Sepuluh: Stay With Me (I)

634 81 0
                                    

Setelah pusingnya hilang, Vio justru tidak bisa tidur. Kelopaknya sempat memejam untuk beberapa saat, namun dia tidak kunjung bisa terlelap.

Cahaya temaram berpendar redup, bersumber dari lampu jalan. Viktor tidak membawanya ke sebuah rumah, melainkan tempat tinggalnya selama beberapa tahun terakhir ini. Hanya sebuah apartemen-meski lebih sempit-dengan hanya dua ruang yang terpisah. Laki-laki itu tidak mengatakan apa pun saat mengarahkan Vio ke ranjangnya, sementara dia sendiri pergi.

Vio menyambar ponselnya di sisi bantal, mendapati kalau jam menunjukkan pukul tiga dini hari lebih beberapa menit. Pantaslah jika di luar masih gelap.

Gadis itu mematikan ponselnya. Tubuhnya kemudian bergelung seperti bayi sambil memeluk erat gumpalan selimut. Sepertinya Viktor baru saja mengganti seprai dan sarung bantalnya. Harum yang Vio cium beraroma hangat matahari. Meski tidak terlalu rapi, setidaknya tempat itu cukup bersih bagi Vio.

Dalam hati dia pun bertanya-tanya di mana laki-laki itu berbaring. Padahal sesaat lalu dia terluka. Vio jadi menyesali keputusannya menunggui Viktor. Karena dia, Viktor jadi merelakan tempat tidur satu-satunya, padahal luka gadis itu tidak seberapa.

Memutuskan dalam hati, Vio melompat turun dari ranjang. Langkahnya mengendap-endap membuka pintu lalu menyipitkan mata demi melihat ke sekitar. Tidak jauh berbeda dari dalam kamar, ruang utama pun gelap. Vio sampai harus menerka-nerka bayangan-bayangan benda di sana sebelum mulai beranjak-tentunya dengan mengendap.

Pandangannya kemudian terhenti pada cahaya kebiruan yang remang di balik sofa.

Televisi-yang meski menyala tetapi tidak bersuara. Di depan benda itulah, Vio mendapati Viktor berbaring menyamping hanya beralaskan karpet dan dibalut selimut yang tipis. Pelan-pelan Vio mendekatinya. Laki-laki itu sedang pulas. Senyum Vio mengembang karena untuk kedua kalinya dia bisa memandang wajah polos itu.

Vio pun tidak bisa menahan godaan untuk berbaring di hadapan laki-laki itu supaya bisa memandang sepuasnya. Kedua tangan gadis itu kemudian menjadi alas untuk meletakkan kepala.

Semuanya telah terekam baik oleh Vio. Wajah Viktor di tengah mimpinya, hembusan napas yang teratur, juga saat kepala laki-laki itu sedikit bergerak untuk mencari posisi yang lebih nyaman. Vio hanya berharap waktu tidak cepat berlalu sehingga dia bisa terus bersamanya lebih lama.

Waktu telah membuat Viktor Sua menjelma menjadi seorang pria dewasa. Apabila dulu dia selalu memberikan senyum ramah pada setiap orang yang ditemuinya, sekarang intensitasnya berkurang. Laki-laki itu lebih sering membiarkan wajahnya tanpa emosi yang berarti. Sorotnya tegas, tapi di sisi lain tampak sendu. Sore saat suasana meredup ditambah mendung yang pekat amatlah cocok untuk menggambarkan Viktor yang sekarang. Barulah Vio sadar telah menemukan satu lagi alasan mengapa dia hampir selalu mendatangi bengkel tempat Viktor bekerja.

Karena apabila keadaan sekitarnya muram, Vio akan selalu memikirkan laki-laki itu.

Vio tidak lagi berpikir berapa lama dia bisa memandangi wajah itu karena tanpa sempat dia kendalikan, kantuknya kembali. Gadis itu pun terlelap-dalam damai dan kehangatan yang jarang dia rasakan.

***
Viktor perlahan terusik saat sinar matahari pagi yang menyeruak dari kerai jendela. Laki-laki itu agak mengerang merasakan sakit pada punggung lalu mengucek mata sebentar sebelum kemudian terpaku. Tepat di hadapannya, gadis yang semalam dia bawa-entah sejak kapan-berbaring pulas. Viktor mengerjap terkejut, meski pada akhirnya enggan bereaksi yang mana dapat membangunkan gadis itu.

Wajah tidurnya seperti bayi. Tubuhnya pun bergelung-mungkin karena kedinginan. Bibirnya sedikit terbuka, dan pipinya merona.

Ganti memperhatikan semua detil pada wajah Vio, Viktor mencoba lagi untuk mengingat sosok gadis yang terhapus dari ingatannya itu. Apakah pada pertemuan mereka di waktu yang lampau, Vio tengah tertawa? Apakah dia menangis atau marah? Berapa lama waktu yang terlewat sampai Viktor terlupa?

Ketika akhirnya Vio terjaga, mereka saling membalas tatapan satu sama lain. Mata gadis itu sempat melebar selama beberapa detik lalu berangsur berkedip pelan.

"Pagi..," sapanya pelan dan sedikit serak.

"Kenapa kau keluar?" tanya Viktor pelan-tidak sedikit pun menarik diri untuk menjauh. Wajah mereka lumayan berdekatan sehingga Viktor bisa merasakan helaan napasnya.

"Dingin," jawab Vio singkat lalu tersenyum samar. Manik matanya jernih, menggantikan bulir embun bagi Viktor.

"Kau seharusnya membawa selimut."

"Bukan tubuhku," ralat Vio mengeratkan tekanan kepala ke tumpukan alas tangannya. "My feeling."

"Kau berhutang banyak penjelasan padaku. Kalau kau tidak kunjung mengatakannya, aku akan benar-benar memastikan kau berada sangat jauh dariku."

"If I tell you, you will let me stay close to you?" Gadis itu tersenyum lagi. "Seperti saat kau memeluk dan menciumku waktu itu?"

Viktor menghela napas panjang. "Bukan sekali ini aku berurusan dengan penguntit," ucapnya. "Tapi baru kali itu aku membuat penguntit menangis."

Gadis itu tertawa kecil. Wajahnya yang berbinar entah kenapa menciptakan semburat kehangatan yang perlahan menjalar di hati Viktor.

Senyum yang merekah di bibir Vio berangsur memudar. Memberanikan diri, dia mendorong tubuhnya untuk lebih mendekat. Manik teduh Viktor ditatapnya dalam keheningan. Tak bersuara, satu-satunya interaksi yang mereka lakukan hanyalah melalui isyarat tatapan keduanya. Kontak mata itu terputus sesaat ketika Vio menempelkan bibirnya singkat ke bibir Viktor.

Hanya satu ciuman yang ringan dan ragu-ragu. Gadis itu pun sedikit menarik diri untuk melihat reaksi yang Viktor tampakkan. Nyatanya laki-laki itu bergeming bagai manekin.

"Thank you," bisik Vio amat pelan. "For being my reason to look forward to the next day.. day by day.."

Andai laki-laki itu tahu-jika dengan keberadaannya saja, Vio bisa mendapatkan ketenangan. Hari-hari di mana Vio hampir putus asa. Hari-hari di mana dia tidak mengenali lagi orang-orang yang dulu berada di dekatnya. Juga hari di mana Vio ingin terbebas dari kungkungan.

Napas Vio tertahan saat Viktor tiba-tiba menarik tubuhnya supaya mendekat. Pandangannya mengarah ke bibir gadis itu kemudian mengusapnya lembut. Kali ini bukan ciuman yang menuntut seperti di balik tirai hujan malam itu. Bibir Viktor meraih Vio dengan halus-seperti nada yang harusnya mereka dapatkan saat pertama kali.

Gadis itu membalasnya. Direngkuhnya erat lengan kaus Viktor sementara laki-laki itu menyelipkan tangannya di antara lengan dan pinggang Vio.

Bagi Viktor, bibir gadis itu terasa sangat manis, menimbulkan candu. Sedangkan bagi Vio, ciuman mereka sungguh memabukkan. Keraguan yang ada dalam Vio berangsur luruh saat Viktor mengambil kendali penuh ciuman mereka. Bibir itu tidak hanya mengusap, namun mulutnya mengulum hingga masing-masing merasa enggan menarik diri.

Saat Viktor memberikan jeda supaya Vio bisa menarik napasnya, laki-laki itu berbisik, "Stay with me.."

Setelahnya mereka bergumul dalam ciuman yang lebih dalam. Lebih intens. Dan tersihir.

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang