Ketika sore itu aku pergi dari hadapan Al dan selku, aku mencium bau formalin disaat yang sama, sebuah bungkusan yang mungkin berisi mayat dikeluarkan—bahasa kasarnya, diseret—dari MIRR. Kengerian menyergapku, bisa saja ia mati ketika aku malahan tertawa memandangi diriku di kaca.
Suara gertakan permen membuatku refleks menghindari orang yang datang dari balik punggungku itu. Adam mengulum permen-permen kotak dan memasukannya ke mulut.
Permen itu disebut Cornoble, sebuah merk terkenal karna permennya dikenal sulit dipatahkan. Yang bisa kau lakukan hanyalah menghisap rasa manisnya sebelum permen itu benar-benar hampa. Ia memutar bongkahan permen di dalam mulut, pamer padaku.
"Ajarkan aku sesuatu" semburku langsung tanpa basa-basi. Kami tibapada saat yang sama di sore menjelang malam, selalu begitu, sepertinya ia telah menjadi pelatihku tanpa diminta.Ketika aku hendak menaiki tangga menuju lantai dua, ia menarik bagian belakang jaketku.
"Kau tidak akan melawan bantalan itu kali ini" tangannya mengepal namun memberiku kode untuk mengikutinya. "Lewat sini"
Kami sama-sama melongo ke dalam jurang, aku bertanya-tanya apa yang harus kulakukan di tepi jurang ini. Namun, semuanya menjadi jelas ketika cowok itu melompat ke jembatan, tanpa rasa takut dan langsung membalikkan badan untukku.
"Jika kau mau bertahan hidup disini, yang harus kau kuasai bukanlah ilmu bela diri" tangannya terarah ke depan untuk membantuku naik. "Musuh terbesamu bukanlah orang yang hendak menyakitimu, tapi medan. Segala medan dan tempat yang ada disini, merekalah musuhmu" ia menggenggam kedua tanganku, lalu perlahan melonggarkannya hingga hanya menyisakan jariku yang menempel dengan jarinya, "Jembatan, tali, batu, jurang, kaca, air, tangga... ruang tengah, ROCK juga MIRR, semacam itu"
Aku mengerti. Aku harus punya kemampuan unuk menguasai tempat.
"Berjalanlah" tangannya terlepas dari tanganku, sekarang aku tidak punya pegangan. Ia berjalan mundur sambil terus mengawasiku yang berjalan maju. "Aku terus mengawasimu"
Kami sampai di ujung jembatan, dan ia menyuruhku melakukannya lagi. "Kali ini lebih cepat". Segalanya berulang seperti itu, hingga ia berjalan mundur dengan sangat cepat dan aku berlari. Keringatku membasahi dahi dan ujung leherku, tertelan oleh ujung jaket.
"Kau melakukannya cukup baik" ia berkata jujur, karna aku yakin sudah bisa berlari tanpa jatuh di jembatan. Kemampuan baru yang kukuasai.
Aku melepas jaketku yang kini basah dan bau dan menyebalkan dan rasanya ingin kubuang kalau tidak karna dinginnya udara malam dan pagi. Musim apa sekarang? Saljukah?
"Sudah hampir waktunya tidur" kataku, lebih kepada diriku sendiri. "Aku harus pergi. Terimakasih untuk pelatihannya" ucapku, lumayan kaku, terdnegar canggung, kurendahkan kepala sedikit lalu berlalu karna pasti aneh rasanya melihat Adam terheran-heran dengan kekakuanku. Tapi ia memanggilku kembali, kali ini melemparkan jaket miliknya. "Buatmu" ia memberiku senyum miring, dan aku kembali ke sel, menciumi jaket berbau maskulin itu setelah yakin Adam tidak melihat perbuatanku.
Al memejamkan matanya yang hanya terlihat setengah di balik selimut, tapi aku tahu ia belum tertidur. Pil tidur belum juga dibagikan. "Hey" dengan guncangan kecil, ia bangun dan meluruskan punggungnya.
"Apa?"
"Ayo main kartu"
Kami melakukannya. Dengan jemari Al yang begitu kotor ketika ia mengocoknya, dan aku melihat kerutan di dahi lelaki iu begitu nyata ketika ia berpikir. Terakhir, sebelum aku menang telak dan ia tahu itu, ia bergumam, "Aku benci kartu"
"Karna terbuat dari benda-benda kuno" tebakku, "Kau masuk penjara karnahal itu. Begitu pula aku"
"Kita berdua harusnya sama-sama membencinya, kau tahu. Aku begitu membencinya sampai-sampai tidak tahan lagi!" ia memekik, kartu dari tangannya bertebaran di lantai di depanku. Aku berusaha menyusulnya yang menutup pintu sel terlalu keras.
"Al!"
Ia berhenti di pintu keluar menuju tangga. Memijiti kepalanya dan memperhatikan tangga, yang seperti jalan raya karna lebarnya. Tangga itu sepi namun tidak bisa membuatmu merasa sendiri, bayangan bahwa tiap pagi kau harus menuruninya dengan keras dan cepat, pekerjaan di ROCK yang sadis dan menumpuk. 6 bulan Al melalui rutinitas yang dapat membuat orang jadi gila tersebut. 6 bulan karna sehelai kertas.
"Al, apa kau akan menceritakannya padaku?"
Membagi kisah yang berupa alasan kami dipenjara merupakan pelanggaran, namun aku masih belum meminum serum dengan benang biru. Al melirikku, ia memberiku tanda bahwa nasib kita sama. "Aku juga belum mendapat benang biru itu"
"Benarkah?" mereka mulai memberiku benang biru minggu depan, sebagai tanda aku sudah menyelesaikan setengah dari hukumanku disini.
"Ya, 6 bulan tanpa benang biru! Berapa lama lagi yang harus kuhabiskan disini, kalau setengahnya saja belum?" ia menjambaki rambutnya yang mulai memanjang hingga menutupi telinga, dan aku berpikir, bagaimana mungkin aku tega meninggalkannya sendirian disini nanti, seminggu lagi, sedangkan kami dipenjara karna hal yang sama?
Al menolehkan kepalanya ke balik dinding, mengecek tangga dan yakin tak ada siapapun yang dapat menyadap pembicaraan kami. "Ada setumpuk kertas, Jane. Dalam kardus. Beberapa merupakan kertas skripsi dan berisi ilmu pengetahuan biasa, samasekali tidak penting. Jika hanya karnaitu, kata mereka hukumanku akan berjumlah 2 minggu. Tapi, ada satu lagi. Aku sengaja menyembunyikan tumpukan dokumen tersebut, yang menambah hukumanku jadi 6 bulan. Satu lagi, yang mungkin tak akan dapat terampuni karna mereka tidak memberitahuku berapa lama hukumannya... ada sebuah kertas. Berisi puisi. Entah kenapa, kertas itu yang menyebabkan seluruh hal dalam diriku terkepung disini"
Aku menolak ironi yang baru saja kusadari. Seperti ada seseorang bertepuk tangan di sebelahku, kanan dan kiri, lalu menamparku sama kerasnya. Ironi. Itulah rasanya ironiku. "Dimana kau menyembunyikan kertas itu, Al?" tanyaku sambil mengusap pipiku, memastikan tamparan tadi hanya bayangan.
"Di kolong tempat tidur di sebuah rumah"
Aku menutupi wajahku dengan harapan dapat menyembunyikan wajah terkejutku. Akulah alasan Al berada disini, semua ini karna aku. Entah bagaimana aku bisa tahu, bahkan anehnya tak ada penjelasan masuk akal bagiku, tapi aku merasa ini ada hubungannya denganku. Semakin lama, sesuatu yang pemerintah sembunyikan terkuliti dengan terkurungnya kami disini.
Al menyentuh ujung rambutku, membalikkan badanku sambil mengusap bahu kananku. "Sudah waktunya jam malam. Kita harus minum pil, Jane" ia mengantarku sampai ke sel kami. Tapi, malam itu, kubiarkan pil tidur mengering tanpa kusentuh, lalu aku jatuh tertidur.
1111
Siang itu semua berkumpul membentuk satu lingkaran kecil, diantara aku, Valencia, si cowok Jerman dan Rob juga Al, tak ada yang bersuara. Hingga Rob berdiri dan menyerukan tanggal hari ini, yang berarti ulang tahun Al.
Rob memberi cowok itu sebongkah batu berukir nama Al, tanpa nama keluarganya. Tapi, setelah nama Alfred, ada kata ROCK. "Dengan itu, kuharap kau menganggap ROCK sebagai keluargamu" aku menyimpulkan, Rob terlalu manis untuk masuk penjara.
Valencia memberi Al air putih seliter dan menganggapnya sebagai hadiah. Si Jerman yang lebih sering kupanggil Volt memilih menyerahkan jaketnya yang baru, merk Kelvin Clain. Ketika Al tersenyum, kerutan di pinggir bibirnya membuatmu tahu ia jarang tersenyum sebahagia ini. Mungkin, sejak berada di sel, senyum terlebarnya hanya untuk tawa sinting tak berujung.
Aku mendekati Al dan membayangkan ia berada di suatu tempat, di luar penjara, tempat aman dimana ROCK—yang walau ia anggap keluarga—tak pernah ada. Kubisikkan di telinganya, "Aku punya hadiah yang spesial. Kita main kartu lagi nanti malam, akan kuberikan kau sesuatu"
Valencia bilang Al mungkin penyuka rahasia. Akan kuberikan apa yang ia suka.
r-�0I�c�
KAMU SEDANG MEMBACA
Denat Castell
RomantizmJen, seorang gadis biasa yang hidup dengan tentram dalam lingkupan benteng negaranya. Jen, gadis patuh yang menghirup kehidupan normalnya. Jen, gadis masa depan yang diajarkan bahaya pemberontakan dan menyembunyikan sesuatu. Jen, yang berulang-ulang...