Tiga Belas: Raum

650 76 3
                                    

Hak sepatunya mengetuk pelan sesampainya dia di gapura taman bermain sekaligus pertokoan. Bagian atasnya penuh balon dan hiasan bunga palsu. Orang-orang berlalu lalang bergandengan. Vio tidak menyangka hari Minggu akan sebegini menyenangkan meski keramaian biasanya membuat gadis itu keseringan memilih menghindar. Saat melewati kaca pajangan toko pakaian, Vio berhenti untuk mematut diri.

Sewaktu di rumah tadi dia membuat sepasang kepangan pada rambutnya di sisi kanan dan kiri. Hanya sebagian dari rambut cokelat nilonnya, kemudian diikat di belakang kepala. Sementara untuk baju, Vio memilih setelan blus bergaris cokelat-putih yang mengembang di bagian lengan dan rok selutut. Kamarnya sudah jadi kapal pecah, dan entah kenapa dia jadi malu sendiri.

Di mana kau?

Vio membuka ponselnya, membaca chat dari Viktor. Sembari tersenyum gadis itu mengetik balasan. Belum ada semenit setelah gadis itu menekan tombol kirim, sesosok bayangan berhenti tepat di hadapannya. Vio mendongak lalu tersenyum mengembang.

Viktor menghela napas panjang ketika memasukkan ponselnya ke saku celana.

“Jadi kenapa kau memaksa ke sini?” tanya Viktor saat mereka berjalan beriringan melewati stan-stan jajanan. Dia agak mengerjap ketika Vio sengaja menyelipkan tangan kanannya ke tangan kiri Viktor. Laki-laki itu sempat melirik Vio, mendapatinya tersenyum sambil melihat ke sekitar.

“Kita punya waktu seharian. Jadi tidak apa-apa kan?” ujar Vio. “Bengkel juga belum buka.”

Baiklah, Viktor merasa sedikit menyesal telah mendengarkan permintaan gadis itu kemarin lusa. Sampai sekarang Vio juga tidak memberitahunya alasan kenapa dia jadi seperti kucing ketakutan dengan memaksa Viktor menemuinya. Viktor bergerak sesuai naluri. Siapa pun akan mencoba menenangkan gadis itu—hanya saja mungkin tidak dengan menciumnya.

“Bagaimana kalau kita beli syal?” Vio harus sedikit mendongak untuk memandang Viktor. Ketika laki-laki itu menggumam, Vio langsung menunjuk toko pakaian yang salah satu sudutnya memajang manekin yang mengenakan syal.

“Aku tidak memerlukannya,” balas Viktor hambar. Dia juga bukan tipe orang yang akan melilitkan syal di leher hanya karena kedinginan. Apalagi meski dengan cuaca sedingin ini, apa pun yang dilakukan Viktor pasti membuatnya berkeringat.

Viktor sempat mendapati reaksi kaku gadis itu. Kelopak matanya sedikit berkedut—sepertinya agak kecewa tapi kemudian dengan cepat mengubah rona wajahnya lagi.

Mereka tidak sengaja menemukan stan yang memajang dua mobil antik yang masih mengilap. Viktor berhenti di salah satu sisinya. Laki-laki itu tidak berkomentar banyak tapi Vio bisa menangkap gairah di matanya. Karenanya untuk mendapatkan perhatian Viktor, Vio sengaja berbincang lama dengan salah satu penjaga pameran. Gadis itu sengaja berbohong apabila dia sangat menyukai mobil antik. Petugas jaga yang mengobrol dengannya sempat meminta nomor Vio tapi mendadak saja Viktor menariknya pergi.

“Kenapa? Dia bilang mau kasih jadwal pameran lain yang lebih banyak mobilnya.” Alis Vio bertaut saat Viktor masih menarik lengannya. Setelah mereka berdua berada cukup jauh dari tempat tadi, Viktor pun melepasnya.

“Aku tidak yakin dia cuma mau memberimu jadwal,” gumam laki-laki itu.

Tersenyum, Vio kembali menggandeng lengan Viktor. “Itu bukan apa-apa. Aku sering mendapatkan yang seperti itu.”

“Meski mereka menerormu siang dan malam?”

“Hanya beberapa orang yang bertambah untuk membuat hidupku bermakna. Sama halnya saat aku mengenal Jo. Aku tidak sedang mencoba peruntungan buruk. Ini semata demi menekan arogansiku juga mengambil apa yang bisa kumanfaatkan.”

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang