Hari sudah menjelang petang. Perpustakaan kampus terlihat sepi. Beberapa mahasiswa tengah menelusuri rak untuk menemukan buku yang dicari. Suasana terlihat tenang seperti biasanya. Penjaga perpustakaan terlihat duduk dengan sunyi di balik mejanya.
Di sebuah meja tak jauh dari sudut perpustakaan, duduklah ketiga sahabat itu: Astrid, Evand, dan Kirana. Masing-masing sedang membaca buku. Namun, rupanya Kirana tidak seserius Astrid dan Evand. Sejak tadi dia curi-curi pandang ke Evand.
"Serius amat, sih?" tanya Kirana pelan.
"Emang udah saatnya kita serius. Sidang skripsi bentar lagi, kan," Evand menyahut pelan tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari buku. "Banyak banget nih referensi yang harus dikumpulin, dan kita bakal berkutat dengan banyak print-print-an dan segala tetek-bengeknya." Nada ucapannya seperti keluhan.
Astrid hanya melirik sedetik ke wajah Kirana yang sedikit kecewa.
"Dua hari lagi kan malam minggu, lo ada acara apa, Vand?" tanya Kirana.
"Nggak ada." Lagi-lagi, Evand tidak menoleh sedikit pun ke Kirana.
"Nonton, yuk?" ajak Kirana.
"Bioskop?" Dengan lucunya Evand malah balik bertanya.
"Ya iya, dong, Vand. Masa nonton kebakaran, sih?"
"Boleh," sahut Evand. "Tapi bertiga sama Astrid, ya."
Telinga Astrid panas rasanya mendengarnya. Ia tidak mau Evand bicara sembarangan, yang artinya dapat melukai perasaan Kirana. Astrid tidak suka jika Evand membawa-bawa namanya. Astrid melihat ke Kirana, dan ternyata, Kirana sedang melempar pandangan ke arahnya. Ada sesuatu di mata Kirana. Cemburukah itu?
"Ogah, ah!" protes Astrid dengan pipi merona merah. Sengaja ia menunjukkan keengganannya agar Kirana tahu, ia membiarkan Kirana berkesempatan untuk nonton berdua Evand. Bukankah sebetulnya itu yang diinginkan oleh Kirana?
"Ya, kan biar rame...," Evand membela diri.
"Tuh, Astrid nggak bisa. Ya udah kita berdua aja." Kirana masih berusaha meyakinkan Evand.
Evand agak kecewa karena tidak mendapat dukungan dari Astrid.
Astrid bangkit berdiri. "Iya, kalian nonton aja, berdua. Masa lo tega sih, Vand, biarin Kirana nonton sendirian?" katanya sambil melangkah menghampiri rak buku terdekat. "Itung-itung ngobatin sakit hatinya...."
"Sakit hati?" tanya Evand.
"Iya, kan abis ditinggal kucing tersayang."
Kirana terdiam pucat. Ia seperti diingatkan pada sesuatu yang tak mau diingatnya. "Yah, gue jadi inget lagi kan sama Cathy."
"Sori, Kiran." Astrid jadi menyesali ucapannya.
"It's okay." Kirana mengangkat bahunya dengan pelan.
Astrid melangkah semakin jauh sambil meraba-raba buku yang dilewatinya. Suara Kirana dan Evand masih terdengar jelas di telinganya dan dia... tidak senang mendengarnya. Dia tidak suka mendengar bujukan Kirana ke Evand...
Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa sesak, jika ia melihat Kirana berduaan dengan Evand.
Tapi....
Ah... sudahlah....
Aku harus mengutamakan kebahagiaan sahabatku sendiri, pikir Astrid. Ia sempat marah pada dirinya sendiri jika pikiran-pikiran aneh itu melintas di kepalanya. Seperti racun yang harus buru-buru ia buang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Edelweiss
رعبAda orang misterius yang telah menusuk kucing peliharaan Kirana sampai mati. Ia meninggalkan secarik kertas yang ditulis dengan darah: "Pembunuh harus dipasung dan dibakar hidup-hidup." Kirana yakin bahwa kejadian itu adalah pola pembunuhan yang per...