Fathiya berhenti tepat di depan ruang BK.
"Kok, lo berhenti di sini sih?" ucap Langit.
"Ini ruang BK-nya, kamu tinggal masuk ke dalam."
"Masuk mah emang ke dalam kali."
"Sekarang kamu sudah tahu kan ruang BK-nya ada di sini, jadi aku mau ke kelas."
"Loh ... loh ... jangan pergi. Anterin gue masuk, gue nggak tahu Bu Tina itu yang mana."
Fathiya mendengus sebal, meskipun begitu ia tetap memabantu Langit untuk menemui Bu Tina.
"Assalamualaikum." Fathiya memasuki ruang BK lebih dulu, ia berjalan dan diikuti dengan Langit.
"Waalaikumsalam." Bu Tina tersenyum pada Fathiya, lalu pandangannya beralih pada Langit yang sedang mengusap-usap rambutnya pelan. "Ternyata kamu pembuat onarnya."
"Hallo Ibu apa kabar?" Dengan santainya Langit meraih tangan Bu Tina dan menyalaminya. Logat bicaranya terkesan seperti sedang bicara dengan orang sebaya. Tidak ada tanda-tanda kalau Langit sedang berbicara dengan guru. "Kenalin Bu, saya Langit. Kelas sepuluh ipa tujuh. Ibu kenapa manggil saya? Oh saya tahu, pasti Ibu ngefans sama saya, kan? Karena itu, Ibu manggil saya. Iya, kan? Jadi sekarang Ibu mau ngapain dulu? Mau minta tanda tangan saya atau selfi dulu?"
Fathiya dan Bu Tina sama-sama mengerutkan kening saat mendengar perkataan Langit. Pria itu terlalu percaya diri.
"Tidak lucu, Langit! Ibu manggil kamu ke sini buat menghukum kamu!"
"Loh kok Ibu mau menghukum saya? Salah saya apa Bu? Saya kan baru sekolah tiga hari, Bu. Masa udah langsung dihukum begitu saja."
"Justru karena kamu baru masuk tiga hari, Ibu mau memberi hukuman pada kamu. Biar nggak ngelunjak nantinya." Bu Tina lalu berdiri, di depan Langit. "Pagi tadi Ibu mendapat laporan dari Juni, kemarin kamu mengempiskan ban motor Juni, kan?"
"Ibu aku nggak mengempiskan ban motor Juni, dianya aja yang nggak hati-hati bawa motor. Jadinya dia ...."
"Sudah hentikan Langit! Ibu tidak akan mempercayai perkataanmu. Kamu jangan suka berbohong pada Ibu." Cepat-cepat Bu Tina memotong pembicaraan Langit, sebelum lelaki itu semakin mengarang ceritanya.
Fathiya yang sedari tadi hanya mendengarkan, langsung tersenyum pada Bu Tina. Ia memilih untuk berpamitan. Tidak enak rasanya, berada di antara dua orang yang sedang beradu mulut, "Ibu kalau begitu saya pamit ke kelas dulu." Fathiya menyalami Bu Tina dengan penuh rasa hormat.
"Oh iya Fath, Ibu lupa kalau ada kamu di sini. Silakan Fath!" Ucap Bu Tina.
"Tidak apa-apa Bu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawab Bu Tina membalas senyuman Fathiya.
"Waalaikumsalam cantik." Ucap Langit. Hal itu berhasil membuat Bu Tina memelotot ke arahnya.
"Sekarang kamu mau menggoda perempuan juga, hah?" Bu Tina menatap tajam ke arah Langit.
"Enggak Ibu. Aku kan cuman becanda. Ibu mah suka baperan gitu."
"Langit...!!!!" Bu Tina berteriak kencang. Ia sudah tidak tahan lagi berhadapan dengan siswa sejenis Langit.
"Sekarang kamu harus bikin makalah tentang menghormati sesama teman, dan adab-adab terhadap guru. Ibu gak mau tahu, kamu harus mengerjakkannya di polio. Jangan diketik. Ditulis tangan. Pake pulpen." Bu Tina menyerahkan dua lembar polio pada Langit.
"Nggak boleh ada yang kosong. Semuanya harus terisi penuh."
"Ibu kok tega banget sama saya, Bu."
"Jangan banyak bicara! Cepat kerjakan. Hari ini harus selesai. Kalau tidak selesai! Kamu tidak boleh pulang ke rumah!"
"Bu kalau nanti saya nggak pulang ke rumah, orang tua saya bakalan nyariin saya Bu. Kasian mereka, nanti mereka akan menyangka kalau saya diculik."
"Laaangggiiiiittt ...!"
"Iya Bu iya, aku bercanda Bu." Langit segera membalikkan badannya dan berjalan keluar.Semua murid yang memenuhi BK itu hanya menatap heran pada Langit dan Bu Tina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Terlalu Pagi
Espiritual"Gue Langit, anak kelas sepuluh ipa tujuh." Langit mengulurkan tangan, bibirnya melengkung bak bulat sabit sempurna. Matanya sedikit berbinar, "lo siapa?" Perempuan itu tak menyambut uluran tangan langit, ia menyatukan kedua telapak tangannya di dep...