6 - Cari masalah

97K 7.5K 242
                                    

COWOK itu malah membekap mulutku dengan telapak tangan. Dapat kurasakan aroma nikotin menyeruak ke dalam indra penciumanku. Aku tidak pernah suka baunya. Mau se-enak apapun rasanya kata orang.

Fero sengaja menabrakkan bola matanya pada mataku. Napasnya memburu. Sayup-sayup kulihat anak yang lain ikut beranjak dari tempat mereka masing-masing. Tapi hanya diam di tempat, mematung memandangi kami. Sampai beberapa dari mereka mengucapkan kalimat yang membuatku semakin takut.

"Paksa dia tutup mulut."

"Jangan sampe dia ngadu."

"Hajar aja Fer!"

Ya Tuhan. Mereka mau menghajarku? Aku perempuan sendiri dan mereka laki-laki dalam jumlah sepuluh orang lebih? Kutahan air mataku yang sudah membendung di kelopak mata bagian bawah. Aku tidak mau menumpahkannya. Aku tidak mau mereka menganggapku lemah, yang justru nanti mereka akan semakin puas mengerjaiku.

"Gue minta sama lo. Jangan sampe lo buka mulut. Anggap aja lo nggak liat kejadian ini, anggap aja lo nggak lewat sini tadi. Ngerti?"

Suara Fero akhirnya keluar juga. Tapi sepertinya dia tidak akan 'menghajarku' sesuai instruksi teman-temannya. Aku sedikit lega sampai akhirnya dia melepaskan cengkramannya. Telapak tangan yang bau nikotin itu pun sudah ia jauhkan dari wajahku.

"Mending sekarang lo pergi."

Aku memandangi wajahnya. Entah raut apa yang bisa kubaca dari sana. Fero ini? Manusia jenis apa? Aku bahkan tidak bisa menebak. Dia ini sekedar nakal atau memang berandal?

Buru-buru kulangkahkan kaki keluar bangunan itu. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Langsung tobat karna sudah kegep sama aku atau tidak peduli dan terus melanjutkan kegiatan mereka kembali.

Air mataku jatuh tak dapat dibendung lagi. Tiba-tiba saja terbersit dalam benakku untuk melakukan suatu hal. Kupikir, aku memang harus melakukannya. Akupun semakin mempercepat langkah. Kuputar haluan yang sebelumnya ingin ke ruang kelas menjadi ke ruang kesiswaan.

Sesampainya di sana, aku langsung bertemu Pak Haris. Ada beberapa guru lain juga di ruangan itu. Bibirku bergeming. Seluruh badanku gemetar. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Sementara Pak Haris memandangiku terus-terusan. Akhirnya, di menit ke sepuluh aku berada di situ, semuanya keluar juga.

                                ***

"YA AMPUN, Fre. Lo nggak di apa-apain Fero kan?" Najla meletakkan sisirnya lalu beringsut duduk di sebelahku.

"Enggak."

"Trus, pas lo akhirnya ngadu ke Pak Haris itu gimana? Maksud gue, reaksi Pak Haris?" Gantian Michi yang pindah ke sisi sebelahku yang lain. Tangannya menepuk pelan lututku yang kutekuk karna duduk bersila.

"Fre, Kok perasaan gue nggak enak ya," Fiona yang sedari tadi diam lantas angkat bicara. Mimik wajahnya berubah pucat tak berwarna.

Semuanya hening. Sibuk dengan jalan pikiran masing-masing.

Suhu ruangan yang di dominasi warna biru itu semakin lembab saja. Kuperhatikan wall stiker yang tertempel di sudut meja belajar. Gambarnya stitch. Najla memang suka mengoleksi apapun yang berbau tokoh kartun itu di kamarnya.

"Jangan ngomong gitu deh, Na." Sela Michi pada Fiona yang sedang melumeri salep memar ke lenganku.

Ya, lenganku sedikit merah dipegang Fero tadi.

Fre & Fer (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang