Delapan Belas: Kelam

603 73 9
                                    


Ukuran kamar mandinya kira-kira setengah dari ruang tengah. Di mana-mana tercium aroma maskulin Lean yang lama-lama membuat Vio pusing. Wangi parfum itu pun bertambah saat Lean memindahkannya ke kamar mandi. Dia menyeringai puas melihat Vio yang makin bergidik dan menciut, mengira Lean hendak berlaku macam-macam. Namun nyatanya, Lean cuma mempertimbangkan kata-kata Vio sewaktu sarapan pagi tadi.

"Kau memborgolku di sini. Bagaimana kalau aku butuh kamar mandi? Aku yakin kau tidak akan suka bekasnya jika mengotori karpetmu." Dalam benak Vio, terlintas sebuah ide. Sangat sederhana, tapi mungkin berguna supaya Lean mau melepaskan borgol. Dan ketika borgol itu dilepas, barulah Vio akan memikirkan cara bagaimana dia bisa kabur.

Lean terlihat menimbang beberapa saat. Dia mengernyit sambil mengusap-usap dagu. Kepalanya lalu mengangguk-angguk pertanda setuju. Akan tetapi bukannya bersedia membuka kuncian borgol, jawaban Lean selanjutnya justru membuat Vio melotot juga menganga.

"Kalau begitu sebaiknya kau di kamar mandi saja."

Vio hendak memprotes, tapi mulutnya langsung dibungkam saat Lean bergerak cepat melepaskan satu lingkaran borgol pada besi sofa. Dia merengkuh Vio dan menyeret gadis itu ke kamar mandi. Sebenarnya Vio sempat meronta dan berteriak, tapi di detik yang sama, Lean mendekatkan wajah mereka—sangat-sangat dekat hingga jantung Vio seakan melompat keluar. Lean akhirnya memborgol tangannya di sela pipa kran dekat jacuzzi. Gadis itu pun mematung setelah didudukkan di atas kloset.

Lean memberikan seringai penuh kemenangan. Saking termangunya, Vio tidak mendengar Lean yang bilang akan kembali saat larut malam. Matanya baru mengerjap sadar saat Lean mencium pipinya sekilas.

Pukul berapa ini? Bagaimana caranya dia bisa keluar sekarang? Kalau pun Amarta atau Samsin memutuskan mencarinya, mereka tidak akan bisa menemukan tempat Lean. Ah, lupakan. Bahkan jika Vio bisa menghubungi salah satu dari mereka, dia pun tidak akan bisa memberi tahu di mana lokasi dirinya berada kini.

Pandangan Vio makin miris melihat ponselnya jelas-jelas ada di dasar Jacuzzi yang penuh air. Lean ternyata tidak main-main dengan ucapannya. Vio pun mengerang lalu menghentak-hentakkan kakinya yang mulai kedinginan—frustasi. Mendesis, dia tidak sengaja melihat ke arah botol sabun dan sampo. Alisnya bertaut. Vio kembali melirik ke pergelangan tangannya.

Patut dicoba, batinnya kemudian.

Tidak mudah mengambilnya. Vio sampai harus masuk ke dalam air di Jacuzzi. Gadis itu mendesis saat kedua tangannya merentang karena salah satunya tertahan borgol. Tiba-tiba saja dasar Jacuzzi yang licin membuatnya terpeleset. Kontan dia tercebur. Refleks karena panik justru menyulitkannya berpijak. Berkali-kali dia tubuhnya terbenam secara penuh. Sebagian air masuk ke hidung. Dia pun memekik. Air bergolak liar.

Di ambang kesadarannya, Vio mendapati diri terbaring di dasar Jacuzzi, melihat ke atas—permukaan air yang bening.

Pintu kamar mandi mendadak dibuka. Laki-laki itu masuk, seketika buru-buru menarik Vio keluar dari bak. Rautnya pucat, basah, dan dingin. Dia kemudian memindahkan gadis itu keluar. Tapi baru saja mulut keduanya akan saling melekat, tubuh Vio berguncang. Dia terbatuk-batuk hebat, memuntahkan air yang menyumbat pernapasannya.

Mata Vio berkedip pelan—lemas. Dia pun bisa melihat wajah Lean yang menghembus lega. Saat laki-laki itu hendak menggendongnya, Vio sempat mendorong Lean supaya menjauh. Kejadian barusan memang bukan salah Lean, tapi Vio makin membencinya. Kesal karena laki-laki itu bergeming, Vio pun memukul-mukul dadanya.

Tidak sepenuhnya sadar karena didera rasa kantuk, Vio tidak tahu jika Lean membawanya ke kamar. Anehnya, laki-laki itu tidak menyalakan lampu. Dan dalam suasana yang gelap itulah, Lean melucuti helai demi helai baju Vio yang basah.

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang