Kejadian semalam belum sepenuhnya pulih dari tanganku, menyebakan telapakku bengkak, kemerah-merahan dan terasa kebas. Aku kesusahan melahap sarapan dengan tangan kiri, tapi bayangan menyeramkan bahwa aku bisa saja pingsan tak bertenaga di ROCK nanti membuatku makan dengan lahap, bahkan memungut potongan keju yang berjatuhan di lantai atau dibuang ke tong sampah. Semua itu membuatku mual, namun aku lebih trauma disakiti.
ROCK mengaungkan suara-suara pecahan batu dan teriakan orang-orang seperti preman. Suara itu menyapaku setiap harinya. Kutanggalkan jaket dan meninggalkan kemeja biru di badanku. Lepek, bau, tidak tertahankan.
Lalu, aku melihat orang gila itu—Adam. Ia menyembunyikan tangannya di balik badan, ia mendongak untuk melihat atap yang tak berujung. Saking kuatirnya aku, aku lupa mengasah kapak.
Untungnya Rob memiliki kepribadian menawan. Ia menyerahkan sebuah kapak cadangan, yang ujungnya amat runcing sehingga menimbulkan gairah dalan diriku untuk menyerang Adam dengan benda itu.
Lalu, kejadiannya cepat sekali. Al berteriak, ia melompati pagar dan bergelantung di tali-tali besar yang diciptakan untuk mengangkut batu dari bawah ke atas. Berhasil sampai di bawah, ia mengeluh tangannya yang terkelupas karna mata air panas yang tiba-tiba muncul dari sela-sela batu.
Pikiranku bereaksi lebih cepat, kudongakkan kepala untuk melihat Adam. Ia melipat keduatangannya di depan dada, menyebabkan ototnya sedikit lebih mencuat. Memberiku anggukan kecil.
Aku memilih untuk memanjat tangga, di lantai dua, Rob dan Al yang masih menganggapku adik kecil mereka menyeru namaku. Menyuruhku turun. Ketika sampai di lantai tiga, Al mulai menyusulku naik tangga.
Sekarang, aku merasa payah dan bodoh karna tidak berlatih lebih lama bersama Adam semalam. Harusnya aku menghabiskan beberapa botol termos agar lebih ahli dan tahan panas. Sekarang, tanganku masih cukup payah dan bodoh untuk menahan air panas.
Tapi, aku bisa menahan diri untuk tidak menjerit dan itu berhasil. Aku hanya menangis tanpa suara ketika air panas menyentuhku, dan itu bisa dibilang kemajuan. Kuambil sebongkah batu dengan kedua tanganku. Menjepit lubang air panas itu dengan batu, merasakan sensasi terbakar di tanganku, di wajahku yang terkena cipratan air mendidih. Merasakannya, lalu melupakannya.
Suasana sudah terkendali ketika Al menarikku ke belakang. Ia menangkupkan kepalaku di tangannya, "APA YANG KAU LAKUKAN?!" tapi tepukan membahana mematikan teriakannya.
Kami sampai di bawah, Rob langsung memberiku pelukan hangat, "Aku mengkhawatirkanmu, Jannie" ia memiliki panggilan baru untukku.
"Ya, kau sudah gila barusan" Al menempeleng pelipisku, aku terbahak. "Tapi, kau keren juga, Jane-ku" ucapnya sambil membuang air liur ke sebelahku. Mengedipkan matanya yang jahil.
Sesaat sebelum bel makan siang berunyi, aku mencari-cari Adam di balik bahu orang-orang dewasa yang meninggalkan ROCK. Ia tidak ada disana, tidak di lantai dua maupun tiga atau manapun.
Kami berebutan mengambil kursi-kursi dan membentuk lingkaran masing-masing. Mrs.Rob makan bersama ibu-ibu lainnya, yang sudah berpengalaman dan terlalu tangguh untuk kembali menjadi ibu-ibu biasa. Al, Rob dan aku, serta anak muda lainnya memiliki lingkaran kami sendiri.
Aku merasa semakin liar, menikmati hidangan dengan cara Al. Rob kegelian melihatnya, dan ia mengakui pertama kali melihatku, ia pikir aku akan tetap menjadi gadis ketakutan yang kaku dan butuh perlindungan.
Lalu, aku menceritakan kisah yang kututupi dari mereka selama ini.
Al kembali menyebutku orang gila, Valencia tertawa amat hebat lalu Rob menanyai kondisiku, apakah aku merasa tersakiti atau tertekan. Cowok yang punya nama Jerman menyebut sesuatu dalam bahasanya, namun bukan ich liebe dich.
"Kau berlatih bersama Adam?"
"Tentara sekaligus ilmuwa gila itu?"
Aku membawakan sebuah termos berisi air yang sekarang lumayan dingin, tapi lebih bersih dari jatah minum kami siang ini, dan membaginya. "Seperti itulah. Ilmuwan gila dan tentara gila. Dua kepribadian dalam satu sosok gila" tanpa membertahu mereka bahwa termos ini dari Adam, aku tertawa. Nyaris tidak dapat dipastikan kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini, dan Al mulai berpikir aku sinting seperti dirinya. Ia mengangkat gelas dan, "Untuk Jane yang mulai sinting!" kemudian menenggak air sehat dari termos tanpa mempedulikan kami, berlalu tanpa pamit.
Ia tampak dingin terkadang, tapi selalu ramah di sisi aslinya. Rob menyenggol lututku dengan lututnya, "Al akan berulang tahun"
"Benarkah?" aku bertanya-tanya, apakah seorang preman yang nyaris jadi psikopat masih ingin dirayakan ulang tahunnya.
"Kita akan mengejutkannya"
"Apa yang ia suka?" tanyaku, kali ini mengarah pada Valencia.
"Tak ada yang mengenalnya begitu baik, tapi, kurasa ia menerima apa saja pemberian dari orang"
Rob mengambil termos dari tanganku dan menagkupnya di tangan, "Termasuk air putih yang sehat dan bening"
"Apa ia menyukai jaket baru, atau hal-hal berbau rahasia?" Valencia bertanya.
Si Jerman berkomentar, "Memangnya kau punya rahasia yang mungkin dapat membuatnya tertarik, heh?"
Tentu saja, kalimat itu ditujukan pada Valencia, cewek berambut pirang sepundak. Namun, malah perasaanku yang tertusuk. Rahasia. Aku mengutuk dirku sendiri jikalau aku berhasil keluar dari benteng ini, tanpa memecahkan satu pun rahasia yang kusimpan.
;zv0}
KAMU SEDANG MEMBACA
Denat Castell
RomanceJen, seorang gadis biasa yang hidup dengan tentram dalam lingkupan benteng negaranya. Jen, gadis patuh yang menghirup kehidupan normalnya. Jen, gadis masa depan yang diajarkan bahaya pemberontakan dan menyembunyikan sesuatu. Jen, yang berulang-ulang...