7.

1.3K 66 1
                                    

"Apa maksudmu?" Tanya Olivia.
"Itu darah murni orangtuamu,"

"Bagaimana bisa?" Cetus Livia. Ia mengeluarkan cincin itu dari tasnya dan melihatnya dengan jeli. Sangat teliti.

Jade hanya diam. Melihat wajah serius milik Olivia. Sebenarnya ia ingin tertawa, namun suasana terlihat serius.

"Oh, kau benar. Sedikit gumpalan darah yang membeku di sini." Ucap Livia.

Sebagai salah satu murid terbaik lulusan science di sekolah menengah atas, Livia tentu saja tahu mengenai darah. Pada awalnya juga ia takut akan darah.

"Kau tidak berbohong. Tapi bagaimana bisa ini darah orangtuaku?" Sambung Livia.

"Aku akan menceritakan sebagian. Sebab kufikir, kau memanglah Livia, aku bisa melihat tatapan matamu seperti dulu. Kau masih sama, kuharap. Tapi aku tak dapat menceritakan semuanya." Balas Jade sembari menatap Livia.

"Ceritakan sajalah," sahut Livia.
"Darah orangtuamu, mereka menyimpannya disitu sebelum nyawa mereka direngut," jawabnya sembari melipatkan tangannya.
"Nyawa mereka direngut pada saat peperangan besar terjadi," sambungnya.
"Perang ke-2. Perang yang membuat bangsa Vampire menjadi retak dan terpecah belah. Entah bagaimana bisa untuk menyatukannya kembali." Jade kini mulai mengingat-ingat kejadian yang sudah lampau, yang sebenarnya ingin ia lupakan.

"Peperangan pertama adalah sebuah kecaman dari bangsa Penyihir. Sedangkan peperangan kedua merupakan pembalasan mereka karena ketamakkan King Hudson, Raja ke empat setelah Ayahmu." Ucap Jade.

Livia mendengarkan dengan serius. Berusaha mencerna setiap perkataan Jade satu-persatu. Sesekali ia menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin itu.

"Ketamakkan?" Tanya Livia yang memutuskan dongeng tak terselesaikan oleh Jade.

"Ya. Raja Hudson orang yang tamak. Setelah ia diberi gelar sebagai 'Raja', ia mulai serakah dan mengambil uang rakyat. Kami lebih suka ketika Ayahmu yang memimpin." Jawab Jade.

"Raja Hudson mengambil jimat zamrud dan harta emas milik Bangsa Penyihir dengan tipu daya serta kelicikkannya." Sambung Jade.

"Lalu.. Dimana Raja Hudson sekarang? Apa dia mengenalku?" Tanya Livia.

"Dia mengenalmu. Semua orang--Bangsa Vampire mengenalmu, Liv. Karena kau pengganti, penerus yang memang sudah dipilih sejak awal." Jade terhenti sesaat. Melihat sekeliling dan melanjutkan perkataannya.

"Kau dewi fortuna yang akan menyelamatkan Bangsa Vampire. Kau sudah diramalkan." Tukasnya.

"Lalu, dimana jimat Zamrud yang dirampas oleh Tuan Hudson?" Tanya Livia.

"Itu ada padamu." Jawab Jade singkat.

Ia lalu berdiri dan melambaikan tangannya pada pelayan. Kemudian membayar serta memberi tip. "Hari ini, aku yang traktir. Maaf, tapi aku harus pergi," kata Jade memutuskan pembicaraannya sebentar sambil melihat sekeliling kemudian berbisik pelan. "Ada yang mengawasi kita!" Sambung Jade.

Jade meninggalkan Livia, merapikan kursinya dan pergi. Dia mengisyaratkan Olivia untuk pergi juga. Sebenarnya ada apa?

"Hei!" Sapa seorang dari arah belakang. "Kau, Olivia Carolline, kan?" Tanya pria itu. Dia Zoey, di kelas yang sama seperti Livia, kelas psikologi.

"Ah, iya. Ada apa?" Tanya Livia bingung. "Kau kerja di sini?" Tanya Livia sembari melihat seragam serta tanda pengenalnya. Mengamatinya dari rambut ke mata kaki.

"Um, kerja paruh waktu. Hanya sementara kok, untuk bayar uang sekolah" jawab Zoey sambil tertawa lirih.

Pria ini benar pria yang ideal, fikirku. Benar-benar berbeda, zaman sekarang pria yang berusaha itu sedikit, lebih banyak wanita! Wajahnya juga rupawan, mungkin saja ia akan jadi most wanted juga di sekolah.

Zoey melambaikan tangannya tepat di wajah Livia naik-turun. Dia menatapnya heran. "Kau melamun, ya?" Suatu perkataan singkat yang menyadarkan Livia dari fikirannya.

"Ah, iya, maaf. Ada apa?" Tanya Olivia acak saat lamunannya buyar. "Kau berpacaran dengan Jade?" Tanya Zoey.

"Iy- ah tunggu, apa?" Livia mematung. Dia tidak bisa menerima perkataan itu begitu saja. Ia langsung mengubah pandangannya menjadi introvert. Menatap sinis kepada Zoey.

"Baiklah, baiklah. Berarti, aku masih punya kesempatann bukan?" Zoey tertawa. Tapi sudut matanya terlihat serius. Livia tidak terpengaruh dengan hal itu. Tapi mungkin agak sedikit luluh.

"Lalu," ucap Zoey. "Mengapa kau bersama Jade tadi?"
"Tak apa. Kami hanya, um, berbincang." Jawab Olivia kaku.
"Oh, begitu." Ujar Zoey singkat.
"Iya. Kalau begitu, aku pulang dulu, aku belum menyelesaikan tugas dari Mr. Janchkin." Livia beralasan agar dapat cepat pergi dari tempat itu.

Ia segera merapikan tasnya dan merangkul tasnya itu di bahunya. Kini ia pergi meninggalkan Zoey yang terdiam menatap Olivia dari jauh. Tanpa Livia lihat, Zoey menyimpan suatu rahasia.

***

"Liv!" Seru Claire.
"Aku mau curhat." Sambungnya.
Livia menoleh, ia menatap Claire lalu membalikkan badannya. Kini ia duduk bersila dan berhadapan dengan Claire.

"Sepertinya aku mulai suka seseorang," cetus Claire. "Duh!"
"Hah?" Livia kaget tak percaya. Ini bahkan belum satu bulan untuk kuliah di Antic, tetapi Claire sudah mulai jatuh dalam asmara seseorang. Benar - benar gadis yang lugu nan polos.

"Jadi, siapa pria beruntung yang mendapatkan hatimu itu, Claire Adelaine?" Tanya Livia yang memanjangkan kosakata nya. "Um, dia adalah," putus Claire. "Aku fikir kau akan mengetahuinya nanti." Final Claire. Ia mengusap wajahnya yang terlihat malu dan merah merona.

Jatuh cinta benar - benar menyulitkan! Batin Olivia. Bagi Olivia, cinta hanyalah semacam beban tambahan dalam hidup. Menurutnya, Ia bahkan belum pernah merasakan cinta. Cinta pertama saja ia belum punya, bahkan ia tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Tapi dia tak peduli. Dia hanya ingin membahagiakan kedua orangtuanya dengan menuntut ilmu setinggi mungkin. Teladan.

Bagi Livia tersendiri, Ia memerlukan nilai A+ dari Mr. Janchkin di nilai akhirnya nanti. Ia tidak ingin jika Aunty Emma kecewa karena nilainya yang rendah. Sebab Aunty Emma adalah orang yang ingin segala sesuatunya sempurna. Sangat sempurna.

"Claire," sapa Livia.
"Aku lapar," sambungnya.
"Seandainya kau dapat mendengarkan 1-direction yang sedang konser di perutku ini, Liv." Ujar Claire memelas.

Mereka menahan lapar yang amat sangat mengganggu daripada jerawat. Tapi tak lama setelah itu, disusul dengan kehadiran David yang masuk membawa beberapa dessert untuk Livia. Tapi Claire yang menghabiskan semuanya itu. Betapa sedihnya Livia hanya mendapat satu.

"Livia," panggil David. "Kau masih belum mengingat apapun?" Sambung David.
"Aku tak ingin menyangkutkan hal itu." Jelas Livia. "Tapi jika kau ingin mengingatnya, kau bisa datang padaku. Aku bisa bercerita padamu tentang masa lampau itu," Tukas David.

"Benarkah?" Tanya Livia.
David mengangguk. Claire yang tidak merasa terganggu dengan David masih saja melanjutkan makannya. Mungkin saja, 1D sudah selesai konser di sana.

"David, aku ingin tahu banyak." Final Olivia.
David mengangguk. Ia menutup matanya sesaat, lalu tanpa disadari oleh Livia, pupil matanya berubah menjadi merah.

***

Hola!
Maaf lama update!
Happy reading and so much thanks for reading these! Jangan lupa vote dan comment ya xoxo.
Byebye!

You're BloodWhere stories live. Discover now