12

2.3K 72 22
                                    

"Um, ya. Kau tidak perlu membungkuk seperti itu," Livia berusaha membaur. Rumah ini cukup kecil, hanya seperti bukit yang dihiasi pintu dan jendela tetapi cukup lebar untuk beberapa orang.

Di dalamnya terdapat banyak buku serta cairan aneh yang Livia tidak tahu. Sejenak ia kagum tapi ia berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu melamun.

"Jadi, kau sudah tumbuh dewasa, ya?" Tanya peramal itu lalu pergi duduk di kursi. "Kurasa begitu," Livia menjawab.

"Duduklah," kata sang peramal lalu mereka semua pun duduk sesuai perintah.

"Dan siapa laki-laki ini?" Peramal itu mengalihkan pandangannya terhadap Zoey. Mengamatinya dari mata sampai ujung kaki.

"Aku Zoey," dia menjawab. "Aku teman Livia," sambungnya.

Peramal itu mengangguk, "lalu, mengapa kau kemari, Zoey?"

"Aku hanya ingin menemani Livia, apa itu dilarang?" Jawab Zoey ragu.

"Tidak bisakah kau menunggu di luar saja?" Lanjut si peramal.

"Tolong biarkan aku menunggu di dalam."

"Baiklah, jika itu maumu," jawab si peramal. Zoey mengangguk.

Peramal itu mengalihkan pandangannya lagi. Kali ini kepada Livia. "Jadi, Liv-- atau bagaimana aku menyebutmu? Putri?"

"Livia saja." Sahut Livia sembari mengulum senyumnya.

"Baiklah, Liv, aku tahu kedatanganmu kemari," ucap Sang Peramal, "dan aku tidak ingin menyebutnya sekarang."

"Maksudmu?" Livia memiringkan kepalanya. Ia tidak paham apa yang dikatakan oleh peramal itu.

"Aku dulu dekat denganmu," lanjut sang peramal, "Aku dulunya peramal kerajaan."

Livia mengangguk mengerti. Ia berusaha mengingat sekalipun ia tidak bisa.

"Biarkan aku bercerita sedikit," kata sang peramal, "saat perang itu terjadi, aku berada di bawah tanah, tepatnya di ruanganku. Saat itu aku sedang membuat kalung yang sedang kau gunakan di lehermu itu."

Peramal itu diam sebentar. Seketika semua orang yang ada di ruangan itu menoleh pada kalung yang menggantung di leher Livia.

"Kalung itu kubuat atas perintah Sang Raja. Ia sudah memberikan darahnya dan darah Sang Ratu kepadaku untuk kujadikan jimat pelindung untukmu," sang Peramal berdeham pelan, "saat kubuat kalungmu itu, kastil tiba-tiba saja bergetar. Barang-barang berjatuhan. Tapi aku dengan sigap langsung mengambil kalungmu dan pergi dari istana."

"Lalu? Mengapa kalung ini ada padaku sekarang?" Tanya Livia.

Suasana hening, semua mendengarkan dengan seksama. Tak ada yang berbicara, fokus pada Sang Peramal.

"Aku yang memberikannya padamu," kata Sang Peramal, "aku datang ke tempat bibi palsumu itu."

Sang Peramal kembali melanjutkan ceritanya, "mungkin kau tidak ingat, tapi saat kau sedang bermain di halaman belakang kau pernah bertemu denganku. Saat itu kau masih sekitar umur 8 tahun. Dan ini yang menjadi masalahnya," Sang Peramal berhenti sebentar. Menatap Zoey sesaat.

"Kau dimanipulasi. Kau telah dilahirkan kembali sehingga menjadi lebih muda. Seharusnya kau sudah berumur 258 tahun sekarang."

Livia terkejut. Bagaimana mungkin ia bisa berumur setua itu dengan wajahnya yang tanpa keriput sekarang ini. Kalau dipikir lagi, umurnya dalam bentuk manusia adalah 18 tahun.

"Berkat kalung itu," Sang Peramal menunjuk liontin yang dikenakan Livia, "kita bisa bertemu sekarang."

Sang Peramal tertawa.

Kemudian hening. Tidak ada yang berbicara. Tanpa sadar, Zoey maju ke depan lalu mengucapkan beberapa mantra.

Sekejap, liontin milik Livia sudah berada di tangan Zoey.

"Aku sudah menduga hal ini," si Peramal berbisik.

Zoey tertawa layaknya tawa kemenangan, "bodoh," ejeknya, "Kalau kau mengetahui hal ini akan terjadi, kenapa kau tidak menghentikannya Peramal tua keriput?"

Jade lalu mengambil langkah tetapi Sang Peramal melarangnya, "tunggu." Gumamnya.

Zoey beralih pandangan kepada Livia yang berdiri mati kutu sedari tadi. "Kau pikir aku menemanimu sejauh ini untuk melindungimu? Payah!" Ejek Zoey lagi.

"Kau bukan Zoey," ujar Livia pelan, masih terkejut atas tindakan Zoey yang mendadak berubah.

"Benar," katanya, "aku bukan Zoey tapi Penyihir kelas II. Aku anak Sang Penyihir Emma, Ratu Penyihir kedua dari Bangsa kami."

Sedari tadi Jade sudah tidak tahan ingin menumbuk wajah milik Zoey, tetapi ia masih mendengarkan perkataan Peramal itu.

"Perkenalkan," Zoey menunduk layaknya ksatria kerajaan, "Aku Zack."

"Kalian sudah tahu, bukan? Masa depan Bangsa Vampire ada di dalam kalung ini? Darah terakhir dari Raja dan Ratu ke III."

"Maksudmu?" Tanya Livia polos.

"Maksudku, kalau kau tidak meminum darah ini, tentu saja kau tidak akan menjadi Pemimpin Bangsamu."

"Aku masih tidak mengerti." Livia memiringkan kepalanya.

"Kalau saja aku memecahkan kalung ini. Tidak ada keabadian siang hari untuk bangsa Vampire. Kami bisa dengan mudah membunuh kalian di malam hari." Zack tertawa lepas.

Disusul dengan kedatangan Emma-- Bibi Livia dengan tampang lain.

Ia terlihat lebih muda.

"Halo semua?" Sapanya.

Diam, suasana hening.

"Bagaimana kau bisa kemari?" Tanya David yang sedari tadi berusaha mengontrol emosinya.

"Gadis kecil ini yang mengantarkanku." Aunty Emma menunjuk Clara yang sudah berdiri di belakangnya sejak tadi.

"Zoey?" Tanya Clara yang terkejut melihat mata Zoey yang berubah menjadi hijau rumput.

"Hai, Gadis manis." Goda Zoey, "aku Zack."

"Bagaimana mungkin?" Clara melanjutkan.

"Akan kujelaskan nanti." Balas Livia tanpa pikir panjang.

"Jadi, semua sudah ada di sini?" Penyihir itu--Emma memperhatikan satu-persatu orang yang ada di tempat itu. "Mari mulai permainannya." Lanjutnya.

©All Rights Reserved 2017 Grabellia Aprilia

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 20, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

You're BloodWhere stories live. Discover now