Epilog

1.2K 83 4
                                    

Dua orang laki-laki terlihat memasuki sebuah kafe yang terletak deretan toko-toko pinggir jalan. Kafe tersebut cukup strategis dan memiliki suasana yang nyaman. Selain kudapan-kudapan yang disediakan dikenal enak, pemiliknya pun merupakan seorang pemuda dengan paras tampan. Tidak heran banyak pengunjung yang betah berlama-lama di dalam kafe tersebut.

Ketika kedua laki-laki itu memasuki kafe, terlihat si pemilik yang sedang melayani para pengunjung yang datang ditengah kesibukan. Keahliannya membuat latte art membuat banyak gadis menjadi terpikat padanya.

"Aku tidak menyangka orang yang dulunya dikenal paling dingin dan cuek seantero sekolah menjadi banyak fans begini."

Pemuda bermata hijau tersebut menoleh. "Wah, ternyata kalian, ya."

Benny mengangkat jarinya yang membentuk tanda V. "Yo, sudah lama tidak bertemu."

"Kau rupanya banyak berubah setelah lulus SMA. Tidak kukira kau benar-benar menjadi pemilik kafe, Ren," komentar Dean.

"Kurasa takdir memang menginginkanku memegang kafe ini. Duduklah, aku akan buatkan pesanan kalian."

"Tentu, terima kasih banyak, Ren. Samakan saja pesanan kami, dua ice cappucino."

"Segera datang."

Dean dan Benny pun duduk di counter yang menghadap langsung ke tempat Ren membuat minuman. Sementara Ren dengan gerakan terlatih membuat pesana kedua temannya dengan cepat. Mereka menunggu pesanan datang sembari mendengarkan lofi yang sedang diputar di kafe itu.

Tak berapa lama, dia datang dengan minuman pesanan mereka. "Wow, kau bisa membuat latte art. Aku kaget kau memiliki keahlian itu."

"Aku sengaja mempelajarinya, hitung-hitung memberikan sedikit kejutan untuk pelanggan yang datang. Lagipula latte art sedang jadi tren, jadi aku coba mempelajari cara membuatnya dan mempraktekkan langsung ke setiap pesanan. Ternyata lumayan mudah."

"Mudah bagimu. Kau sebetulnya hampir bisa apa saja sehingga tinggal menggunakan keahlianmu sebagai pekerjaan, tahu," ledek Dean.

Ren hanya tersenyum kecil menanggapinya. "Kalian sendiri?"

"Masih mencari lowongan. Yah, sebetulnya hanya Benny yang sudah dapat pekerjaan tetap," jawab Dean. "Tadinya ayah menuntutku untuk memimpin perusahaannya. Tapi aku tidak mau. This is my life, bro. Aku bisa menentukan jalan hidup sendiri."

"Tapi sekarang kau masih mencari pekerjaan, 'kan? Ayolah, kau tidak mau selamanya jadi pecundang hanya karena menolak keinginan ayahmu. Daripada jadi jomblo pengangguran. Mana tuh, katanya mau bawa cewek kalau kita ketemu lagi?"

Dean cemberut. "Kutarik ucapanku tadi. Kau rupanya tidak berubah sejak lulus SMA. Makasih atas sarannya, Hibiya," sahutnya sarkastis.

Ren tertawa kecil. "Bercanda. Aku hanya mau lihat apakah telingamu masih setebal dulu. Lagipula, tidak ada salahnya mencoba. Mungkin dengan kau memimpin perusahaan, kau bisa menemukan apa yang jadi keahlianmu."

Laki-laki di hadapannya menghela napas. "Akan kucoba untuk mengikuti saranmu."

"Tapi aku senang melihat betapa suksesnya kafe ini," papar Benny. "Tidak salah seorang Ren Hibiya menjadi bartender muda sekaligus pemiliknya."

"Yah, begitulah. Bibi Sanaka hanya bisa membantu sebagian kecil bisnis. Itu semua sudah tertera jelas di wasiat Ayah. Sekarang akulah pemilik resminya."

"Bibimu tidak aneh-aneh, 'kan?"

Ren menggeleng. "Tidak. Setelah kolega Ayah mendapatkan hak kepemilikan kafe, beliau tidak berani mengusik setelah itu. Bibi pindah ke kota tetangga setelah aku lulus dan dianggap benar-benar matang untuk memegang kafe seorang diri."

[END] Love You Until DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang