Dua: Gadis dalam Topeng

880 104 7
                                    


Dulu, acara tersebut diadakan rutin dua minggu sekali dengan hari dan jam yang jelas. Tapi sekarang begitu peraturan diperketat, dan mereka pun tidak ingin berurusan dengan polisi, jadwalnya menjadi tidak pasti. Jika tidak ingin terlewat, mereka harus masuk ke dalam “lingkaran”. Sebuah area pun akan disiapkan—tentunya dengan uang yang tidak sedikit.

Kali ini pesta malam mereka diadakan tanggal 25 Maret pukul sebelas malam. Tempatnya—tentu saja di pinggiran—berada di kompleks area yang agak terbengkalai dengan banyak bangunan-bangunan yang ditinggalkan. Mulanya tempat itu berfungsi sebagai kompleks pabrik, namun dua tahun belakangan ditinggalkan karena dinilai tidak lagi menguntungkan.

Jo—pria penanggung jawab tengah menghitung setumpuk uang di mejanya dan dia sendiri duduk di atas meja itu. Uang itu dikumpulkan setelah nama orang-orang yang akan berpacu diumumkan. Jumlahnya ada lima orang—tiga laki-laki dan dua perempuan. Masih kurang satu lagi, yakni anggota termuda, seorang gadis. Masih kurang dari lima belas menit sebelum pistol mainan Jo dicetuskan.

“Hei, ke mana dia?” tanya Greg, salah satu dari pebalap liar yang sering memasukkan namanya dalam daftar emas.

“Dia akan datang. Tunggu saja.” Jo acuh tak acuh sambil menghisap rokok.

Peserta lain yang kali ini seorang wanita berumur hampir tiga puluhan, mengambil sebuah helm dari dalam jok. Lekuk tubuhnya terlihat jelas berkat kaus v-neck merah yang ketat—hanya sampai lima senti di bawah payudara. Untuk bawahan, dia mengenakan celana strit yang ketat mengilap, kemudian pada ujung kakinya ditelan sepasang boots berwarna sama. Cuek menunggu, dia mengeluarkan sebuah cermin dan lipstik merah darah lalu memulas bibirnya.

Sekeliling mereka telah ramai kali itu. Musik disetel keras, mengundang jogetan penonton yang kurang lebih berpenampilan sama gilanya. Ketika perlahan terdengar deru kendaraan mendekat, pentolan-pentolan kelompok itu menoleh. Audi putih melaju kencang. Kemudian saat di belokan, debu-debu beterbangan gara-gara drift yang terburu-buru, tapi tetap terkesan licin dan berhati-hati. Hanya dalam hitungan, bunyi remnya menjerit. Mobil itu pun berhenti tepat satu meter dari kerumunan.

“Apa yang dia pikirkan? Balap memakai ‘anak baik-baik’?” gumam Roel—dibaca Rul—yang menyilangkan tangan dan bersandar pada motor sport hitam yang penuh guratan-guratan loreng harimau.

Mereka tidak berpacu menggunakan mobil, melainkan motor. Lagipula audi putih yang dibawa gadis itu sangatlah “bersih”. Tidak ada tanda-tanda pernah disentuh untuk sekedar diberi tampilan yang wah, apalagi dimodifikasi.

Tidak lama kemudian pintu kemudi dibuka. Sepasang boots hitam menjulur keluar. Peserta terakhir mereka telah datang. Saat dia berdiri menyibakkan rambutnya yang diikat tinggi ke atas kepala, Greg mengangkat dagu.  Gadis itu juga memakai kaus ketat yang memperlihatkan perutnya yang rata. Jaketnya hitam mengilap, ditambah asesoris mirip peniti yang tersemat di seluruh pinggiran kerah. Lekuk tubuhnya indah: langsing tanpa melewatkan bagian yang memang seharusnya menonjol. Yang paling mencolok adalah wajahnya. Mata kiri gadis itu tertempel topeng hitam sampai ke tulang pipi sampai ke telinga. Sisanya pulasan make up yang dia gunakan menekankan detil pada kilauan di bawah mata kanan, eyeshadow gelap, dan bibir merah burgundy.

Gadis itu menghampiri tempat Jo dan peserta lain yang menunggunya sambil menggendong helm hitam. Dia berhenti tepat di sebelah Jo yang langsung membuang rokoknya sembarang.

“Di mana motormu? Masih di bagasi?” sindir Zia—wanita yang berpakaian serba merah, masih memulas lipstik.

Saat bersamaan, seorang laki-laki berlari ke arah mereka. Ketika cukup dekat, dia melemparkan sesuatu yang bergemerincing—kunci. Si Gadis mengangkat tangannya tanpa menoleh dan langsung mendapatkan kunci itu. Greg dan Roel mengerutkan kening. Saat mereka menoleh, sebuah motor sport dituntun menjejer keempat motor yang lain.

Amarella [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang