Tante Lestari menyapu kanvas di hadapannya dengan kuas yang sudah dia celupkan ujungnya sedikit dengan cat minyak berwarna merah. Matahari siang itu membagi sengatnya melalui jendela yang terbuka lebar. Kebetulan studio ini menghadap ke halaman belakang. Wajahnya yang kaku dan hampa mengikuti perjalanan kuasnya melukiskan kubangan darah yang melingkar di kening sosok pria dalam lukisan tersebut.
Sesekali dia mengisap rokok mentol dengan tarikan yang dalam. Asap rokok itu keluar dari celah sempit bibirnya yang nyaris terkatup, masuk ke kedua lubang hidungnya dan sebagian besar lagi melayang ke udara. Lihai sekali.
Dia melepas batang rokok yang sudah setengah itu dari jepitan bibirnya.
"Kenapa kamu mati, Sayang?" bisiknya nyaris tak sadarkan diri, seolah berbicara kepada lukisan itu, sambil mengembuskan lagi asap rokoknya.
Bel di pintu depan tiba-tiba berbunyi. Tak terdengar keras walau cukup untuk menarik Tante Lestari dari lamunannya.
"Brengsek!" dia mengumpat pelan dalam geraman.
Dia menyurukkan bara rokoknya ke dasar asbak. Ada pancaran rasa gemas di wajahnya. Dia membanting kuasnya ke lantai hingga cat minyak yang menempel di ujung kuas itu memercik ke lantai di sekitar posisi kuas itu terjatuh. Emosinya memang selalu meluap bila keasyikannya melukis terganggu. Dengan langkah pasti dia menghampiri pintu depan (dia selalu lupa kalau pintu pagar jarang dia tutup kembali).
Rupanya yang bertamu adalah Astrid dan Evand. Senyum mereka terlihat kecut karena disuguhi ekspresi tawar darinya.
"Siang, Tante. Kirananya... ada?" sapa Evand takut-takut.
Astrid merasa Tante Lestari memandangnya dan Evand dengan kurang respek.
"Di kamar." Tante Lestari membalikkan badan untuk mendatangi kembali studio kesayangannya.
***
"Kiran...?" panggil Astrid pelan, kepalanya sedikit menyembul di ambang pintu kamar Kirana.
Evand membantu Astrid mendorong pintu agar semakin terbuka lebar, lalu mereka berdua melangkah masuk.
Kirana sedang berdiri di depan ambang jendela yang terbuka, memunggungi Astrid dan Evand. Dia tidak menoleh sama sekali, seperti sedang melamun. Di dekat kakinya terdapat dua buah kardus berisi tumpukan mainan, yang diduga Astrid sebagai mainan Cathy. Tak hanya mainan yang menyembul dari dalam kardus itu tetapi juga kotak-kotak berisi makanan kucing.
Astrid dan Evand menyeberangi ruangan dan berdiri di kanan-kiri Kirana.
Kirana menghela napas sebentar lalu menoleh bergantian dari Astrid ke Evand. "Kabar gue baik-baik aja," kata Kirana sebelum ditanya. Dia lalu membalikkan badan.
"Tapi lo butuh temen. Lo butuh seseorang untuk ngedenger cerita lo," sahut Astrid.
"Astrid, gue, tuh heran deh..." kalimat Kirana terputus di tengah jalan. "Kenapa kejadiannya harus mirip, ya?" lanjutnya setelah terdiam sejenak.
"Apanya yang mirip?" tanya Astrid dan Evand hampir berbarengan.
Kirana menarik napas. "Err... maksud gue, kematian Cathy mirip sama kejadian sebelas tahun lalu. Waktu umur gue sebelas tahun."
"Kejadian apa?" Astrid tak sadar telah mencondongkan tubuhnya.
Evand melihat Kirana menarik napas lagi, lalu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, kemudian melepaskannya.
"Dulu gue punya sahabat cewek. Baik banget, tapi dia selalu kesepian. Selain gue yang jadi temen baiknya, ada kucing peliharaan yang selalu jadi temen baiknya juga," jawab Kirana. "Dia pencinta kucing, sama kayak gue. Dan tiba-tiba aja...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Edelweiss
HorrorAda orang misterius yang telah menusuk kucing peliharaan Kirana sampai mati. Ia meninggalkan secarik kertas yang ditulis dengan darah: "Pembunuh harus dipasung dan dibakar hidup-hidup." Kirana yakin bahwa kejadian itu adalah pola pembunuhan yang per...