Tiga: Menunggu

745 101 0
                                    


Penghujung Maret. Beberapa hari terus diguyur hujan. Awan-awan muram menghalangi cahaya. Pagi melompati siang, sore terus menguasai sampai malam. Begitu berulang-ulang. Sama halnya dengan hari ini, ketika gadis itu menyusuri jalan-jalan basah dengan udara lembab.

Seragamnya tertutup mantel panjang sampai ke lutut. Bahu dan lengan kanannya mengapit tas besar. Tidak banyak bawaan saat Jumat. Bebannya sampai tidak terasa. Sementara gerimis mengiringi, dia melangkah ke satu titik yang biasa dia diami. Di bawah tiang lampu tersebut, Vio berhenti.

Bengkel tempat Viktor bekerja masih beroperasi. Mungkin sekitar dua jam lagi mereka akan tutup. Di antara pria-pria berpakaian setelan biru lusuh itu, mata Vio mencari. Beberapa saat yang dia lihat hanya pria-pria serupa minion di matanya. Mereka tampak sama. Sampai akhirnya laki-laki itu muncul di balik salah satu mobil dengan hampir seluruh permukaan kulitnya berkarat.

Viktor mengangkat tangan—meregangkan otot, menguap lalu menyeka keringat di leher.

Vio tersenyum samar.

***
“Vik, mau kopi?” tanya salah satu pegawai menawarkan.

“Boleh,” sahut Viktor yang mengangguk. Laki-laki itu melepas sarung tangannya kemudian menyingsingkan lengan.

Punggungnya merasakan pegal yang amat mengganggu. Semua gara-gara ada satu sekrup sialan yang tidak mau lepas hingga hampir satu jam lebih dirinya jongkok dan melongok. Padahal pemilik mobil yang dia tangani itu ingin kendaraannya kembali secepatnya. Viktor mungkin akan lembur malam ini. Dia juga harus memastikan mobil itu bersih mengilap—atau dengan kata lain mencucinya.

Seseorang menyodorkan sebuah mug hitam dengan uap mengepul di atasnya. Aroma kopi tercium. Mereka bisa menghirup harum sepuasnya, toh kopi tersebut diseduh dengan air yang baru mendidih. Nekat menyesapnya saat itu juga sama artinya menyetrika lidah. Sayangnya Jaka—si Pembuat kopi—tidak pernah belajar menyeduh kopi dengan setengah air mendidih, baru setelah itu menuangkan air bersuhu rendah.

“Makasih,” ucap Viktor lalu meniup-niup permukaan kopi berampas.

Saat mereka berdua sama-sama berdiri menghadap keluar bengkel, kening Jaka berkerut melihat seseorang berdiri dekat tiang lampu pinggir jalan. Sosok itu sebenarnya sering dia lihat, hanya saja tidak pernah dianggap serius. Lagipula tiap ada seseorang yang berdiri di seberang, bukan berarti dia orang yang sama. Bisa jadi orang itu tengah menunggu angkutan umum atau pun penjemput. Tapi sekarang setelah Jaka memikirkannya baik-baik, seseorang yang berdiri diam di seberang bengkel pastilah perempuan.

“Menurut kau, dia nunggu apa?” tanya Jaka pada Viktor.

“Siapa?”

“Cewek di seberang itu.”

Pandangan Viktor lantas tertuju pada arah yang ditunjuk Jaka menggunakan dagu. Viktor sedikit menyipitkan mata supaya bisa melihat sosok gadis itu dengan seksama. Setidaknya penglihatan laki-laki itu masih cukup baik untuk bisa melihat detil wajahnya, meskipun jarak mereka tidak bisa dibilang dekat. Dilihat dari penampilannya, sepertinya gadis itu masih muda. Mungkin usia sekolah. Untuk yang satu ini entah benar atau bukan: Viktor merasa pandangan gadis itu sedang mengarah ke bengkel.

“Jemputan mungkin?” ujar Viktor lalu menyeruput sedikit kopinya. Lagipula buat apa juga dia memikirkan lebih jauh. Toh dia tidak mengenal gadis itu.

Ketika perlahan volume titik-titik air yang jatuh bertambah, mereka melihat si Gadis merespon lambat. Selain tas di pundak, dia juga membawa payung lipat. Sementara rambut dan mantelnya mulai basah, barulah payung itu dilebarkan. Namun gadis itu ceroboh. Entah apa yang tengah dia pikirkan, yang pasti benaknya kurang fokus. Angin menerbangkan payung itu ke tengah jalan tanpa sempat dicegah.

Refleksnya sontak berlari. Tapi di saat yang sama, Viktor dan Jaka terkesiap. Sebuah mobil mengerem mendadak disusul bunyi benturan.

***
Ke mana dia?

Bibir Amarta menekan saat mengetikkan pesan-pesan singkat pada ponsel. Setelah berpisah sewaktu pulang sekolah tadi, Vio menghilang entah ke mana. Mungkin dia ke tempat les atau berlatih kendo. Entahlah. Amarta tidak pernah tahu apa yang Vio lakukan di luar sekolah. Tidak ada yang tahu rutinitas gadis itu kecuali seseorang menguntitnya.

Tapi dia akan pulang sebentar lagi kan? Sebentar lagi waktunya makan malam, dan Amarta sudah susah-susah membuatkannya lasagna. Satu loyang oval sepanjang tiga puluh sentimeter itu diisi penuh. Ribuan kalori terkandung di sana. Amarta tidak mungkin melahapnya sendirian.

Mendesis sebal, dia memutuskan langsung menelepon Vio. Bunyi tut tut tut panjang membuatnya tidak sabar. Ujung-ujungnya yang mengangkat panggilan adalah mesin penjawab operator.

“Apa-apaan..,” gumam Amarta lesu. Diliriknya lagi seloyang lasagna yang baru matang. Pelan tapi pasti, makanan itu akan mendingin. Mereka harus memanaskannya lebih dulu di oven kalau ingin memakannya nanti. Ditambah lagi makan malam di atas jam delapan itu ide yang amat buruk.

Bosan, gadis itu mengeksplorasi sekotak besar buah milik Vio. Vio selalu menyetok buah. Hampir setiap hari dia membuat salad buah, atau semangkuk penuh yoghurt dengan segunung potongan buah. Dia tidak akan marah kalau Amarta mencuri sebutir kiwi.

Pada akhirnya Amarta mengupas kiwi tersebut, lalu memakannya dalam keadaan utuh.

Sendirian di meja makan.

Sepi.

***
Kecelakaan tadi tidak terlalu drama. Mobil yang melaju mengerem tepat pada waktunya. Pinggul Vio hanya sedikit tersenggol lalu jatuh ke samping. Hanya sedikit lecet di kakinya, tidak ada luka selain itu. Pengemudi mobil yang merasa tidak bersalah sempat membentaknya kasar sebelum pergi. Vio tidak marah. Bahkan dia merasa perlu berterimakasih padanya. Sebab karena kejadian itu, Viktor—bersama dengan dua pekerja bengkel—buru-buru berlari menolong.

Mereka menarik Vio ke dalam bengkel karena di luar hujan deras. Mantel yang dikenakannya nyaris basah kuyup. Di sana mereka membuatkannya teh hangat, dan meminjamkan handuk bersih. Vio pun duduk manis di bangku tunggu sementara beberapa dari pekerja mengajaknya ngobrol.

“Omong-omong cantik betul itu cewek,” komentar Jaka berbisik pada Viktor.

Viktor tersenyum sekilas setelah mengangkat alis. Jaka tidak perlu tahu kalau dalam hati, Viktor setuju. Hanya saja melihat seragam gadis itu setelahnya mantelnya dilepas, Viktor tidak berminat. Laki-laki itu tidak tertarik pada anak-anak seusianya, secantik apa pun dia.

Pekerja yang lain tidak bosan-bosannya melontarkan gurauan. Viktor juga mendapati Vio sangat mudah membaur dan berbicara akrab pada orang-orang yang baru dia kenal. Suasana berangsur tenang saat jam pulang tiba. Hujan di luar tidak sederas tadi. Satu per satu pegawai pamit pulang. Salah satunya sempat menawarkan diri untuk mengantar Vio, namun gadis itu menolak halus.

Vio tetap tinggal di sana biar pun hanya Viktor yang tersisa. Viktor tidak tertarik dengan obrolan basa-basi, jadi gadis itu salah kalau mengharapkannya mengangkat obrolan hangat seperti tadi.

“Kau menunggu dijemput?” tanya Viktor tanpa mengalihkan perhatian dari mesin depan sebuah mobil.

“Semacam itu,” jawab Vio agak menggantung. “Mungkin.”

Viktor sempat menghentikan geraknya, menyadari kalau jawaban gadis itu aneh.

“Aku bisa memanggil taksi untukmu. Jangan pulang terlalu malam. Apalagi kau perempuan,” kata Viktor lagi. Salah satu engsel yang dia tarik akhirnya lepas.

“Bagaimana denganmu?” Vio balik bertanya. “Kenapa kau tidak pulang?”

“Ini rumahku,” ujar Viktor sekenanya. Orang asing tahu apa? Namun ucapan gadis itu selanjutnya membuat Viktor tertegun, bahkan sukses mengundang tatapannya beralih.

“Viktor Sua..,” sebut Vio—terkesan sebatas gumaman. Pandangannya mengarah keluar bengkel, di mana lampu-lampu pinggir jalan telah nyala semua. Kemudian ketika kerlingan tajam Viktor menghujamnya, Vio membalasnya dengan semburat kesedihan penuh makna. “Kenapa kau tidak pulang ke rumah?”

Meski bertahun-tahun aku menunggumu kembali..

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang