Langit bukannya pergi ke kelas atau ke perpustakaan untuk mengerjakan makalah yang disuruh Bu Tina, pria itu malah berjalan dan memasuki kantin. Kertas polio yang tadi diberikan Bu Tina malah ia lipat-lipat dan dimasukkan ke dalam saku celananya.
Langit sama sekali tidak mempedulikan hukuman yang diberikan Bu Tina. Yang sedang ia pikirkan sekarang ini adalah perutnya yang lapar.
"Bibi imut saya mau beli batagor satu sama es teh manisnya. Jangan manis-manis ya Bi teh nya, nanti saya diabetes lagi. Kalau saya diabetes, nanti yang godain Bibi nggak ada lagi dong."
Begitulah Langit, terlalu banyak becanda dan sering menggoda siapa pun. Mulai dari guru, murid, penjaga kantin. Bahkan Pak Satpam saja sering ia goda.
Bi Eni tersenyum, perempuan berusia setengah abad itu merasa tersipu malu telah digoda oleh Langit. "Ah, Langit bisa saja. Bibi kan jadi malu kalau dibilang imut, padahal kan Bibi udah tua."
Iya Bi, Bibi emang udah tua. Nggak ada imut-imutnya sih, untung aja Bibi nyadar diri. Langit bergumam di dalam hatinya. Meskipun begitu ia tetap tersenyum pada Bi Eni dan segera pergi ke meja di pojok.
"Gue harus duduk di pojok, biar nggak ada yang liat. Biar nanti kalau seandainya Bu Tina ke kantin, die nggak ngeliatin gue." Langit berbicara pada dirinya sendiri.
***
"Gimana Fath, lo udah nyamperin Bu Tina?" Nuni langsung melempari pertanyaan saat Fathiya baru masuk kelas. Perempuan itu sedari tadi sedang merasa cemas, takut ada apa-apa pada Fathiya. Bagaimana tidak, Fathiya itu perempuan baik berjilbab yang tidak pernah membuat keributan. Terus tiba-tiba dipanggil ke BK karena disangka berbuat onar.
"Sudah Nun." Fathiya segera duduk di bangkunya, tepat di samping Nuni.
"Gimana-gimana? Bu Tina bilang apa ke lo?" Nuni memajukan wajahnya mendekati Fathiya, tangannya segera menyingkirkan poni yang menutupi alisnya. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar penjelasan dari Fathiya.
"Wina salah faham, seharusnya dia panggil memanggil Langit. Bukan aku."
"Loh kan, nama lo juga kan Langit Fathiya---,"
"Hanya 'Langit' saja namanya, tanpa ada Fathiya dan Muchtar. Kalau nggak salah dia itu anak kelas sepuluh."
"Omayyggattt! Jadi sekarang lo udah punya saingan nama nih. Di sekolah ini kan cuman lo yang namanya Langit, sekarang ada juga yang namanya Langit. Gue jadi penasaran sama si Langit anak kelas sepuluh itu. Dia cewek atau cowok!"
"Cowok!"
"Ganteng?"
"Ganteng, dia kan cowok!"
"Ih bukan gitu ... lebih ganteng mana sama Farra?"
Mendengar nama 'Farra', Fathiya langsung tersentak. Lalu ia menatap Nuni.
"Kalau itu relatif. Semua cowok juga ganteng Nun, udah ah jangan ngebahas cowok."
"Oke deh oke ... Fath, gue laper nih. Anterin ke kantin yuk!" Nuni memasang wajah memelas seraya memegang perutnya.
"Belum istirahat Nun."
"Dua menit lagi juga istirahat, Wina juga bakalan ngizinin kita ke kantin kok."
"Apa lo, Nun? Manggil-manggil nama gue." Wina yang berada tepat di samping Nuni langsung menatap tajam ke arah Nuni.
"Enggak kok Win, gue cuman mau bilang kalau gue laper. Gue sama Fath izin ke kantin ya. Laper nih."
Wina tampak menggeleng sambil memelotot. Ia melihat jam di dinding. Dua menit lagi istirahat, "Kali ini gue izinan lo-lo pada buat ke kantin."
"Yuhuuu! Makasih Wina garang yang cantik." Nuni segera berdiri seraya memeluk Wina pelan. "Lo emang 'kaem' yang TOP BGT."
"Udah ah, lo sana pergi! Jangan peluk-peluk gue! Jijik!"
"Fath, yuk ah! Kita ke kantin." Nuni segera menyambar tangan Fathiyah dan menyeretnya ke kantin.
***
Karena bel istirahat belum berbunyi. Kantin masih sepi pengunjung, biasanya kalau sudah istirahat pasti penuh.
"Fath lo mau beli apa? Gue mau beli nasi bakar." Ucap Nuni seraya mengarahkan pandangannya pada Mang Doni yang sedang duduk teremenung, karena nasi bakarnya belum ada yang laku.
"Aku mau beli batagor saja, tadi udah sarapan. Jadi nggak lapar-lapar amat."
Lalu keduanya berpisah. Beda arah. Nuni belok ke kiri menghampiri Mang Doni, sedangkan Fathiya belok ke kanan, menghampiri Bi Eni.
"Assalamualaikum Bi." Fathiya memang tidak pernah bosan untuk menyebar salam, siapa pun orangnya, ia pasti akan mengucapkan salam. Ia juga menghormati setiap orang yang umurnya lebih tua. Tidak peduli itu guru, penjaga sekolah, penjaga kantin atau siapa pun itu.
Kepribadian Fathiya yang ramah juga didukung dengan parasnya yang cantik. Kulit wajahnya yang kuning langsat itu semakin bersinar karena rajin berwudhu. Prestasi akademiknya juga jangan diremehkan, ia juga masuk ranking satu di kelas, berturut-turut. Dari semester satu sampai dua. Hanya saja, Fathiya tidak ramah pada 'pria'. Ia tergolong jutek dan nggak mau tahu soal cowok-cowok.
"Waalaikumsalam Neng Fathiya. Neng mau pesen batagor kan?" Bi Eni langsung tersenyum ramah pada Fathiya.
"Iya Bi, saya mau pesen batagornya satu. Pakai pedesnya yang banyak ya Bi."
"Siap Neng, Bibi laksanakan!"
Tiba-tiba saja muncul Langit di samping Fathiya. Wajah pria itu tampak kesal, "Bibi imut, mana batagor punya saya Bi. Laper nih Bi, cacingnya udah pada demo, minta diturunin harga BBM."
"Itu batagornya udah ada, tadi Bibi mau nganterin ke Langit. Tapi Langitnya terlalu jauh, Bibi juga nggak punya roket buat ke Langit." Bi Eni tampak tersenyum. Sengaja ia juga menggoda Langit.
"Ah Bibi mah bisa aja!" ucap Langit tersenyum jail. "Bi ini udah pake pedes belum?"
"Belum!"
Fathiya yang ada di sana hanya bisa berdiri seraya melihat tingkah laku Langit yang membuatnya ilfeel.
Langit mengambil sebuah botol yang berisi cabe bubuk. Lelaki itu tampak kesulitan mengeluarkan cabe di dalam botol plastik itu.
"Kok nggak mau keluar sih? Heii lo, cabe bubuk. Cepetan keluar lo, jangan bikin gue marah!" Langit memegang botol itu dan menghadapkannya di depan wajahnya, lalu detik berikutnya ia memijit-mijit botol plastik itu di udara.
"Arggghhh!" Fathiya menutupi matanya yang terasa perih. Langit salah! Langit memijit-mijit botol itu di udara dengan posisi lubangnya mengarah pada Fathiya. Alhasil serbuk cabe itu mengenai Fathiya tepat di sekitar matanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Terlalu Pagi
Spiritual"Gue Langit, anak kelas sepuluh ipa tujuh." Langit mengulurkan tangan, bibirnya melengkung bak bulat sabit sempurna. Matanya sedikit berbinar, "lo siapa?" Perempuan itu tak menyambut uluran tangan langit, ia menyatukan kedua telapak tangannya di dep...