20 - Sang penghibur

91.7K 7.4K 384
                                    

"Menangislah sepuas yang kau mau. Patah hati terlalu sakit untuk dirayakan sendirian.
Beri tau dunia, maka dunia akan membuatmu tersenyum setelahnya."

Fero Fernanda Lewis

***

AWAN berarak secara angkuh melewati langit di atas sana. Gumpalan kapas putih yang dipantuli cahaya matahari membuat cuaca pagi ini kian terik. Entahlah, padahal kemarin Jakarta begitu dingin karena hujan, sekarang malah seperti gurun begini. Kadang cuaca saja bisa berubah sedemikian cepat tanpa kita sadari.

Begitu juga perasaanku pada Althaf.

Baru kemarin rasanya anak itu menanam seribu bunga di dalam hatiku, sekarang dia juga yang membakar bunga itu hidup-hidup bahkan tanpa membiarkannya tumbuh sedikitpun.

Mencintai Althaf mengajarkanku banyak arti. Sialnya aku tak sadar bahwa aku terlalu berambisi. Aku begitu berbangga diri membayangkan ceritaku dan Althaf selayaknya roman di dalam cerita fiksi. Padahal jelas-jelas anak itu membangun tembok yang penuh transisi dimensi.

Kalau aku bisa memilih, aku tidak ingin berada di ruang OSIS kala itu. Aku tidak ingin melihat ke arah Althaf, atau harus berurusan dengan geng trouble maker tersebut agar selalu bisa bersamanya. Aku tidak mau melewati proses-proses jatuh cinta kalau saja aku tau akan berakhir begini.

Mungkin aku memang harus membuang jauh barisan ilusi soal Althaf. Karena aku tau ini akan berbuntut kontradiksi yang panjang. Althaf terlalu menjulang untuk kubawa ke jurang. Althaf terlalu jauh untuk bisa kurengkuh.

Mungkin ini memang salahku. Atau mungkin salah keadaan yang membiarkanku jatuh terlalu dalam, hingga pada akhirnya keadaan jugalah yang menertawakan kebodohanku.

Sekarang aku merasa malu pada diriku sendiri. Kenapa aku bisa begitu ceroboh menganggap Althaf menyukaiku? Apakah jatuh cinta memang sebegitu mengerikannya? Sampai-sampai mengambil spekulasi sendiri atas perasaan orang yang bahkan kita tidak tau sebenarnya apa.

Namun sebagian hatiku yang lain tidak terima. Mengapa Althaf tidak bisa mengubah sedikit statusku yang sebagai teman menjadi pacarnya? Apa susahnya memang? Oh my God. Bahkan aku sudah menjadi egois sekarang.

Langkah kakiku berjalan gontai menyusuri jalanan komplek yang lengang. Aku menyibakkan helaian rambut yang menelusup mata ke belakang telinga. Pandanganku buram. Aku bahkan belum tersenyum pagi ini. Entah kenapa perasaanku kacau, membayangkan bagaimana aku akan bertemu Althaf di sekolah nanti membuat hatiku meringis.

Sengaja aku berangkat sekolah pagi-pagi buta. Aku malas harus bertemu Fero, karena biasanya anak itu selalu menjemputku ke sekolah. Aku malas saja harus menceritakan apa yang terjadi padaku karena kutahu Fero pasti akan bertanya macam-macam nantinya.

Di pertigaan jalan, sesaat ingin berbelok ke kiri, aku melihat motor yang kukenali memutar stang-nya ke kanan. Dari sudut yang sama, ternyata pengemudi motor itu menatap lurus ke arahku juga. Terbukti setelah ia berbelok, ia menghentikan motornya dan menghadap ke belakang.

Melihat orang itu berhenti, aku pun semakin mempercepat jalanku agar bisa menjauh dari sana dan menemukan angkot yang bisa kunaiki.

Karena aku tau, kalau orang itu adalah Fero.

Dan aku tidak mau bertemu dengannya pagi ini, atau siang nanti, atau bisa juga sampai besok.

Fre & Fer (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang