8

1.2K 78 0
                                    

Livia tertegun. Ia merasa dirinya mematung sesaat, tak dapat bergerak.

"Tatap mataku!" Seru David. Tanpa Livia sadari, matanya bergerak sendiri, menatap dalam ke iris mata David. Pupilnya yang berwarna merah pekat menarik perhatian Livia, itu juga sebuah dimensi lain yang membawa Livia ke ruang waktu masa lalu.

Livia merasa pusing. Ia terbawa ke dalam suasana remang nan sunyi di mata David. Tak lama, ia melihat bayangan di sana. Bayangan masa lalu.

Livia melihat seorang pria berbadan kokoh dan juga seorang wanita di sampingnya. Dia cantik. Mereka memakai mahkota di atas kepala mereka, sepasang Raja dan Ratu. Setelah itu, Livia melihat seorang anak kecil, berambut perak seperti warna rambut lansia. Dia cantik, badannya mungil, dia memakai sebuah Liontin berwarna merah darah di lehernya dan juga matanya yang berwarna merah. Di samping gadis kecil itu terdapat 2 orang anak laki - laki yang mendampinginya. Mereka juga sangat lucu. Berambut coklat dan tatapan yang hangat. Livia berfikir bahwa mereka teman masa kecil yang baik. Livia melihat sekeliling mereka. Livia merasa mereka ada di sebuah kastil yang terbuat dari tumpukan batu-batu.

Saat itu, Livia merasa pergantian waktu yang begitu cepat. Ia berada di scene lain di mana sebuah peperangan besar terjadi dan ia juga merasa bahwa dia memang berada di sana. Livia melihat gadis kecil beserta Raja dan Ratu tadi juga di peperangan itu. Desa itu hancur. Begitupula dengan kastil besar nan megah yang ditinggali mereka, runtuh dalam lautan api. Gadis kecil itu menangis sekencang-kencangnya.

Raja dan Ratu-- Ayah dan Ibu gadis itu membawanya pergi. Dikawal oleh beberapa orang berjubah hitam. Tanpa gadis itu sadari, sebuah bola api meluncur ke arah mereka. Dan sepertinya di sana, ia melihat seorang wanita tua renta yang agak familiar baginya. Wanita tua itu yang melesatkan bola api itu ke arah mereka.

Livia mengeluarkan air mata. Antara rasa iba ingin membantu dan melihat tanpa membantu karena itu hanyalah sebuah kilasan masa lalu yang singkat.

Raja itu berhenti bersama beberapa pengawalnya. "Pergilah! Aku akan menghadang mereka." Ujar Sang Raja. Ratu mengangguk. Ia membawa sang Putri Kecil tadi menjauh dari kota dan pergi ke hutan belantara yang digandrungi oleh pohon - pohon ek besar. Suasana darah dan pertempuran tidak lagi terlihat dari hutan itu. Gadis kecil itu juga melihat dua teman lelakinya berlari di depannya bersama beberapa orang lain--Vampire.

Sang Ratu dan Gadis kecil tadi tetap menyusuri hutan yang penuh dengan semak. Tapi perjalanan mereka terhadang oleh sesuatu. Sang Ratu menyembunyikan gadis kecil tadi ke balik semak - semak. "Apapun yang terjadi, Ibu mohon jangan bersuara, Oliver. Sembunyikan liontinmu." Ucap Sang Ratu.

'Oliver?'
Hal ini yang menyebabkan Livia tersadar bahwa Gadis kecil itu adalah dirinya. Tetapi ia masih belum yakin karena ia sama sekali tidak mengingat kejadian lampau yang membuatnya bertemu dengan Ayah maupun Ibunya.

Kemudian Gadis kecil tadi melingkupkan badannya, memeluk lututnya dan melihat Ibu-- Sang Ratu di luar semak sambil melihat sekeliling. Sang Ratu terlihat sangat cemas. Dari arah lain, datang seorang wanita cantik pula, berbadan ideal dan turun dari sapu terbang. Bagaimana mungkin? Seorang penyihir?

"Hei, hei." Ucap wanita penyihir itu.
"Aku rasa aku sangat beruntung kali ini. Aku menangkap tangkapan besar." Sambungnya.
"Menjauhlah! Tinggalkan tempat kami!" Balas Sang Ratu.

"Tidak bisa begitu, Ratu. Kau tahu? Bangsa Vampire telah menghianati perjanjian." Ujar Penyihir itu diselingi dengan tawa jahat yang menggema di hutan. Gadis kecil tadi tampak takut. Ia hanya mendengar dan mengintip dari celah kecil semak-semak.

"Kumohon, atas nama keluarga Carolline, kami akan mengganti rugi segala kesalahan Hudson." Kata Sang Ratu sambil meringkuk di tanah. Tetapi penyihir itu tetap tidak menggubrisnya dan tersenyum licik.

Tawa Sang Penyihir itu bergema lagi, "Well, well," ucapnya. "Tentu saja kami tak akan melakukan hal ini jika Sang Raja baru itu tidak mencuri benda pusaka kami." Sambung penyihir itu.

"Tetapi semua ini bisa dibayar, Millie. Kau dan keluargamu dapat membayarnya." Kini sang penyihir menunduk. Ia mengarahkan jari telunjuknya dan menyentuh dagu sang Ratu. "Tentu saja dengan nyawa Carolline!" Semakin besar tawa penyihir itu. Rasanya bulu kuduk Livia ikut berdiri. Suara para gagak mulai berdecit dan pergi dari hutan. Suasana sunyi.

"Ratu Millie, terimalah kenyataan pahit ini. Suamimu telah mati. Maafkan aku.." Ujar Sang Penyihir dengan wajah memelasnya. "..Dan sepertinya kau juga harus menyusul dia!" Sebilah tongkat dengan permata zamrud di angkat sang penyihir. Entah darimana tongkat itu berasal. Sang Penyihir itu mulai mengucapkan mantra.

Sang Ratu terangkat naik ke udara. Lehernya seperti dikait sesuatu. Livia ingin saja membantu tetapi ia tak bisa. Cukup rasa penyesalanya untuk melihat kebahagiaan mereka hilang. Sang Ratu berteriak, lalu terhempas di tanah. Ia sudah tak bergerak lagi. Sang Ratu terbaring dengan gaunnya yang masih menghiasi dirinya. Seakan dia tidur seperti Putri tidur.

Kini Sang Penyihir mengatur nafasnya. Melihat mayat Sang Ratu tanpa merasa bersalah dan merasa kemenangan berpihak pada Bangsa dia. "Aku menang," desisnya. "Bangsa Penyihir menang!" Teriaknya disusul oleh tawanya yang selalu membuat bulu kuduk ikut merinding.

Sang Putri masih bersembunyi di semak-semak. Ia tidak mengeluarkan air mata sebab ia tidak tahu apa-apa. Ia menuruti kata Ibunya, Sang Putri tidak bersuara maupun berteriak. Tetapi Ia melakukan suatu kesalahan, bergerak.

Gadis itu melihat seekor ular di samping semak tempatnya bersembunyi. Ia takut jika digigit sehingga ia memilih bergeser dari tempatnya semula. Tapi hal yang tak dia inginkan terjadi, ketahuan.

Srek.. srekk..
Bunyi semak-semak langsung menghentikan tawa Penyihir. Penyihir itu langsung mencari sumber suara dan melihat sekeliling. "Aku tahu, Putri Kecil, keluarlah!" Ucap Penyihir. Gadis itu takut dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Tak perlu takut. Ayo kita bermain?" Ucap Sang Penyihir bak sikap pemanis itu. Gadis itu tanpa ragu langsung keluar dari persembunyiannya. Ia menatap takut kepada Sang Penyihir namun tak lama memegang tangan penyihir itu. "Aku akan menjagamu, Oliver." Kata penyihir itu lalu tersenyum layaknya seseorang yang berbahagia.

Saat gadis kecil itu pergi bersama dengan penyihir. Terlihat pula Sang Penyihir mulai mengganti wujudnya menjadi seseorang yang terasa familiar bagi Livia.

"Berhenti disitu!"

Olivia yang sedang berada dalam dimensi ruang waktu itu langsung tersadar karena suara yang menyuruhnya agar berhenti. Ia masih merasa pusing. Tapi tak lama, penglihatannya yang semula memudar kembali melihat normal.

"Jade?" Ucap Livia kaget.
David langsung mengembalikan matanya menjadi warnanya yang normal. Jade mendekat ke arah Claire yang bingung dan kaget karena sempat melihat mata David yang berwarna merah. "Claire," sapanya. "Kau akan melupakan hal yang terjadi malam ini." Sambung Jade lalu melentikan jarinya dan menyentuh dahi Claire. Claire langsung pingsan dan terbaring di lantai. Ia tak sadarkan diri.

Jade lalu mendatangi David. "Apa yang membuatmu percaya diri untuk melakukan hal ini, David?" Jade membuka suara.
"Aku hanya ingin membantu Livia mengingat," jawab David seakan dia tak melakukan kesalahan sedikitpun. "BUKAN DENGAN BAHAYA SEPERTI INI!" Teriak Jade lantang. "Kau tahu kan kalau memperlihatkan mata itu terhadap manusia dapat membuat kutukan atau yang lebih parah lagi?" Ucap Jade. "Tapi aku hanya memperlihatkannya pada Livia!" Protes David.

"Bagaimana dengan Claire? Astaga, sebodoh apa adikku ini ya Tuhan." Jade mengucap-ucap. "Kau hanya perlu menjelaskannya. Lagipula kau tidak perlu yakin dulu kalau Livia memanglah seorang Vampire. Kau tidak tahu keadaannya, David" ucap Jade.

"Itu memanglah aku" Livia memutuskan perkelahian adu mulut mereka. "Aku punya liontin itu," sambungnya.

Livia lalu beranjak dan pergi ke lemari. Ia membuka laci miliknya dan membuka sebuah kotak penyimpanan kecil. Di situ ia mengambil sebuah kalung liontin kecil berwarna merah darah dan bersinar terang. Sangat cantik.

Jade dan David langsung terkesima dan menatap Livia. "Ini tidak mungkin," ucap Jade.

***

Holla! Tbc!
Terimakasih buat kalian yang udah nyempatin waktu buat membaca yah. Jangan lupa vote atau comment supaya akunya lebih bersemangat lagi buat lanjutin (hehe).
See you next part!

You're BloodWhere stories live. Discover now