"Fathiya ... Fathiya ... Main yuk!" Langit dengan polosnya berteriak seperti itu tepat di depan kelas Fathiya. Untung saja yang lainnya sudah pulang, jadi Fathiya tidak merasa malu akan hal itu.
Nuni yang mendengar teriakan Langit segera menyenggol bahu Fathiya yang sedang memasukkan buku ke dalam tas, "Fath, denger tuh. Doi lo udah dateng."
Fathiya tidak menjawab, ia hanya menatap Nuni seolah tidak peduli.
"Kayaknya akhir-akhir ini lo makin deket aja sama Langit. Apa jangan-jangan lo punya hubungan spesial ama bocah itu?" Nuni semakin bersemangat untuk menggoda Fathiya yang tampaknya semakin kesal.
"Nun aku duluan, ya. Berisik banget denger Langit teriak-teriak gak jelas gitu." Fathiya langsung memakai tas di punggungnya, ia segera berlari menuju pintu kelas.
Sayangnya, Fathiya terlalu kencang berlari. Ia tidak melihat bawah dan memerhatikan roknya, ia menendang kaki meja dan membuatnya tersungkur tepat di depan pintu.
Sekali lagi, untung tidak ada banyak orang. Jadi Fathiya tidak merasa malu. Di kelas hanya ada Nuni seorang.
"Fath, lo gak papa?" Nuni hendak menghampiri Fathiya. Namun ternyata di depan Fathiya sudah ada Langit yang berdiri seraya mengulurkan tangannya. Tiba-tiba saja Nuni nyeletuk. "Pas banget, pangeran lo dateng tuh, Fath."
Mendengar perkataan Nuni, Langit merasa ada yang mendukungmya. "Mau gue bantu, Princes?"
"Princess, Princess, aku ini Fathiya, bukan Princess." Fathiya tidak menggubris uluran tangan dari Langit. Ia memilih pintu di depannya untuk membantunya berdiri.
"Salah lo sendiri sih. Kenapa lo itu cantik kayak peri-peri di dongeng gitu."
"Ya udah sekarang kita belajar di mana?" Fathiya berdiri di samping Langit, sedikit menjaga jarak.
"Di mana aja gue mah oke sih."
"Terserah kamu, nanti aku ngikut."
"Di mall?"
"Mau belajar atau belanja?" Fathiya menaikan kedua alisnya.
"Cafe?"
"Emangnya mau ngopi apa?"
"Restoran?"
"Emangnya mau makan apa?"
"Hotel?"
"Langit, serius ih."
"Gue mah emang dari tadi juga serius, Fath."
"Yang agak logis lah tempatnya."
"Lo ini payah banget sih, Fath. Tadi lo bilang tempatnya terserah gue dan lo bakal ngikut aja."
"Ya tapi gak mesti di cafe, restoran sama hotel juga kali. Apalagi di mall. Tempatnya yang adem gitu. Yang gak banyak orang."
"Yang gak banyak orang? Oh gue tahu, lo mau berdua-duaan sama gue kan?"
"Langit, aku serius."
"Gue bahkan berius-rius." Pandangan Langit beralih pada ponselnya yang bergetar. Ia melihat sebuah pesan dari ibunya.
Fathiya yang merasa kesal dengan Langit hanya bisa diam. Ia membiarkan lelaki itu untuk menatap layar terpaku. Mungkin itu lebih penting dibanding dengan belajar bersamanya.
"Fath, kebetulan di rumah ada nyokap gue. Gimana kalau kita belajarnya di rumah gue aja. Tenang kok, gue gak akan nyulik lo."
"Oke, deh."
***
Rumah Langit sangat besar. Halamannya pun luas. Gerbang saja sudah menjulang tinggi. Ada rasa enggan saat Fathiya hendak memasuki rumah tersebut. Rumah yang terlihat seperti istana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Terlalu Pagi
Spiritual"Gue Langit, anak kelas sepuluh ipa tujuh." Langit mengulurkan tangan, bibirnya melengkung bak bulat sabit sempurna. Matanya sedikit berbinar, "lo siapa?" Perempuan itu tak menyambut uluran tangan langit, ia menyatukan kedua telapak tangannya di dep...