Hari itu mulai gelap. Bagaimana aku bisa tahu? Walau tanpa celah untuk cahaya matahari di benteng ini, aku dapat mengenali waktu dari cara mereka—Adam, Hannibal cs—memperlakukan kami. Suntikan di pagi hari. Bekerja. Break di siang hari. Bekerja. Break di sore hari. Bekerja. Kembali ke jeruji untuk istirahat atau makan dan semacamnya.
Dalam waktu istirahat terakhir sebelum tidur, setelah pekerjaan terakhir, ada waktu luang sangat panjang yang biasa kuisi dengan bermain dadu dengan Al. Namun, kali ini aku berhasil meninggalkannya tanpa membuatnya bertanya-tanya.
Aku tidak mau Al maupun Rob tahu.
Aku menuruni tangga, mengetahui bahwa yang kulakukan bisa jadi terlarang. Tapi, siapa yang pernah bilang kembali ke ROCK di malam hari tidak diperbolehkan? Aku melintasi ruangan tempat seorang manula terinjak di hari pertama, lalu aku mulai berlari seperti yang kulakukan di hari itu. Merasapengecut. Merasa busuk.
Ada banyak lorong yang belum pernah kumasuki sejak hari pertama. Perhatianku selama ini terpusat pada ROCK dan isinya. Tempat magang yang lain mungkin menarik, namun aku tidak ingin mencari tahu malam ini.
Lorong menuju ROCK yang paling menarik. Di pinggirannya terdapat bongkahan batu abu-abu menyeramkan, seperti di film-film action yang kutonton di TV. Kakiku mengenai kerikil, menyebabkan gema di lorong.
ROCK tampak di depan. Ketika muncul di pintunya, aku menyadari tidak sendirian. Beberapa orang berada di tempat yang sama, wajah mereka keras namun tidak kusut. Cukup terawat untuk orang yang menghabiskan hari-hari di benteng. Tubuh mereka dilapisi jaket kulit hitam yang menawan, bahkan lebih menawan dari yang kupunya. Adam berada diantara mereka. Dan mereka sibuk membersihkan mayat menggantung di tengah jembatan. Jadi, mereka adalah para tentara.
Sekali melirikku, mereka langsung melengos. Kehadiranku samasekali tidak mengusik orang-orang itu, dan jelas tidak terlarang. Aku berlari ke arah lain dan mulai memasuki ROCK. Mayat itu dibungkus oleh sebuah robot yang berubah menjadi peti.
Aku menangis ketika berusaha menaiki tangga kayu yang biasa Al naiki. Dadaku menghambur keluar, detak jantungku terasa didesak. Aku tidak pernah melihat seseorang terbunuh sebelumnya, yang ternyata ama menyakitkan.
Tanganku bergetar menggapai anak tangga terakhi, lalu aku membalikkan badan dengan kaki masih menggantung di tangga. Duduk di bagian paling atas. Mengambil napas panjang. Aku bertekad untuk tidak melihat ke bawah, karna hanya akan menakutiku.
Aku berdiri di balkon sekarang, memandang ROCK dari sisi yang lebih tinggi. Batu-batu yang belum dipecahkan tersusun rapih di beberapa sisi, termasuk sisi yang biasa kudatangi tiap hari.
Aku merasakan mual yang luar biasa ketika mendongak ke atas, menemukan tangga kayu lagi. Al bilang, ada sebuah benda tinju yang digantung di balkon kedua dari bawah. Itulah yang membuatnya betah di atas. Kalau tidak ada tentara yang memperhatikan, ia bakal menghabiskan waktu senggang dengan memukul-mukul buntelan keras khusus ditinju tersebut.
Sampai di lantai tiga, aku memandang sebuah sinar yang memantul di lantai. Cahayanya berasal dari lampu di dinding-dinding, yang lebih pantas disebut obor. Aku merenggut sebuah kain dari pinggiran pagar, membungkus tanganku lalu meninju buntelan kusut, buruk rupa namun tetap keras.
Aku meninjunya. Memikirkan bahwa, dalam dua mingguku disini, aku selalu berada dalam bahaya. Kawan-kawanku. Orang-orang yang mungkin kusayang sampai mati. Kemudian, aku membulatkan tekad untuk melindungi mereka.
Ujung-ujung jemariku terasa dingin, dan tanganku sedikit sakit. Aku menghantam buntelan itu sekuat tenaga, berusaha menghantamnya berkali-kali. Aku adalah tahanan menderita dari sebuah rumah biasa, yang merasa pengorbananku membantu wanita di jembatan kemarin sia-sia, karna hari ini aku baru melihat sepasang psikopat bertengkar sampai mati di tempat yang sama.
"Gerakan itu terlalu kaku"
Suara lantang itu berasal dari balik bahuku. Wajah keras tanpa kumis dan janggut, namun kesan keras wajah tersebut membuatnya tampak memiliki janggut tipis. Bibirnya, dalam sekali itu, kukiraberwarna abu-abu. Wajah Adam bukanlah sosok yang tidak familier, tapi tetap saja aku was-was.
"Gerakan itu kaku dan lambat. Kau harusnya menyeimbangkan ini" ia menggeser pinggangku, "Dan tumpu seluruh kekuatanmu disini" ia memukul bahuku, juga pergelangan tangan yang mulai kaku. Aku membenci Adam, selau membencinya hingga rela melengos pergi tanpa ijinnya. Namun, ia menguntungkan buatku kali ini.
Aku mengangguk, memosisikan tubuh dan mengeluarkan kekuatan dari bahu. Buntelan itu, yang sedari tadi tidak bergeming, beridi kokoh setara dengan mengejekku, kini bergerak ke belakang menerima pukulan.
Aku mengulangi gerakan yang sama hingga tanganku tidak kuat lagi. Kain yang melilit tanganku kusibak, warnamerah dan biru bercambur di tulang-tulang jariku. Aku mendengus lalu berbalik.
Adam mengetukkan jarinya pada kain bahan nilon berserabutdi belakangku, aku hampir-hampir melompat keluar pagar saking terkejut. Ia memiliki tatapan tajam yang sama, namun kali ini dihiasi sedikit senyum, hanya setengah, di ujung bibirnya.
"Kau tak bisa melumpuhkan lawanmu hanya dengan satu pukulan atau lebih. Aku terkejut dengan kekonyolanmu meninju benda keras itu selama beberapa saat, lalu kau memutuskanuntuk pergi. Tak ada yang melindungi diri dengan berlatih semudah itu"
Aku mengangkat daguku, "Bagaimana kau tahu tentang niatku belajar bela diri ini?"
Ia memajukan badannya, yang tingginya di atasku, mulutnya bergerak sangat pelan, hampir tak berbunyi, "Karna kau ketakutan dan aku bisa melihatnya"
Jelas, ia sedang menghinaku dengan seluruh niatnya. Aku hampir-hampir menangis jikalau tidak ingat Adam tidak akan peduli tangisanku.
Ia memegang kedua pergelangan tanganku, memfokuskan matanya pada itu. "Disini" ia menyentuh tempat dekat nadiku. "Jangan pernah membuat bagian ini kaku. Tapi, jangan juga melemaskannya. Tumpu kekuatan dan biarkan tanganmu beraksi"
Aku menganggap nasihatnya sebagai permintaan maaf. berbalik memutar perlahan-lahan, menatap buntelan kembali, tangaku bereaksi sebelum otakku. Beberapa pukulan telak berhasil kudaratkan, Adam memasukkan tangan ke saku jaketnya.
Ia tetap melihatku dari ujung matanya, bersender di pagar dengan satu kaki bermain di sela-sela pagar. Dalam posisi seperti itu, aku penasaran berapa umur Adam, karna lelaki itu sungguh tampak muda.

KAMU SEDANG MEMBACA
Denat Castell
RomanceJen, seorang gadis biasa yang hidup dengan tentram dalam lingkupan benteng negaranya. Jen, gadis patuh yang menghirup kehidupan normalnya. Jen, gadis masa depan yang diajarkan bahaya pemberontakan dan menyembunyikan sesuatu. Jen, yang berulang-ulang...