Aku mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa bahuku begitu sakit. Mereka memukulku, ya. Aku mengoreksi pernyataan tetanggaku, seingatku mereka tidak menyebut tentang pukulan atau sesak napas karna kain yang menutupi wajah.
Beberapa saat setelahnya, mobil berhenti dengan rem mendadak. Tubuhku ditarik oleh tangan besar, melemparku ke lantai dengan sekali pungkas. Kain hitam bau itu terlepas dari wajahku, dan pemandangan yang mungkin akan terus melekat dalam ingatan terlihat: benteng. Mereka mempunyai atap yang sangat tinggi serta dinding abu-abu tanpa sentuhan warna. Tangga menyatu dengan tangga lainnya, meniti jalan hingga puncak benteng. Aku tidak mengerti karna saat ini, yang kuharapkan dari benteng adalah bangunan penuh dinding berwarna penuh ketegasan dan teknologi yang luar biasa lebih maju dari sekedar dinding CCTV juga pohon bercahaya.
Disini, tempatnya nampak seperti pembuangan toilet, tanpa dinding bercat. Yang ada hanyalah goresan serta coretan di dinding serta beberapa batu bata yang tampaknya terlepas. Aku menyeimbangkan kaki, berdiri tegak menghadap orang-orang yang memandangku aneh. Lebih aneh lagi karna tak ada satu pun dari merekayang memakai jas khas petinggi pemerintahan atau kacamata ilmuwan seperti yang tetanggaku katakan.
"Berdiri yang tegak, pecundang!" tentara Hannibal mengitari tubuhku, dengan ketus kubalas panggilan tidak sopan itu, "Ibuku memberiku nama yang bagus, dan itu adalah Jennif--"
Suara sengatan listrik menyentuh pahaku, kakiku terasa lemas dan jatuh begitu saja. Engsel kakiku keseleo, maka aku menjerit. Tentara Hannibal memegang tongkat panjang yang ujungnya mengeluarkan kilatan.
Kemudian, ia memunggungiku sambil mengumumkan, "Penghuni baru selama 2 minggu ke depan, si Pecundang!" dengan bangga. Beberapa orang melongok dari lantai 2, juga lantai 3, orang di lantai 4 pasti tidak mendengar suara tentara Hannibal. Mereka tampak menyelidiki, mata mereka bertanya-tanya pelanggaran apa yang kuperbuat.
Tentara Hannibal menyuruh dua orang untuk menuntunku ke ruangan yang ia sebut 'tempat pembuangan'. Tempat itu tidak benar-benar buangan, hanya penjara yang terdiri dari beberapa bagian dan sel. Mereka memasukkanku ke sebuah sel baru, salah satu dari duaorang itu tampak miris dengan hidung bengkok. Mereka mengunciku, dan aku masih bertaya-tanya, kemana dongeng yang tetanggaku buat soal magang asyik tersebut.
1111
Aku tidak mempunyai kegiatan lain selain menggaruk-garuk lantai kayu yang mulai berlapuk, membuatku merasakan sensasi khawatir dari tahanan lain dan juga diriku—bagaimanajika lantai kayu ini patah dan kai semua terjun ke bawah.
Siang itu seorang tentara—bukan si Hannibal—mengetuk besi sel beberapa kali dengan sebuah pisau. Gayanya cukup mencitrakan ketegasan, wajahnya pun tidak terlihat ramah. Senyumnya tersembunyi di balik entah apa itu. Aku merasa ngeri ketika ia menarikku keluar sel, mengernyitkan hidung seakan aku bau atau apalah.
"Namamu siapa?" suaranya berat dan aku tahu, aku tahu ia bakal menyiksaku. Detik itu, aku mulai menerka segalanya. Entah apa yang terjadi disini, tapi 2 minggu bakal terisi penyiksaan.
Tentara itu memiliki wajah yang cukup muda untuk seorang penyiksa. Wajah Hannibal dipenuhi kerutan di samping mata dan kantung matanya, sedangkan yang satu ini berhidung kokoh dan mata biru, tanpa kerutan kecuali jika ia menarik mulut untuk tersenyum—itu pun jika ia pernah mencoba untuk bersikap ramah.
"Siapa namamu?" iamempertegas, aku merasa tidak peru menjawab omong kosong dari orang yang menyiksaku, jadi yang kulakukan hanya melengos sambil melipat tangan di dada. Tatapan garang tentara itu membuntutiku hingga beberapa meter.
Tahanan satu sel-ku berbaris di depan, aku menunduk untuk menyejajarkan sepatu kami, salah satu dari mereka memiliki sepatu paling memalukan yang pernah kutahu. Warnanya coklat—bukan warna asli, warna itu terlebih karna percikan air kotor yang tersumbat bertahun-tahun.
Si tentara itu mulai memperkenalkan namanya, "Namaku Adam. Bekerja sebagai ilmuwan, tapi cukup menguasai beberapa gerakan bela diri untuk menghukum kalian dengan ganjaran yang pantas. Minggu ini, tahanan bertambah bayak dan tak ada yang kulakukan di lab. Pak Hannibal menyuruhku kemari untuk mengurus kalian. Ayo" ia menepuk tangannya dan tidak memberi kami kesempatan untuk bertanya. Aku tidak mengerti apa ataupun kemana yang ia maksud dengan ayo, dan menurutku bukan waktu yang tepat bertanya. Tahanan lain mulai bergerak dengan cepat, aku mengikuti irama lari mereka.
Kami menuruni tangga ketika aku mulai memperhatikan tahanan dari sel lain yang juga mulai berdatangan. Suara kaki kami bergesekan langsung dengan tangga, menghentak di atasnya, menyebar begitu cepat.
Sesampainya di bawah, aku merunduk untuk mengatur nafasku yang tidak stabil. Seumur-umur, tangga paling panjang yang pernah kulalui adalah tangga di dekat Gedung Pemilihan Profesi setahun lalu, menjelang umur 17. Maksudku, aku diharuskan memilih profesi ketika menginjak 16 tahun, tapi perang dunia III masih berlangsung ketika itu, dan pemerintahan yang adil belum terbentuk. Jadi, bisa dibilang aku sedikit terlambat.
Pemerintahan yang adil?
Kejadian satu jam terakhir mengubah persepsiku secara drastis. Aku mengencangkan ikat pinggang dan menerobos dua tahanan di hadapanku untuk menemui Adam.
Ia melirikku sekali, wajahnya sekarang memancarkan kesombongan, yang ironisnya membuatku tambah merendahkannya.
"Hey. Aku dengar pemerintah kita itu adil. Aku berpikir apa yang akan mereka lakukan ketika aku dibebaskan dari sini, melapor bahwa aku disiksa habis-habisan oleh Adam dan Hannibal karna secarik kertas yang tak sengaja kutemui--"
"Diam, mahluk tak bernama" suaranya cukup keras untuk membuatku takut, berita bagusnya ia tidak main fisik seperti Hannibal. Ia terus berjalan dengan niat meninggalkanku di belakang, "Ini pemerintahmu. Tak akan ada yang mau mendengarmu, setidaknya karna aku lebih mempunyai nama di mata mereka" nama. Orang aneh itu terus membahas kesan menjengkelkan pertama yang ia dapatkan dariku.
Kuputar bola mata, berharap ia terjangkit amnesia soal nama-nama itu. Aku mendongakkan kepala untuk mencari cahaya matahari yang mungkin tembus dari jendela dan sela-sela atap. Aku salah—benteng tidak berjendela, itu rumor yang sering orang bilang, yang ternyata bukan hanya rumor. Dan atap, atapnya berjarak 1 kilometer dariku—yang benar saja.
Aku rasanya mengenal dinding abu-abu dan tempat ini. Oh ya, tempat kali pertama Hannibal menyetrumku seenaknya. Aku menegakkan badan dan meluruskan bahu sebagai tandabahwa aku siap menerima siksaan lagi.
Adam berbalik sehingga wajahnya terpantul warna putih dari lampu yang menempel di dinding, tanpa aba-aba mengumumkan sesuatu, "Hari ini, tahanan kita bertambah 2 orang. Dmitri, karna pelanggaran peraturantidak meminum pil tidur sampai jam 12 malam, dihukum seminggu. Dan satu lagi, sebut saja mahluk tak bernama--" orang-orang tertawa mendengarnya, "Dihukum karna menyembunyikan barang dari perang dunia III. 2 minggu di sini. Perlakukan mereka selayak mungkin"
Seorang perempuan menyolek bahuku, membuatku tersentak. "Barang apa itu?" ia tersenyum, senyum penasaran. "Maksudku, memang ada tahanan-tahanan yang ditahan karna tuduhan yang sama, dan aku juga berteman dengan mereka"
"Dan, apa yang mereka katakan tentang barang mereka?"
"Mereka tidak memberitahuku"
"Kalau begitu, kau pasti tahu jawabanku" ujarku jutek sambil melirik ke arah lain, merasa sedikit bersalah namun kubiarkan saja. Situasi hatiku sedang buruk ahir-akhir ini.
Tanpatahu apa yang harus kulakukan, semua tahanan berlari menuju arah yang sama. Menakutkan, mereka bergerak serempak disaat yang sama, sehingga tanpa bisa dicegah, adatahanan yang sudah berumur yangterinjak-injak. Aku berusaha menghentikan mereka, hendak mengambil tangan manula itu namun sia-sia. Tubuhku terbawa arus ke depan, kepalaku tersundul bahu orang lain, dan masih tidak bisa melihat apa yang ada di hadapan kami. Berapa jumlah mereka? Para tahanan? 500 atau lebih. Itu tebakanku yang paling telak.
Saat aku bisa menyentuh tanah, aku mulai bisa berdiri dengan kakiku dan berlari. Berlari tapa berani berhenti, jantungku yang terpacu begitu kuat bertanya-tanya kapan bisa berdetak normal kembali.
Setelah itu, para tahanan melonggar dan aku bisa bernafas, bahkan duduk sekalipun. Mereka menuju pintu yang berbeda-beda, masing-masing pintu begitu tinggi dan sehingga tidak perlu berdesakan lagi untuk memasukinya. Aku bingung pintu mana yang mesti kupilih, dan tak ada Adam atau Hannibal untuk kutaya. Tanpa ancang-ancang aku memilih pintu yang searah jam 12 dari tempatku berdiri...
KAMU SEDANG MEMBACA
Denat Castell
RomanceJen, seorang gadis biasa yang hidup dengan tentram dalam lingkupan benteng negaranya. Jen, gadis patuh yang menghirup kehidupan normalnya. Jen, gadis masa depan yang diajarkan bahaya pemberontakan dan menyembunyikan sesuatu. Jen, yang berulang-ulang...