Enam: Memori

605 96 6
                                    

Audi Vio sampai pada sebuah bangunan tua yang terbengkalai. Mengedarkan pandangannya, gadis itu menutup pintu mobil dan bergeming beberapa saat. Sepatu haknya mengetuk mendekati pintu berdaun miring. Mungkin engselnya akan langsung lepas hanya dengan sekali sentil.

Gadis itu masuk semakin dalam. Lantainya penuh dengan pasir, dan udaranya mengandung debu. Pada akhirnya dia berbelok ke salah satu ruang di mana beberapa orang berkumpul di sana. Cahaya satu-satunya bersumber dari luar berkat retakan dinding bagian atas. Semua orang itu—seluruhnya laki-laki—langsung menoleh saat Vio datang. Wajah mereka dingin dan terkesan sangar.

Jo tersenyum. Dia berbaring melengkung pada kursi malas. Pria itu sedang merokok.

Welcome, Madame,” ucapnya menyambut Vio. “Barangnya ada di sana.”

Kepala Vio lantas meneleng ke arah dagu Jo tunjukkan. Di luar para laki-laki yang dikenal Vio sebagai preman suruhan Jo, Vio mendapati empat orang pria duduk berlutut menghadap ke tembok. Tubuh dan tangan mereka diikat.

“Kau sudah cari tahu semua soal mereka?” tanya Vio. Tiga di antara mereka adalah komplotan yang hampir menculiknya, sementara yang satu lagi membuat gadis itu bertanya-tanya.

“Preman. Pengangguran. Langganan pos polisi. Juga amatiran,” kata Jo lalu terkekeh. Tubuh pria itu menggeliat seperti Jack Sparrow saat bicara. Sepintas, dia seperti orang idiot. Namun semakin Vio mengenalnya, Jo bukanlah orang yang bisa dianggap remeh.

“Yakin?” Vio mengernyit. “Mereka tidak punya orang lain di belakang kan?” Bisa saja “pemangsa” yang diciptakan ayahnya telah berkeliaran mencari titik lemah keluarga Len.

“Kau hanya memberikan instruksi, dan aku melakukannya.” Kali ini Jo menguap. “Oh, aku mengantuk. Aku mau tidur sebentar. Beritahu saja kalau kau sudah selesai.”

Vio memutar bola mata setelah Jo menutup muka dengan jaket lusuhnya. Perhatian gadis itu lalu beralih pada empat orang yang diikat. Menoleh pada salah satu anak buah Jo di sebelahnya, tangan Vio mengulur, meminta sesuatu yang tengah dia bawa. Cambuk. Cambuk tali yang panjang, dengan pegangan sprento dan tali tambang yang semakin meruncing di ujung, bentuknya menyerupai ular. Benda itu sempurna sekali.

Vio melangkah. Tangannya melayang di udara lalu menyentak tiba-tiba. Sabetannya mengenai tepat pada leher salah satu mereka. Geraknya berubah cepat dan liar, menghajar mereka semua dengan energi berlebih. Bunyinya memekakkan telinga. Emosi Vio terlampiaskan sempurna sampai-sampai darah memercik ke segala arah—termasuk ke wajah dan seragamnya sendiri. Selang beberapa menit kemudian, Vio berhenti. Napasnya terengah.

“Mungkin lo juga ingin lihat ini,” kata salah satu anak buah Jo yang lain memberikan sebuah ponsel.

Vio melihat sebuah foto. Wajah yang sama dengan dirinya, juga berseragam serupa. Hanya saja potongan rambutnya pendek.

“Punya siapa?” tanya Vio.

“Mereka. Siapa lagi?”

Rahang Vio saling menekan dan menggesek. Membanting ponsel itu hingga hancur berkeping-keping, dia juga melemparkan cambuk tadi begitu saja. Vio kembali pada tas selempangnya yang ditaruh dekat Jo berbaring. Dari sana dia pun mengeluarkan sebilah tongkat yang otomatis memanjang setelah ditekan tombol tengahnya.

Pandangan para laki-laki itu mengikuti gerak Vio.

Dalam hitungan detik, tongkat itu menghantam secara membabi buta.

“Hei,” ucap Vio saat menginjakkan kakinya pada dada salah satu dari mereka. Dia ingat wajah itu. Bahkan bau memuakkan saat Vio dibekap olehnya masih terasa. “You took the wrong girl, tahu tidak? Coba kalau kalian tidak salah sasaran, berapa pun akan kuberikan. Berani sekali kau menyentuhku, brengsek!”

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang