5. DUA PEMBUNUHAN, SATU BUNUH DIRI

1K 68 5
                                    


Keesokan harinya Astrid menceritakan apa yang dilihatnya semalam kepada Evand.

Saat itu sudah agak siang dan mereka berdua sedang berada di pojok kantin kampus. Susu cokelat di hadapan Astrid nyaris tak tersentuh. Dia berusaha meyakinkan Evand.

"Lo pingsan?" Evand tidak percaya.

Astrid mengangguk bersemangat. "Ya. Bokap nyokap gue ngedenger jeritan gue. Tapi yang mereka tau, gue cuma ngeliat tikus. Nyokap gue itu orangnya panikan. Gue nggak mau dia kenapa-kenapa! Padahal awalnya gue pengin ngadu yang sebenernya ke mereka...."

Evand berpikir keras sambil menghela napas. "Lo yakin kalo yang lo liat semalem... bukan halusinasi lo? Sori."

Astrid rasanya ingin menyiram wajah Evand dengan susu cokelat miliknya. Dia sudah berusaha menyampaikan ketakutannya tapi Evand masih meragukan kebenaran ceritanya? Benar-benar menyebalkan!

"Vand, mesti berapa ratus kali, sih, gue ngeyakinin lo? Gue, tuh, bener-bener ngeliat dengan mata kepala gue sendiri! Di tangga... ada dia, hantu itu. Hangus, pincang. Ya... pokoknya dia itu Edelweiss bangetlah." Astrid tampak gemas. Matanya menerawang membayangkan kengerian yang dialaminya semalam. Bagaimana sosok menyeramkan itu untuk pertama kalinya menampakkan diri di hadapannya... dan bagaimana itu merupakan pengalaman pertama Astrid melihat hantu....

"Ya udah, nggak usah manyun gitu, dong," pinta Evand sambil tersenyum tipis. "Gue bukannya nggak percaya sama cerita lo. Gue cuma perlu ngebiasain diri aja untuk percaya sama hal-hal yang berbau klenik. Itu maksud gue."

Astrid mengangguk-angguk setuju. Malu sendiri dengan apa yang sudah diyakininya tentang penilaian Evand. Oh, rupanya itu yang berada di dalam pikiran Evand. Kalau begitu, tentulah Astrid dapat memahami bagaimana seandainya dirinya yang berada di posisi Evand. Kita tidak dapat dengan mudah menerima kenyataan yang berada di luar kewajaran, kecuali bila kita sendiri yang mengalaminya.

"Satu-satunya jalan, ya, Kiran," kata Evand.

"Kiran?"

"Ya, kita korek semua informasi dari dia tentang siapa sebenernya Edelweiss."

Astrid melihat seseorang berdiri di balik pilar tak jauh di belakang Evand. "Kiran!" panggilnya sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.

Evand menoleh ke belakang, ekspresinya terlihat terkejut. "Oh, ada Kiran?"

Astrid dan Evand melihat betapa gugupnya Kirana. Gadis itu berdiri kaku dan entah apa tepatnya yang sedang dilakukannya. Apakah dia mengawasi Astrid dan Evand sejak tadi? Entahlah. Kalau memang dia mengawasi mereka, paling-paling dia bingung ingin bergabung dengan Astrid dan Evand atau tidak.

Melihat sikap Kirana yang kikuk, Astrid jadi ragu untuk mengulang panggilannya. Jadi, dia biarkan Evand saja yang memanggil Kirana. Kirana memesan makanan kepada pelayan kantin. Tak lama kemudian, barulah dia membawa segelas es teh manis dan sepiring kecil siomay menghampiri meja yang ditempati Astrid dan Evand.

Kirana duduk dan berusaha tampil tenang. Tapi Astrid menangkap kesan Kirana tidak nyaman berada di antara dirinya dan Evand. Ah, bukankah seharusnya Kirana bersikap biasa-biasa saja mengingat baru semalam dia berusaha meyakinkan Astrid bahwa dirinya tidak mau memusingkan kedekatan Astrid dan Evand?

"Kebetulan banget, nih, ada lo di sini," Evand berkata dengan nada penuh syukur. "Ada yang mau kami tanyain."

"Mau nanya apa?" tanya Kirana tanpa melirik Astrid dan Evand sedikit pun.

Astrid dan Evand bertukar pandang sejenak. Dari mana mereka harus memulai pertanyaan? Edelweiss, seperti yang mereka berdua ketahui, adalah sahabat Kirana di masa kecil. Apakah bertanya-tanya tentang Edelweiss tidak akan membuat Kirana merasa tersinggung?

Rumah Edelweiss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang