman jeniusnya itu tertinggal di beberapa materi dan tugas. Lagi pula, hubungannya dengan Rio belum benar-benar membaik, bahkan permintaan Marsal untuk menjemput Rio di rumah sakit pun ia serahkan pada Alvin. Entahlah, ia hanya belum siap menjelaskannya pada Rio.
"Olin ngasih beban lagi?"
Cakka mendongak dari layar laptopnya. Mendapati Oik telah menempatkan dirinya di sebelahnya. Gadis berwajah imut yang menjadi teman OSIS-nya itu telah banyak berjasa membantunya menyelesaikan tugas OSIS selama beberapa hari ke belakang.
"Enggak. Ngerjain tugas ekonomi."
Oik mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ternyata lo niat sekolah juga, ya?" Cakka tertawa pelan.
Beberapa hari yang lalu, sebuah figura berukuran besar diletakkan dengan gagahnya di dinding ruang tamu rumahnya. Sebuah foto di dalamnya menunjukkan senyum bahagia ayah dan bunda kala mendampingi Sang Kakak dengan senyum yang sama merekahnya tengah menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik di jurusannya. Sejak hari itu, ada yang mengusik tidur malam Cakka. Pikirannya yang asik bergulat tentang nasib masa depannya, tentang tiga piala kejuaraan basket dan lari yang dipajang di atas meja belajarnya sendiri, juga tentang hobi balapan liar yang masih rutin dilakukannya. Seolah nasehat ayah yang selama ini tak pernah ia dengarkan bergema dengan berisiknya di kepala. Apa yang diharapkannya dari kemampuan basketnya yang tak jua meningkat? Apa yang ia inginkan selain sekadar melepas beban di atas tarikan gas motornya?
Sekolah yang benar! Kamu harus berhasil di bidang bisnis! Lanjutkan sebagian perusahaan Ayah!
Cakka tak pernah benar-benar mengamini perkataan Elang yang memintanya untuk bahagia dengan kesenangannya. Usianya sedang berada di ambang kedewasaan. Kesenangan itu tak membawa arti apapun untuk kebaikannya di masa depan. Semakin tahun, Ayahnya semakin menua. Sampai kapan Ayahnya mampu mengurus bisnisnya? sementara ada letih yang sudah tergambar di wajahnya saat ini. Mendadak, Cakka mengerti apa yang Elang rasakan saat itu, ketika pada akhirnya kakak satu-satunya itu meninggalkan deretan gitar kesayangannya dan mulai menata masa depannya di bangku perkuliahan. Cakka turut merasakannya saat ini.
Cakka ingin memulainya. Mencoba mengulang kembali semua mata pelajaran yang dilewatinya dengan abai selama hampir dua tahun di bangku SMA. Meskipun ia harus berusaha dengan sangat keras untuk mengulang semuanya dari awal. Ia bukan Rio, temannya yang rebel, namun selalu berhasil memposisikan namanya di urutan lima besar peringkat kelasnya. Ia juga bukan Iel yang memiliki bakat luar biasa dalam urusan menggambar dan telah mem-booked masa depannya di bidang tersebut. Juga Alvin, satu-satunya sahabatnya yang menempati posisi kesatu di kelas IPA-nya sejak ia mengenal laki-laki itu. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah berusaha. Setidaknya, ia sudah berjuang untuk dirinya sendiri.
"Lo tau, Kka? Lo dari dulu tuh gak pernah berubah," komentar Oik, memandangi beberapa junior yang tengah bermain basket di lapangan bawah sana. Tim baru yang menggantikan Cakka dan teman-temannya yang biasa berlarian di bawah sana.
Cakka mengangkat sebelah alisnya. "Dari dulu?"
"Hmm… Lo masih suka telat. Lo masih hobi jailin cewe. Dan, lo selalu ngulang kesalahan yang sama berkali-kali. Gak pernah ada kapoknya."
Cakka mengubah posisi duduknya dan memandang Oik lebih serius. "Bentar deh. 'kan lo kenal gua belum lama. Di OSIS 'kan?"
Oik tertawa melihat ekspresi Cakka. "Emang jahat ya lo tuh."
"Serius. Pusing nih gua," keluh Cakka menyerah.
Oik tersenyum, balas menatap wajah Cakka. "Cewek pertama yang lo bikin nangis dan demam dua hari gara-gara kena lemparan bola basket lo."
Cakka berpikir. Berusaha mengingat peristiwa yang dimaksud Oik. Lebih tepatnya kapan waktu peristiwa itu terjadi. Dan, beberapa detik kemudian,
"Astaga, cewek itu lo?"
Peristiwa itu sudah cukup lama tertinggal di dalam ingatan Cakka. Gadis itu teman SD-nya dulu. Anak dari kelas sebelah yang tengah duduk di tepi lapangan bersama gerombolan siswi lainnya ketika para siswa laki-laki kelas enam bertanding basket di lapangan. Cakka tak begitu ingat tentang sebabnya ia melempar bola basket ke arah ring lawan dengan sangat kerasnya, tapi sayangnya bola besar itu justru terlempar jauh dari arah seharusnya dan berakhir di atas kepala seorang gadis yang tengah tertawa riang bersama temannya. Hari itu juga, bundanya dipanggil oleh wali kelasnya ke sekolah. Bukan karena ketidak sengajaan Cakka membuat seorang siswi menangis keras dan menciptakan memar biru di dahinya, tapi karena seorang siswa laki-laki yang menjadi lawan tandingnya tiba-tiba memukul pipinya dengan keras setelah lemparan itu mendarat di dahi gadis cantik itu. Cakka membalasnya dengan membabi buta hingga menyebabkan siswa laki-laki itu turut menangis karena pukulan Cakka.
Cakka dan Oik tertawa mengingat kejadian itu. Sungguh, di mata Oik, Cakka adalah siswa paling nakal yang pernah ada di dunia ketika ia SD dulu.
"Sumpah ya, gua bener-bener gak tau kalo cewek yang kena bola itu lo. Bahkan nama lo aja gua gak tau."
"Parah banget emang lo dari dulu, Kka," tawa Oik mengudara.
"Kok lo masih inget gua sih?"
Mana bisa gua lupa, Kka? Lo cinta pertama gua. Sejak dulu, sampe sekarang.
"Ya iyalah. Siapa yang bisa lupa? Lo bikin pala gua benjol gede banget sampe demam tinggi."
Cakka meringis dan tertawa secara bersamaan. "Astaga, sorry banget ya? hahaha."
"Telat banget sih. Dari SD sampe udah SMA baru sempet minta maaf." Jawab oik dengan nada bercanda.
Agni menatap itu dari sisi lapangan yang lain. Ada sesak yang sangat mengganggunya ketika melihat tawa Cakka mengudara dengan bebasnya bersama gadis itu. Berhari-hari hubungan keduanya tak kunjung membaik, bahkan Cakka tak berniat untuk mengirimi atau mengucapkan sepatah kata apapun padanya. Sekarang, ia justru melihat Cakka tertawa dengan serunya bersama gadis lain. Ia sadar betul, cemburunya tak berhak ada ketika menyadari kenyataan bahwa laki-laki itu bukan miliknya. Laki-laki itu hanyalah teman untuk saling berbagi beban dengannya. Harusnya, ia merasa biasa saja melihat Cakka bersama gadis lain. Tapi entah mengapa, rasanya terlalu menyesakkan.
Katanya lo gak mau ngeliat bahu gua nanggung beban sendirian, tapi kenapa lo malah bikin beban di pikiran gua bertambah, Kka?
🍃
Di depan club tempat biasa keempat pemuda itu pergi, seorang pria berwajah sangar dengan tato memenuhi hampir seluruh lengannya mengamati motor hitam yang terparkir di depannya. Setelah beberapa menit meneliti komponen motor hitam itu, ia menoleh pada si empu.
"Minta berapa?" tanyanya.
"30, Bang."
"Umurnya empat tahun, 'kan?"
"Iya."
Pria bertubuh besar itu berpikir sebentar, "Turunin sepuluh, gua ambil."
"Gua lagi butuh banget, Bang."
"Semua orang butuh duit."
Si empu motor hitam itu terdiam sejenak. Memikirkan harga yang ditawarkan pria di hadapannya itu.
"Kalo gak cocok skip ae," ujar pria itu.
"Oke, 20."
"Deal. Besok gua transfer." Pria itu berlalu memasuki bangunan.
Iel, si empu motor hitam itu terdiam di tempatnya. Memandang nanar motor hitam kesayangannya itu. Entahlah, apakah nominal itu akan cukup untuk menopangnya bertahan hingga lulus sekolah nanti. Setidaknya, untuk saat ini, semua cita-citanya harus ia kubur dalam-dalam. Ia telah bertekad untuk mulai bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
Buat nebus kesalahan, karena gua udah dilahirin ke dunia ini.
🍃
Bersambung
.
.
masih ada yang baca cerita ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionRio tidak membenci hidupnya. Sekalipun harinya diwarnai kelabu yang menemaninya berangkat sekolah setiap pagi. Papa tak mengerti dirinya. Tapi ia berusaha mengerti kemauan papa. Dan Marsal, pahlawan supernya yang pernah ia banggakan meskipun menyeba...