Hujan Segera Reda

926 89 17
                                    

"Hai." Langit berjalan tepat di belakang Fathiya, ia berusaha menyamakan langkahnya dengan perempuan itu. 

Fathiya menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Langit sekilas. Ia lalu tak menghiraukan kehadiran Langit dan segera berjalan kembali.

"Tungguin dong, gue mau kenalin nih sama lo." Langit berlari pelan, menyamakan langkah dengan Fathiya. Ia lalu menghalangi langkah Fathiya dan berhasil menghentikan langkah perempuan itu.

"Langit, jangan halangi langkahku. Aku mau pulang, cuaca sudah mendung." Fathiya mendongakkan kepalanya, menatap Langit yang lebih tinggi darinya.

"Gue cuman mau kenalan aja sama lo." Langit masih menghalangi langkah Fathiya, ia tidak membiarkan sedikit celah pun agar Fathiya hilang dari hadapannya. Langit lalu mengulurkan tangannya, ia tersenyum dengan percaya diri. Senyumannya mirip dengan iklan-iklan pasta gigi di televisi.

Fathiya terdiam sebentar. Lalu memerhatikan lagi, apa yang akan dilakukan oleh Langit.

"Gue Langit, anak kelas sepuluh ipa tujuh." Langit mengulurkan tangannya, bibirnya melengkung bak bulat sabit sempurna, "lo siapa?"

Fathiya tak menyambut uluran tangan langit, ia menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, "Fathiya ... aku kelas sebelah ipa tujuh."

Langit menggaruk kepalanya pelan, ia kira orang yang berada di hadapannya ini seangkatan. Nyatanya tidak. Lalu ia tersenyum garing, "Wah! kita samaan ya. Sama-sama ipa tujuh. Mungkin kita jodoh! Lo jodoh gue dan gue jodoh lo."

"Hanya Allah yang tahu, siapa jodoh seseorang." Fathiya lalu tersenyum sebentar, senyuman yang terkesan dipaksakan. Ia meninggalkan Langit yang tampak salah tingkah mendengar jawaban Fathiya.

"Eh, eh tunggu dulu." Masih tak mau menyerah, Langit mengejar Fathiya kembali. "Lo pulang pake angkot? Angkot nomer berapa?"

"Nol dua."

"Wah samaan juga nih. Asli ini mah, pasti kita jodoh."

Tiba-tiba saja, tanpa permisi, hujan mulai mengguyur. Petrikor tercium dimana-mana. Mungkin karena sudah lama tidak hujan, makanya petrikor yang tercium sangat pekat. Fathiya terpaksa harus berteduh di depan sebuah tempat tambal ban. Ya, biasanya Fathiya memang menunggu angkot di dekat tempat tersebut. 

Sama seperti Fathiya, Langit pun berteduh di tempat yang sama. Ia tampak memasukkan kedua tangannya ke saku jaketnya yang berwarna merah. Ia lalu melihat Fathiya yang tampak kedinginan. Perempuan itu sedang menggosok-gosokkan kedua tangannya.

Langit memutuskan untuk meminjamkan jaket yang sedang ia pakai pada Fathiya. Ia menurunkan resleting jaketnya perlahan. 

Baru saja Langit hendak menempatkan jaketnya di bahu Fathiya, tetapi ia segera mengurungkan niatnya.

"Kamu pakai saja jaketnya, aku tidak memerlukan jaketmu." Fathiya berhasil membuat Langit merasa kesal. 

Seharusnya Fathiya berterima kasih pada Langit. Langit sudah berbaik hati meminjamkan jaketnya. Namun kenyataannya? Fathiya selalu menolak Langit. 

"Oh oke," itu adalah kata yang diucapkan Langit. Ia segera menarik kembali jaket dan memakainya lagi. Ia tidak berniat untuk menanyakan kenapa Fathiya selalu menolak bantuannya. Ia benar-benar tidak mau membuat Fathiya tersinggung.

Keduanya lalu terdiam. Hujan masih belum reda. Langit memutar otaknya, ia mencari topik pembicaraan yang membuatnya tidak terus diam seperti ini.

"Oh ya, gue harus panggil lo Kak Fathiya, atau Fathiya aja? Secara kan gue ini adek kelas lo."

"Terserah kamu."

"Kakak aja deh, biar kesannya gue itu kayak adek emes."

"Adek 'emes'?"

"Lo kudet deh, adek emes itu bahasa gaulnya dari adek gemes."

Saat Langit berkata seperti itu, Fathiya terkekeh. Ia merasa lucu dengan kalimat 'adek emes'.

"Oh ya, lo juga harus manggil gue adek ya."

"Panggil aku Fathiya saja, dan aku manggil kamu Langit. Supaya tidak terkesan kaku."

"Akhirnya lo ngomong juga."

"Dari tadi aku juga bicara kali."

"Iya sih, meski lo ngomongnya nggak sampai lima kata."

"Hujannya sudah reda. Itu angkotnya sudah ada, kamu mau di sini terus atau mau pulang?"

"Lima belas kata. Lo udah ngomong lima belas kata."

"Aku duluan ya." Fathiya tidak menghiraukan perkataan Langit. Ia meninggalkan Langit yang sedang berdiri sambil tersenyum. 

"Eh tunggu!"

Langit Terlalu PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang