Aku berada di sarangku selama dua minggu, sebuah tempat yang mereka sebut penjara. Aku tidak terlau yakin, karna sekarang rasanya berbeda. Suasana makin mencair sejak namaku tiba-tiba jadi bintang, setelah peristiwa di lubang buaya alias tempat magang batu tadi siang.
Kini, bukan hanya Al yang sibuk mencari topik untuk kami gunakan sebagai senjata menghindari rasa bosan di jeruji. Semua orang mulai berbicara denganku, aku samasekali tidak keberatan.
Pagi itu, karna keberatan menyuntikkan serum ke tangan, seorang tahanan diseret menyamping ke sebuah ruangan sebelum suara cambuk terdengar sampai sarangku. Rasanya, seakan jeruji-jeruji ini ikut bergerak.
Hari itu, aku baru tahu dari Rob bahwa ada beberapa batu yang diubah menjadi balok-balok, sebelum masuk ke laboratorium untuk di-scan dan dimasuki CCTV di dalamnya. Aku mengerti bahwa, bagaimanapun bencinya aku pada batu itu, balok-balok itulah penyangga rumahku.
Al sudah menaiki tangga untuk menggapai tempat batu yag lebih tinggi. Ia menyerukan sesuatu pada Rob yang membuat lelaki itu mendengus seperti anak kecil, dan Al terkekeh dari atas sana.
Aku memperhatikan sepasang mata yang melahap wajahku sedari tadi. Di ujung lainnya, seorang lelaki berkulit putih kemerah-merahan menatapku sejak aku masuk ruangan ROCK (belakangan aku tahu sebutan untk tempat magang kami ini).
Di belakangku, Rob mengambil benda yang Al jatuhkan. Mereka saling menyeru satu sama lain, ibunda Rob yang kupanggil Mrs.Rob—karna kami dilarang menyebut namakeluarga kami—mengasah cangkul untuk beberapa pekerja yang baru datang. Di depanku, lelaki kemera-merahan itu mendekat. Dari jarak sedang, aku baru bisa mengetahui tinggi asli dari lelaki itu. Wajahnya keras da jutek seperti Al, sedikit kasar di beberapa sisinya.
Berkenalan dengan Al cukup mengajarkanku bahwa seseorang tidka bisa diukur dari luarnya. Jadi, aku mengulurkan tangan mengajak lelaki menyeramkan itu berkenalan, Rob masih bersulut-sulut dengan Al di belakangku.
Lalu, aku menerima tamparan dengan kekuatan penuh itu di sisi wajahku.
Rasa sakit seketika membuatku mengerjap. Sekali. Dua kali. Aku tidak yakin. Tapi itu benar—si merah baru saja menamparku. Aku hendak menggeliat menjauh, ketika kakinya yang besar mendarat di tengah perutku. Rasa sakit memaksaku untuk tetap di tempat, lalu Rob menarik lenganku, dan Al melompat dari atas sana, menendang si merah dengan kekuatan penuh namun hanya sekali. Ia menahan hasrat untuk menendang kedua kalinya.
Kemudian, aku melihat lelaki itu dikelilingi lelaki lainnya, sedang iamasih meronta-ronta. Tamparan itu membekas, namun rasa sakitnya makin lama mengecil, seperti berkumpul di tengahnya. Tertahan di sana.
Mrs.Rob menuntunku untuk pergi menjauhi ROCK, kemudian Adam dan orang-orang sepertinya datang, mulai membungkam si merah. Aku menoleh, mendapati Adam bersitatap denganku, ada ketegangan yang kutemukan di sana.
1111
Tamparan itu menyebabkan lebam tipis di dekat mataku, yang bakal hilang bila aku terus-terusan mengompres kain dingin ke tempat itu. Mrs.Rob meninggalkanku sendiri karnaia harus bergegas kembali bekerja menemani anaknya. Tapi, anaknyamalah mendatangiku.
Ia tampil dalam balutan bajunya yang usang. Baju biru berjaket hitam kulit yang kupakai ketika datang juga mulai sobek dan tampak buruk. Di luar sana, kami biasa mengobati luka dengan mendatangi rumah sakit. Di sana, ada ribuan semprotan untuk menutup luka, menjahit bahkan menghentikan darah. Tidak perlu benang atau kompresan.
Rob memunggungiku untuk mengabil segelas air, memberikannya lalu mengambil posisi di sampingku. Pandagannya tertuju ke depan namun iabertaya padaku, "Bagaimana keadaanmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Denat Castell
RomantizmJen, seorang gadis biasa yang hidup dengan tentram dalam lingkupan benteng negaranya. Jen, gadis patuh yang menghirup kehidupan normalnya. Jen, gadis masa depan yang diajarkan bahaya pemberontakan dan menyembunyikan sesuatu. Jen, yang berulang-ulang...