Part 5

2 1 0
                                    

Pintu itu berisi lorong tinggi nan panjang, yang berujung pada ruangan super besar berhawa luar biasa panas. Di tengah ruangan itu ada sebuah jurang dengan jembatan setengah meter di atasnya. Aku melirik ke bawah dengan penasaran. Aku tidak dapat melihat ujung jembatan itu karna begitu dalamnya, karna begitu gelapnya.

Sebuah tangan menyergapku dan menarikku ke belakang. Aku mendengar jertan dalam dadaku, tidak tahu dengan pasti itu haya pikiranku atau aku benar-benar menjeritkannya.

Lelaki itu lebih tinggi dua jengkal di atasku, berkulit hitam dengan wajah keras. Tangan kirinya memegang sebuah sekop hitam berkarat di sekililingnya, satunya lagi masih mencengkram lengan kecilku. Ia merendakan alisnya, tatapannya seolah termenung. "Kau pasti anak baru. Dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan, bukan? Jangan pernah nekat masuk ke jurang itu"

"Tapi kenapa?"

"Kau benar-benar ingin tahu apa yang ada di dasarnya?"

Ia menjauhkan tangannya dari lenganku, yang langsung kuelus-elus, cengkramannya membentuk noda merah di situ. Aku meliriknya dengan wajah yang masih menunduk, berpikir apa ia orang yang tepat buat kutanyai, "Apa yang harus kulakukan disini?"

Lelaki itu memberi kode agar aku mengikutinya, yang langsung kulakukan untuk menghindari cengkraman kedua. Setidaknya, aku tidak perlu dipaksa terlebih dahulu untuk patuh mengikuti orang. "Kita semua bekerja disini, selama menjadi tahanan--"

"Magang" aku menggumamkan kalimat itu, yang lagi-lagi terasa konyol. Dimana tempat magang keren seperti ungkapan tetanggaku?

"Apa?"

"Ah, tidak—maaf" ketakutan akan cengkraman menghantuiku, aku berjalan kikuk kemudian berkata, "Silahkan lanjutkan"

"Kami bekerja disini, melakukan apaun yang bisa kami lakukan. Tanpa perintah ataupun peraturan. Satu-satunya atura yang terus berlaku adalah bekerja habis-habisan. Tidak boleh sedetik pun terlihat kau tidak melakukan apapun, atau para penjaga bisa menyiksamu"

"Intinya, aku harus bekerja" aku mempersingkat penjelasannya tentang magang itu, ia mengangguk. Kerah jaketnya yang sudah usang dan guratan lelahnya yang tak terurus mau tidak mau membuatku bertanya-tanya sudah berapa lama ia mendekap di penjara ini.

"Kupikir aku harus kembali bekerja. Jangan sisihkan tenagamu untuk hal lain, bekerja saja yang keras" nasihatnya terdengar tidak berguna, malah menambah rasa frustasiku.

Sedetik setelah lelaki tinggi besar itu pergi, aku mencari-cari benda yang dapat kupakai untuk mengisi waktu kosongku. Aku menemukan sekop, lebih besar dari yang lelaki tadi pakai, berada di mulut jurang namun aku tidak perlu membahayakan diri jika memutuskan untuk mengambilnya.

Aku berlari dengan wajah panik, takut ditikam siksaan para penjaga dalam sepersekian detik aku terlihat tidak melakukan apapun. Sekop itu perlu kutarik sebentar, kakiku menjejeal di tanah demi menarik benda yang menyangkut di mulut jurang itu.

Ketika aku kehilangan keseimbangan, yang kupikirkan adalah bahwa kaiku masih menjejal di tanah. Perlu sedetik sebelum menyadari bahwa kakiku sudah melayang di atas jurang, tenggorokanku tercekat ingin berteriak. Sebuah tangan kokoh melingkari perutku, sentuhan yang bahkan membuatku lebih sakit lagi.

Kemudian, tubuhku dilempar. Ke lantai.

"Apa-apaan tadi itu? Apa yang kau pikirkan hah?"

Di sana, di tepi jurang dengan berkacak pinggang Adam memelototiku. Kurasa matanya juga memiliki otot sehingga tampak menyeramkan. Aku berusaha bangun, menyadari perubahan suhu tubuhku yang meningkat, ketakutan yang merajalela.

Denat CastellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang