Sembilan: Penguntit

618 75 8
                                    

Ketegangan yang menguasai tubuh Vio seketika enyah begitu dokter selesai mengucapkan kalimat "baik-baik saja". Jo, Leo, dan beberapa orang lainnya berkumpul di depan ruang rawat. Lean menghubungi Jo seperti katanya sehingga preman-preman itu langsung meluncur ke tempat Vio dan Viktor berada.

Leo menahan lengan gadis itu supaya tidak jatuh-karena tubuhnya juga lemas dan terluka di beberapa bagian. Perawat yang melihatnya lalu menyarankannya untuk juga mendapatkan perawatan.

"Kalian kembalilah," ujar Vio sebelum masuk ke ruangan yang sama dengan Viktor. "Pasien di sini akan takut melihat kalian."

Jo menekan bibir. "Baru saja aku mau bilang begitu," katanya. "Di sini kan dilarang merokok."

"Yah.. pokoknya terimakasih," ucap Vio tersenyum bergantian pada mereka. "Lain kali jangan kecolongan lagi. Adikku akan sangat menyebalkan kalau sampai melihat wajahku. Dia mungkin akan menangis kencang. Aku harus mencari alasan sampai bekas ini hilang."

"Kau menginap di sini?" Leo mengernyit.

Vio mengangguk. "Aku akan menemaninya sampai bangun nanti."

Para laki-laki itu saling berpandangan. Selain Jo dan Leo, memang hanya ada beberapa yang tahu identitas asli Vio. Tapi hanya Jo yang tahu alasan dari rasa bersalah Vio kini. Gadis itu berekspresi keruh karena gelisah dan cemas. Lebih lagi, Jo tidak habis pikir kenapa Vio seolah tidak bisa lepas dari sosok Viktor. Berani bertaruh, Viktor masih belum tahu Vio dan sang gadis pengendara Agusta adalah orang yang sama.

"Kau yakin?" tanya Jo. "Kalau kau jadi orang pertama yang dia lihat waktu sadar nanti, dia akan tahu wajahmu."

Vio tidak lupa. Dia memang sempat gelisah gara-gara memikirkan itu.

"Ini bukan pertama kalinya aku terlibat masalah dengan dia." Gadis itu mendesah keras. Senyumnya mengulas lagi. "Aku telah melangkah jauh dan tak bisa mundur kali ini. Biar dia tahu."

"Terserah kau." Jo mengedikkan bahu dengan kedua tangan yang masuk ke saku celana. "Ah, sebaiknya kau juga mengganti baju itu."

Mereka hendak akan pergi tapi Vio tiba-tiba menahan. Setelah beberapa saat hampir terlupa berkat keadaan Viktor yang membuat emosinya naik turun, dia teringat pada Lean. Laki-laki dengan iris hijau yang indah. Meski Lean telah menolongnya, tetap saja Vio tidak langsung memberinya cap kawan.

"Dia baru mendaftar malam ini. Jadi yang tadi itu adalah kehadiran pertamanya," jawab Jo. "Mungkin itu nama palsu-entahlah. Aku tidak tahu kalau soal lain."

Vio terpaksa harus puas dengan jawaban Jo. Saat mereka semua akhirnya pergi, Vio mengambil tas yang dia taruh dekat ranjang Viktor lalu mengganti pakaiannya dengan setelan dalam tas tersebut. Sesekali melirik pada Viktor yang masih terbaring pulas, salah seorang perawat mengobati luka di lengan dan wajahnya. Vio pun memutar kembali ingatannya akan sosok Lean bersamaan dengan rasa perih di kulitnya.

***
Icon Sheene berhenti pada lobi sebuah gedung yang tampak usang dari luar. Temboknya hanya berlapis semen, dengan beberapa jendela pada masing-masing sisi. Lean masuk ke sana melewati ruang-ruang gelap yang dibiarkan tanpa lampu. Pasir berserakan di lantai. Perabot-perabot rusak teronggok penuh debu.

Lean menarik sebuah tuas tersembunyi di salah satu sudut setelah meraba-raba dinding. Secara otomatis, sekat di depannya terbuka. Lean menekan saklar lampu dan ruangan yang kali ini dia datangi terang benderang. Terdapat sebuah ruang yang lebih dari layak disebut rumah. Lantainya berlapis karpet bulu meski tidak seluruhnya. Terdapat sebuah sofa besar putih yang nyaman menghadap TV flat, lengkap dengan atribut yang lain. Sekat kaca lipat menjadi pemisah bagi tempat utama dan ranjang tidur. Selain itu terdapat dapur dan kamar mandi di lantai yang sama.

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang