16 - Bara dan Api

83.7K 7.4K 446
                                    

ADA sebuah alasan ketika kau harus memilih untuk membagi sebuah rahasia pada seseorang. Entah itu sekedar ingin meluangkan perasaan atau justru mencari jalan keluar atas masalahmu.

Ketika kau sudah benar-benar membagi rahasiamu pada orang lain, kau juga harus bersiap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi setelah itu.

Bagaimana keadaan bisa berubah hanya karena ada orang baru yang tau hal yang selama ini kau tutupi, dan bagaimana kau akan menghadapi semuanya nanti.

Suara gemericik air yang jatuh dari undakan berbatu membuat suasana taman belakang rumah Althaf kian menenangkan. Banyak tanaman hijau yang tumbuh menambah kesan segar di sana.

Althaf masih pada posisinya duduk menatap daun-daun yang jatuh dari pohon eucalyptus. Aku hanya memperhatikan anak itu bergeming dari sebelahnya. Saung kecil yang menaungi kami dari panas matahari sore ini cukup teduh, juga nyaman.

"Gue nggak pernah biarin satu orang pun tau apa yang terjadi di keluarga gue," ujar cowok itu. "Tapi kali ini, gue bahkan udah cerita semuanya dari awal sama lo."

"Al, lo tau kan apa gunanya temen?" tanyaku padanya.

"Gue tau," katanya lagi. "Tapi sekarang masalahnya bukan itu."

"Masalahnya apa? Lo nggak siap orang-orang tau kehidupan lo yang sebenernya?"

"Lo nggak ngerti, Fre."

"Gue nggak ngerti?"

"Ini rumit,"

"Semua orang punya sisi rumitnya sendiri-sendiri, Al."

Althaf masih bergeming. Sudut bibirnya terangkat sebelah menampilkan senyum sinis yang seolah-olah meremehkan rasa kepedulianku.

"Gue tanya sama lo, siap nggak lo harus nerima nyokap baru disaat nyokap asli lo lagi dalam situasi sulit yang bahkan butuh kasih sayang lebih?" tanya Althaf, hampir bergetar.

Aku terdiam.

"Apa yang dia alami setelah kehilangan Maura udah terlalu menyakitkan, sekarang dia harus nerima kenyataan terbuang." Lanjutnya lagi.

"Maura?"

"Adek gue."

Teringat aku saat pertama kali ke rumah Althaf, aku pernah melihat foto anak perempuan kecil menghiasi tembok di ruang tamu. Jadi, foto yang kulihat itu adalah Maura? Adiknya Althaf?

"Adik gue meninggal, kena lupus." Ucap Althaf, getir. "Nyokap nggak terima sama kenyataan itu, dia masih nganggep kalo semua itu mimpi. Alhasil kejiwaannya keganggu."

Aku hanya mendengarkan cowok itu berbicara, mengeluarkan apapun yang sudah ia timbun bertahun-tahun dalam ruang rahasianya.

"Dengan mudahnya bokap gue nikah lagi sama orang yang selama ini jadi Baby sitternya Maura. Menurut lo ... perasaan gue gimana?" Lanjut Althaf.

"Al ... "

Bukan aku sengaja memanfaatkan kesempatan, tapi memeluk Althaf kukira adalah sebenar-benarnya bentuk rasa empati atas kesedihan yang ia rasakan sekarang.

"Lo nggak ngerti perasaan gue, Fre–"

Aku semakin mengeratkan pelukanku ke samping tubuh cowok itu. Tanganku bergerak mengusap perlahan bahu kanannya. Sedang kepalaku menunduk, menempelkan dagu di lengan kiri Althaf.

Fre & Fer (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang