Dua Puluh Tiga: Luruh

688 70 15
                                    

Leo memarahi Jo habis-habisan karena telah memberitahu Vio tempat yang biasa didatangi Scott. Ingin rasanya dia memberikan pukulan membabi buta pada pria itu. Bisa-bisanya dia memberi pancingan supaya Vio masuk ke dalam perangkap.

Malam setelah Vio menemui Jo, gadis itu pulang kembali ke rumahnya. Leo yang merasa was-was merasa tidak punya pilihan selain mengikutinya. Selang sehari terlewat, Leo sempat lega karena tidak ada tanda-tanda gadis itu akan pergi ke rumah bordil yang didatangi Scott. Namun di malam kedua, apa yang dikhawatirkan Leo benar-benar terjadi.

Sadar jika tengah diikuti, Vio mempercepat laju Audi hingga Leo terlambat menyusulnya. Laki-laki itupun mengumpat dalam hati mendapati sosok Vio terlalu cepat menghilang.

Dikelilingi suasana yang redup, sekilas tempat itu tidak ada bedanya dengan lingkungan kumuh pinggiran kota lainnya. Beberapa mobil mewah berdatangan ketika malam hadir. Orang-orangnya masuk ke dalam pintu masuk yang mengarah ke lantai bawah tanah. Penjagaan yang amat ketat. Leo pun sadar jika dirinya tidak akan bisa menerobos masuk.

Berjam-jam Leo lalui dengan penuh kegelisahan. Dia tidak peduli saat penjaga di luar tempat itu melemparkan pandangan curiga padanya. Tengah malam lewat, Leo tidak beranjak dan tetap bersikeras menunggu. Dugaan jika Vio benar ada di dalam sana diperkuat dengan kedatangan Jo dan beberapa kroninya yang lain.

"Sekarang buat apa kau datang ke sini?" Mata Leo menyipit, memandang Jo amat tidak bersahabat.

Alih-alih membalas Leo, Jo hanya diam seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Berdiri di sebelah Leo, dia lantas mengeluarkan rokok beserta pemantik. Asap mengepul dari mulut dan hidungnya. Pelan, dia menggumam, "Gadis keras kepala.."

Leo tahu Jo juga peduli pada Vio. Hanya saja pria itu bukan seseorang yang akan meloncat ke lubang jarum untuk gadis yang tidak punya hubungan apa pun dengannya tersebut. Yang bisa mereka lakukan kini hanyalah menunggu.

Sekitar satu setengah jam kemudian, Leo tidak sengaja menangkap bayangan seseorang yang tidak asing. Jo yang sadar laki-laki itu mendadak berjengit pun mengikuti arah pandangannya. Leo sontak berlari menghampiri seseorang itu. Derap kakinya terdengar jelas meski dari jarak yang jauh. Amat peka dengan kehadiran orang lain yang mendekat, seseorang itu pun menoleh pada Leo dan Jo.

Mata hijaunya menyorot nyalang. Pada pundak kirinya, dia memanggul seseorang yang hanya berbalut coat panjang. Dan sebelum Leo dan Jo berdiri cukup dekat padanya, dia serta merta mengacungkan pistol tanpa ragu.

Leo dan Jo mematung di tempat.

"Kalian tahu," simpul Lean begitu selesai mengartikan segala ekspresi meraka. Suara baritonnya terdengar berat dan dingin. "Tapi tidak menghentikannya?"

Leo dan Jo diam. Mereka tidak bisa menemukan kalimat pembelaan yang tepat membalas Lean. Perhatian Leo kemudian beralih pada Vio yang tampak tidak bergerak. Kini mereka hanya bisa melihat sosok belakangnya, karena tubuh depan gadis itu terkulai di punggung Lean. Satu kakinya telanjang, dengan kaki lain yang masih beralas sandal hak—itu pun dengan posisi yang nyaris copot.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Leo cemas.

Lean menyeringai. "Simpulkan saja sendiri." Laki-laki itu kemudian meninggalkan Leo dan Jo yang tidak bisa berkutik. Mereka tidak akan macam-macam sekarang, karena peran Lean kini jauh melebihi tindakan apa pun yang berguna—apalagi untuk pengecut macam mereka.

***

"Kepalanya terbentur, bisa jadi gegar otak ringan. Satu ruas jari tengah dan jari manisnya patah. Lebam dan cupang di mana-mana. Terakhir, gastritis." Natasha membaca rincian kondisi pasien barunya yang dibawa oleh Lean. Wanita itu melepas kacamatanya lalu menghela napas dalam-dalam. Dia pun memandang Lean lekat sambil menopang dagu. "Apa ini perbuatanmu?"

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang