Lima: Di Balik Tirai Hujan

695 90 4
                                    

Si Pengemudi roboh. Wajahnya bonyok. Komplotannya yang lain makin beringas. Sementara yang satu keluar untuk balas menghajar Viktor, satu lagi tetap membekap Vio. Tidak tahan dibekap, Vio menggigit kuat-kuat tangan orang itu sampai berteriak. Tidak terima, Vio pun ditampar keras, bahkan tubuhnya sampai terjepit bawah kursi.

Sasaran Viktor berganti pada satu orang lagi yang masih tersisa. Pada akhirnya pria itu pun lumpuh karena hujaman siku Viktor tepat di punggung. Viktor lantas melihat masuk ke dalam mobil, mendapati Vio tidak bisa bergerak di antara dua kursi-depan dan belakang. Laki-laki itu lalu membantu dengan menariknya. Tubuh Vio direngkuh, diangkat, selanjutnya diturunkan di atas trotoar.

Viktor sempat akan menanyakan pertanyaan klasik padanya, tapi urung melihat wajah itu. Pipi kanannya lebam, dengan sedikit goresan dan darah dekat sudut bibir. Gadis itu tidak baik-baik saja. Dia menunduk dan memegangi perut.

"Ada luka lain?" tanya Viktor sembari menyibak rambut Vio.

Gawat, batin Vio panas dingin. Gara-gara berada di mobil dengan orang-orang sampah itu, sekarang perutnya seperti bergolak. Viktor tidak boleh melihatnya! Vio akan memuntahkan isi perutnya! Memalukan dan menjijikkan sekali!

"Apa kita musti ke rumah sakit sekarang?" tanya Viktor lagi.

Karena Vio tidak kunjung menjawab pertanyaannya, Viktor jadi tidak sabar. Mendadak dia menarik lengan gadis itu ke motornya. Tapi di saat yang sama, Vio menyentak tangan itu. Dia sontak berlari, dan sialnya, Viktor refleks berseru dan mengejarnya. Pada akhirnya Vio menjatuhkan diri di gang sempit yang dihimpit dua bangunan. Tepat melalui lubang parit pertama yang dia lihat, gadis itu memuntahkan semuanya.

Ketika Viktor berhasil menyusul Vio, dia pun menghela napas panjang. Tubuh Vio mengguncang beberapa kali dalam posisi berjongkok. Tangan Viktor lalu terulur, mengusap-usap punggungnya dengan harapan bisa menenangkan. Saat selesai, Vio menoleh. Wajahnya sedikit membiru-pucat. Viktor pun menemukan rona malu di sana.

"Ikut aku," kata Viktor tanpa bisa dibantah.

***
Viktor menghentikan motornya di halaman sebuah minimart. Vio disuruhnya menempati salah satu kursi dekat sana mengitari satu meja bundar dengan naungan payung. Laki-laki itu lalu masuk ke dalam minimart sementara Vio menunggu. Diam-diam gadis itu mengambil cermin sisir dan berkaca. Luar biasa. Wajah, rambut, dan bajunya seperti habis dihantam badai.

Begitu Viktor keluar, Viola buru-buru memasukkan kembali cerminnya ke tas. Tangannya menempel pada pipi kiri, enggan memperlihatkannya lagi. Viktor lalu duduk di hadapannya setelah meletakkan sebotol air mineral dan sekantung es batu.

"Kompres pipimu, lalu habiskan itu," perintah Viktor-lagi-lagi dengan ekspresi yang tidak bisa didebat.

Vio menurut dengan apa yang dia perintahkan. Saat botol air telah kosong dan dia menempelkan kompres ke pipi, Viktor menyilangkan tangan dan menatapnya penuh makna.

"Siapa namamu?"

Vio sempat bimbang apakah akan semudah itu memberitahunya atau tidak. Tapi biar bagaimana pun Viktor telah menolongnya. Dan sampai sejauh ini Vio yakin Viktor telah sangat menghafal wajahnya.

"Vio."

"Kalau itu saja, aku tinggal tanya pada teman sebengkelku karena kalian mengobrol banyak waktu itu." Viktor mengernyit tidak percaya. "Aku ragu namamu sependek itu."

"Viola."

"Lengkap."

Vio berdehem sekilas sebelum akhirnya menjawab. Gadis itu masih tetap menghindari kontak mata dengan Viktor.

"Viola Len."

Saat Viktor lagi-lagi melipat dahi, Vio menghela napas panjang dan menambahkan.

"Margaku juga pendek," katanya. "Sama sepertimu. Apa kau mau aku tunjukkan kartu pelajar?"

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang