Sembilan Belas: Cinta dan Luka

642 70 7
                                    

Gabriel Fauré - Siciliene, Solo piano

Kegiatan sekolah telah usai sekitar dua jam yang lalu. Vio tetap tinggal di dalam gedung, tepatnya menguasai ruang teater. Alat-alat musik klub dipajang dan dirawat dengan baik. Gadis itu menghampiri satu-satunya piano di atas panggung lalu memainkannya tanpa jeda. Sejauh ini dia hanya memainkan satu lagu. Apabila selesai, dia hanya harus mengulangnya. Begitu berkali-kali sampai tidak terasa cahaya yang masuk lewat kaca jendela telah berkurang intensitasnya.

Pandangan Vio menerawang kosong. Padahal dirinya akan lebih leluasa bermain di rumah, namun nyatanya dia lebih memilih berdiam di sana. Toh penjaga sekolah tinggal tidak jauh dari gedung. Vio mengenalnya dengan sangat baik, dan sesekali dia memberikan bingkisan berupa makanan kecil-sogokan supaya dia bisa berbuat sesukanya tanpa harus khawatir pintu dikunci.

Sudah berapa lama? Empat hari? Satu minggu? Atau bahkan lebih? Vio tidak begitu mengingat. Dia hanya melanjutkan rutinitasnya yang normal. Berangkat pagi ke sekolah, lalu tetap tinggal di sana kadang sampai larut malam. Vio tidak pergi ke mana-mana selain rumah dan sekolah. Dia sedang menyembunyikan diri.

Hampir semua lagu yang dimainkannya bernada suram. Suaranya pasti akan sayup-sayup terdengar sampai ke arena olahraga-karena di sanalah satu-satunya tempat di mana sebagian anak bertahan sampai petang menjelang. Sejauh ini tidak ada yang mengusik dirinya kala menyendiri seperti itu. Mungkin ada satu atau dua anak yang mengintip, tapi Vio tidak akan memedulikan mereka.

Amarta pergi. Menggunakan alasan yang sepertinya sengaja dibuat-buat, dia berkata jika Vio tidak perlu mengkhawatirkannya. Dia bilang akan menyelesaikan tahun terakhir sekolahnya di sana untuk memutuskan ke mana dia akan melanjutkan pendidikan. Vio yang masih berkutat dalam suasana hati yang pelik, tidak punya kuasa sedikit pun untuk melarang kembar bungsunya itu pergi.

Di tengah denting tuts, Vio berkedip pelan menyadari pintu yang mulanya tertutup kali ini dibuka. Gadis itu memilih tidak menoleh. Jari-jarinya tetap bergerak. Pandangannya masih menerawang kosong ketika akhirnya menangkap sosok laki-laki itu melangkah lewat di seberangnya.

Lukas menarik sebuah kursi, lalu meletakkannya di samping Vio. Kaki kirinya menindih kaki kanan. Dia pun bersedekap. Kebetulan Lukas tidak perlu menunggu lama sampai Vio menyelesaikan Siciliene. Gadis itu menghela napas sekilas lalu beralih menatap Lukas.

"Kau belum pulang?" Vio memberikan seulas senyum sambil membolak-balik buku lagu.

"Kamu sendiri?" Lukas balik bertanya.

"Sebentar lagi. Aku belum puas." Gadis itu tidak lagi menatap Lukas dan lebih tertarik memilih lagu apa lagi yang sebaiknya dia mainkan.

Lukas mengamatinya seksama. Rautnya mungkin tidak berubah dari Vio yang biasa dirinya lihat. Tapi ada sesuatu yang kali ini berbeda. Ada rasa keengganan dan ketidaknyamanan, mungkin karena Lukas ada di sana. Vio pun pasti menyadari jika pandangan laki-laki itu tidak kunjung lepas darinya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Vio akhirnya, menyadari jika Lukas tidak akan bergerak sebelum dipancing lebih dulu.

"Kamu benar nggak tahu atau pura-pura nggak tahu?" Keduanya saling bertukar pandang lagi. "Aku selalu ke sini tiap sore, dan kamu selalu main piano di sini."

"Oh ya? Senang juga ada yang mendengarkannya. Kau suka?"

Alih-alih menanggapi, Lukas justru menghela napas panjang.

"Apa kamu ada masalah?" Akhirnya terlontar juga pertanyaan itu. Pertanyaan yang sebenarnya Vio tunggu, tapi di sisi lain juga dia hindari. Sampai sekarang Vio tidak bisa menemukan kata-kata apa yang tepat untuk menjawab. Situasinya saat ini tidak memungkinkan Vio untuk berbagi-terlebih pada seseorang di luar "lingkaran" seperti Lukas.

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang