Bagian Sepuluh

245 21 0
                                    

"Lyla, gue tidur di apartemen lo, ya? Malam ini aja. Mama sama Papa gue lagi ke luar kota, gue sendiri dan lo tau kan? Gue penakut." Pinta Vena pada Lyla melalui telepon.

Lyla memutar kedua bola matanya. Gadis manja ini lagi-lagi sering menyusahkan dia. Dengan malas pun iya mengiyakan permintaan Vena.

"Iya. Tapi awas lo berisik! Gue usir lo tengah malam." Jawab Lyla.

"Yey!!" Terdengar sorak kegirangan dari Vena.

Lyla pun mematikkan ponselnya lalu melemparkan ke atas kasurnya. Gadis itu tengah sibuk mengunyah keripik singkong yang ia beli sambil menikmati tayangan film action di televesi.

Ding... dong...

Gadis itu mendesah pelan. Secepat itukah Vena sampai? Apa jangan-jangan ia sudah di jalan saat sedang menelepon? Kebiasaan sekali. Dengan malas pun Lyla beranjak dari sofa yang ia dudukki lalu berjalan menujuh ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang.

Clek...

Ternyata benar dugaannya. Vena. Gadis itu datang sambil menenteng beberapa kantong plastik yang sangat besar.

Gadis itu mengangkat kantong plastik yang ia bawa sambil tersenyum ke arah Lyla, "Gue baik kan?!" Seru gadis itu dengan riang.

Lyla sampai menutup kedua matanya karena suara Vena cukup nyaring sampai kupingnya agak sakit. Vena pun menyelonong masuk ke dalam apartemen Lyla. Dia meletakkan kantong plastiknya itu di atas meja lalu merebahkan tubuhnya ke atas sofa dekat kasur Lyla.

"Akhirnya..." ucapnya sambil menutup kedua mata.

Lyla pun ikut duduk di samping gadis itu lalu mulai membongkar isi kantong plastik yang Vena bawa.

"Gila, apaan nih? Lo bawa pembalut? Sarap kali ya? Gue kirain lo bawa snack."

Lyla langsung meletakkan kembali kantong plastik itu ke meja. Vena memang tidak membawa makanan, tapi dia hanya membawa sekantong pembalut untuk berjaga-jaga saja dan tentunya kacang mete kesukaannya.

"Gue itu suka... ehm... anu... itu... lagian kan ada kacang mete! Eh." tukas gadis itu yang agak tersendat-sendat.

"Oh iya, kan si Lyla alergi kacang mete. Mampus." Gumamnya yang masih bisa didengar oleh Lyla.

"Udah, jangan bacot. Gue gamau denger itu." Sambung Lyla.

Lyla pun ikut menutup matanya.
Pikirannya masih melayang-layang pada banyak kejadian yang sering ia alami beberapa waktu ini.

"Ven." Panggil Lyla.

"Hm?"

"Gajadi."

Sebenarnya ada hal yang ingin Lyla katakan pada Vena, tapi ia kurung niatnya karena jika diberitahukan Vena pasti akan memberikan beribu-ribu pertanyaan layaknya wartawan mengejar artis padanya.

"Lyla, gimana kabar Pieter? Gue denger dari beberapa anak sekolah ada yang ngelihat lo ketemu Pieter di kafe." Tukas Vena, polos.

Lyla memiringkan senyumannya. Gadis itu masih memejamkan kedua matanya. Mungkin banyak anak sekolah yang menjadi penggemarnya sehingga pertemuannya saja dengan Pieter begitu heboh kabarnya hingga bisa sampai ke telinga Vena.

"Dah putus." Singkat Lyla.

"Waanjayy. Beneran? Sumpah demi? Akhirnya dia jomblo dan bisa nemenin status gue ini. Hahahaha." Celetuk Vena yang diikuti tawa spontannya.

"Udah ah, gue pengen tidur. Bye."
Lyla pun pergi meninggalkan Vena yang masih sibuk dengan cerocosannya.

***

Lyla POV.

"Tuhkan... aaa... Lyla rambut gue acak-acakan gini nih. Tanggung jawab lo."

Kupingku serasa ingin terlepas karena sedari tadi terus mendengar omelan serta rengekan dari gadis manja ini.

"Bodoh amat." Jawabku, kesal.

Kali ini aku datang lebih cepat dari biasanya karena Vena kini berhasil membangunkanku tadi pagi. Padahal hari ini aku berniat untuk datang pas jam pertama sudah mulai.

"Wow! Tumben ya, pagi-pagi gini udah dateng. Kesambet apaan lo?" ledek Kenath.

Aku hanya memutar kedua bola mataku dan berjalan tanpa menghiraukan dirinya.

"Oh iya! Lo cantik La. Hahaha!" Serunya lagi disaat posisiku sudah lumayan jauh darinya.

Pujian atau cacian, aku tak perduli. Apakah aku harus bertanya, sebenarnya siapa yang kesambet setan? Aku atau dia? Dasar aneh. Sesampainya aku di kelas, aku melihat Vena memasang wajah aneh saat melihatku.

"Apa?" Tanyaku ketus.

"Uhm... pagi-pagi tumben udah akur, gue mimpi apa semalam ya?" Sahutnya.

"Serah lo."

Aku malas mengubris pertanyaan konyol Vena, ujung-ujungnya hanya makan hati.

***

Everything Is(not) RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang