9

1.2K 63 1
                                    

Bagaimana bisa seorang Olivia Carolline menyimpan Liontin berdarah agung seperti itu? Oh tidak. Dia memang benar Putri Kerajaan Vampire.

"Sudah kukatakan kepadamu!" Ucap David riang. Jade masih diam. Sejujurnya Ia tidak terlalu percaya tetapi Liontin itu adalah bukti nyata bahwa Sang Putri masih hidup.

"Liv," Kata Jade. "Selamat datang kembali." Ucap Jade sambil memeluk Livia. Jujur saja, wajah Livia memerah sekarang.

Mereka bahagia. Tetapi tidak dengan Livia. Ia harus menerima kenyataan lain bahwa Ia adalah seorang Vampire. Tapi bagaimana bisa, ia tidak haus darah ataupun terbakar karena cahaya matahari? Tanyanya dalam hati.

"Livia, Setelah musim panas tiba, kita akan pergi ke Petuah Aurie." Ucapnya sembari menatap Liontin Livia yang berada di tangannya.

"Aurie? Siapa dia?" Livia menggaruk kepalanya. "Petuah Aurie, kau bisa memanggilnya Nyonya Aurie. Dia adalah orang yang meramalkanmu bahwa kau akan menyelamatkan Bangsa Vampire." Ucap David menyambungkan.

"Dia-"
Sebelum David melanjutkan pembicaraannya, Livia memotong. "Tunggu! Kita bahas nanti saja," ucap Livia. "Aku mengantuk,"

***

Berminggu - minggu Livia belajar dengan giat di universitas, tetapi selalu saja ada beban yang membebani fikirannya sehingga ia seringkali tidak fokus. Sejak malam itu, rasanya Jade dan David mulai sukar ditemui. Padahal, Livia masih ingin tahu lebih banyak.

Claire yang saat itu sempat melihat mata merah milik David juga terlihat melupakannya. Jade mengeluarkan mantra penghilang ingatan sesaat. Seperti menghilangkan riwayat pencarian internet.

Walau membingungkan, Livia mulai percaya satu persatu kebohongan hidupnya.
Kalau Livia sudah hidup dua ratus tahun yang lalu, tapi Kenapa Livia tidak menjadi tua? Batinnya bertanya-tanya.

Kalau Livia sudah ada sejak dua ratus tahun yang lalu, kenapa Ia tidak mengingatnya?

Apakah benar kalau Aunty Emma adalah seorang Vampire juga?

Livia menghilangkan imajinasi buruk itu dari fikirannya. Bagaimanapun juga, dia menyayangi Aunty Emma, begitu pula sebaliknya. Ia tidak mungkin menuduh satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Beberapa minggu ini juga membuat perubahan pada diri Claire. Ia jadi rajin berdadan, mengatur rambut serta menyamakan bajunya dan semacamnya. Seperti orang yang jatuh cinta. Terlalu dewasa.

Pagi ini, Claire dan Livia berjalan dari asrama menuju ke universitas. Seperti biasa, karena jarak yang dekat mereka berjalan kaki. Mereka melewati gerbang universitas berdesakkan dengan siswa lain. Tapi Livia tidak melihat tanda-tanda kehadiran Jade maupun David. Tadi pagi--di asrama juga tidak.

"Claire, Livia!" Sapa seseorang dari arah belakang.
Claire dan Livia berbalik, disitu mereka dapat melihat Zoey yang melambaikan tangannya dan berlari ke arah mereka.

Awalnya memang Livia terlihat mulai terpana dalam asmara dengan Zoey dan Livia merasa bahwa Zoey juga menyukainya.

Tapi setiap ia bersama Claire, Livia merasa bahwa Zoey memanglah orang yang disukai sahabatnya itu.

Livia belajar untuk tidak menyukai Zoey. Ia berusaha untuk tidak terlalu dekat pada Zoey, Most wanted di kelas psikologinya itu.

"Hai," Claire menyapa balik. Zoey tersenyum, ia terlihat manis dengan lesung pipit dan rambutnya yang acak-acakan itu. Livia tahu kalau perasaan itu kembali muncul setelah pudar begitu lama.

"Kalian mau ke kelas psikologi kan? Boleh kalau aku bergabung?" Tanya Zoey. Ia menggaruk kepalanya yang terlihat tidak gatal.

"Hm," Claire menoleh ke arah Livia. "Apa?" Livia menatap tak mengerti. "Baiklah kau boleh ikut!" Katanya, Claire memutuskan.

Walaupun merasa berat dengan keputusan Claire karena akan membuat suasana menjadi canggung, Livia tetap bersikap biasa saja. Sebenarnya ia cukup salah tingkah dengan kehadiran Zoey. Tapi apa boleh buat?

Mereka berjalan menyusuri taman, menuju ke arah universitas. Suasana  masih canggung. Livia hanya diam dan melihat pemandangan sekitar, ia tidak fokus. Lain halnya dengan Claire, ia terlihat gembira sekaligus malu. Ekspresinya dapat ditebak. Sedangkan Zoey, dia biasa saja.

"Liv," panggil Zoey. Livia menoleh, berusaha untuk melihat ke arah Zoey. "Liontinmu," sebutnya. "..bagus." puji Zoey. Membuat Claire membara dalam kecemburuan.

"Iya, terimakasih." Jawab Livia singkat. Memang aneh kalau dikatakan Livia memakai semacam jimat atau perhiasan. Karena Livia tidak suka dengan benda mencolok seperti itu. Tetapi karena Liontin ini hal penting dan peninggalan terperinci orangtua kandungnya, makanya ia menjaganya. Sejak kejadian malam itu, ia mulai memakai liontin merah itu di lehernya.

Zoey tersenyum. " Zoey, kau ada acara sehabis ini?" Claire mencuri pandang. Sepertinya ia tidak ingin kalah dengan Livia. Claire terus saja memelintir rambutnya itu. Sedangkan Livia, ia tidak memperdulikan pakaiannya yang tak beraturan itu.

"Tidak ada," jawabnya. "Kenapa?" Zoey melanjutkan. "Um, aku sebenarnya ingin ke caffe nanti siang," ujar Claire terbata-bata dengan perkataannya. "Bisa kau temani aku?" Lanjut Claire.

Zoey terdiam. Ia memikirkan agendanya hari ini. "Baiklah," ucapnya. Claire turut senang. "Asalkan Livia ikut bergabung." Sambungnya.

Lagi dan lagi, Claire terbakar dalam api cemburu. Claire benar-benar tidak bisa mendapat waktu luang bersama Zoey. Kali ini Claire masih bisa sabar.

"Kenapa?" Kata Claire yang tidak merelakan kalau Olivia harus ikut. "Karena tidak seru kalau cuma 2 orang! Jadi, bagus kalau ramai." Katanya sambil melihat Livia. Claire mengiyakan.

Livia sebenarnya tidak ingin mengganggu Claire. Ia sudah tahu kalau sahabatnya itu menyukai Zoey. Tapi Zoey memaksanya, dan Livia tidak dapat memberi alasan apapun lagi. Karena alasan apapun itu, dapat ditangkis kembali oleh Zoey. Sungguh cerdas!

"Pesan apa, nih?" Zoey membuka suara. Keheningan yang sudah terjadi selama sepuluh menit itu di lanjutkan oleh Livia. "Aku coffe biasa," ucap Livia.

"Um, okay. Kalau, Claire?" Zoey menyambung pertanyaannya. Claire menghentikan pandangan membosankannya dari jendela dan menoleh ke arah Zoey. "Aku? Hgnh, aku pesan yang sama sepertimu sajalah!" Ujarnya asal. Zoey mengangguk lalu memanggil pelayan lalu memesan.

Pesanan sudah diantarkan. Suasana tadi cukup memanaskan. Tidak ada yang bicara, Livia fokus membaca kepada novelnya, Zoey berusaha bergabung bersama Livia, dan Claire berusaha untuk meredam kecemburuannnya. Cukup sunyi.

"Tadi seru, ya!" Ujar Zoey. Mereka pulang kembali ke asrama. "Terimakasih, ya. Sudah mau mengajakku jalan," katanya. Claire tersenyum, Livia mengangguk.

"Liv, besok jalan lagi ya!" Kata Zoey riang. "Hah? Mungkin tidak. Aku banyak kerjaan." Livia beralasan. Claire lagi-lagi cemburu.

Tak lama lagi, mungkin, tali persahabatan mereka akan putus.

"Baiklah," Zoey pasrah. "Kau masih dapat bersama Claire." Ucap Livia berusaha mendukung sahabatnya itu. "Kurasa tidak. Mungkin lain kali saja, ya, Claire!" Ucap Zoey. Tanpa Zoey sadari, itu melukai hati Claire. Walau hanya satu penolakan kecil, dapat membuatnya sedih lima hari lima malam.

"Kalau begitu aku pulang." Zoey mengakhiri. "Sampai jumpa," sahut Claire. Livia diam saja.

***

Holla!
Thanks for reading!
Jangan lupa vomentnya, ya! Bubay!

You're BloodWhere stories live. Discover now