8. TERHANTAM

813 62 2
                                    


Astrid lega dirinya sudah terhindar dari perempuan mengerikan itu.

Dia berdiri di depan pagar Rumah Edelweiss yang terkunci. Rumah itu tampak seperti sebuah misteri di tengah kegelapan. Astrid memandang dengan penuh keheranan. Rumah bercat serbaputih itu tidak gelap, ada cahaya lampu dari dalam dan luar rumah itu.

Tiba-tiba dia merasa takut memasuki rumah itu. Dia teringat kejadian yang menimpa dua remaja yang nekat mendatangi rumah itu.

"Persetan! Aku harus memasuki rumah itu, bagaimanapun caranya!" tekad Astrid. Dia berusaha keras mengenyahkan perasaan takutnya. Maka, dia pun mengulangi aksi memanjat pagar seperti yang sebelumnya dia lakukan di pagar rumah Kirana saat berusaha kabur. Dengan penuh kehati-hatian dia memanjat pagar setelah sebelumnya melempar buku harian Edelweiss ke rerumputan di balik pagar.

Saat dia baru setengah perjalanan memanjat pagar, tiba-tiba ada yang menarik kakinya. Astrid terperanjat. Kirana.

"Mau ngapain ke rumah itu?" tanya Kirana.

Astrid menoleh. Kirana melepaskan genggamannya pada kaki Astrid. Astrid melompat turun ke balik pagar lalu menjawab pertanyaan Kirana, "Mau ngembaliin buku harian Edelweiss."

"Gue mau nemenin lo. Boleh?"

"Buat apa? Urus aja nyokap lo sana," sahut Astrid dingin.

"Gue mau ngebantuin lo. Gue nggak berniat ngerebut buku harian itu. Gue cuma kepengin tau aja apa yang ditulis Edelweiss."

Astrid menggeleng setengah percaya.

"Please. Gue berpihak ke lo, kok," Kirana berusaha meyakinkan Astrid.

Astrid mengabaikan Kirana. Dia membalikkan badan, lalu menyeberangi halaman menuju pintu rumah. Kirana menghela napas. Tanpa menunggu lama lagi, dengan hati-hati dia memanjat pagar juga.

***

Meskipun pintu terkunci, Astrid bisa memasuki rumah melalui jendela yang tidak terkunci. Dengan hati-hati dia mengamati suasana di lantai bawah. Perasaannya mengatakan Mbok Irah berada di rumah ini. Kalau tidak ada orang di rumah ini, mana mungkin lampu dibiarkan menyala?

Dia berjalan di lorong dengan perasaan takut. Sunyi sekali di sini. Rumah ini tidak pernah diisi oleh hangatnya sebuah keluarga. Aura kejahatan sangat terasa di rumah ini. Untuk kesekian kalinya Astrid tidak sanggup menerjemahkan perasaannya yang ganjil. Dia semakin hati-hati melangkah. Buku harian Edelweiss sedikit basah terkena keringat dari telapak tangannya.

"Astrid," ada yang berbisik di belakang Astrid.

Astrid segera membalikkan badan. Dilihatnya Kirana menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri.

"Jangan berisik," nasihat Kirana.

Astrid tidak punya pilihan selain pasrah dengan usaha Kirana untuk memberinya bantuan. Tiba-tiba mereka mendengar suara pintu berderit. Dengan gesit Kirana menarik tangan Astrid dan membawanya ke sebuah pintu. Mereka berdua memasuki ruangan di balik pintu itu.

"Kita ngumpet dulu di sini."

Ternyata itu adalah sebuah gudang yang gelap. Barang-barang bekas dan tak terpakai menumpuk di sebuah sudut. Satu-satunya cahaya yang berhasil masuk adalah cahaya lampu yang menerobos melalui ventilasi di atas pintu, membuat garis-garis keemasan di tembok di seberangnya. Astrid memasuki ruangan terlebih dahulu, disusul Kirana yang kemudian menutup pintu.

"Itu pasti Mbok Irah," kata Kirana dengan sangat pelan.

"Ya, gue pikir juga begitu," kata Astrid setuju.

Mereka berdua seperti bicara dengan kegelapan saja karena tidak bisa saling melihat.

"Sebelum terlambat, gue pengin baca buku harian itu."

Astrid merasakan tangan Kirana menggapai-gapai menyentuh tangannya. Setelah menimbang-nimbang selama beberapa detik, Astrid berpikir tidak ada salahnya dia menunjukkan buku itu. Jadi, dia pun menuruti kemauan Kirana.

Kirana menerima buku harian itu dengan puas, lalu lekas bergerak menuju cahaya yang menimpa tembok di seberang ruangan. Diletakkannya buku itu di udara, sejajar dengan arah cahaya. Dia membuka-buka halaman buku harian itu sambil mulutnya berbicara. "Lo udah baca semua?" tanya Kirana serius walau matanya masih terpancang di setiap halaman buku itu.

"Eeeh... hampir semua."

"Isinya tentang apa aja?"

"Ya... banyak."

"Contohnya?" suara Kirana terdengar semakin bergairah.

Astrid memeras otaknya untuk merunutkan apa-apa saja yang tertulis di buku harian itu, terutama peristiwa-peristiwa penting yang terdapat di dalamnya.

"Waktu kita nggak lama lagi, Astrid. Cepet bilang, apa aja yang lo inget di buku ini?"

"Kenapa lo terkesan buru-buru gitu?"

"Gue nggak buru-buru. Tapi makin cepat, kan, makin baik. Mbok Irah bisa berbuat apa aja di luar dugaan kita."

"Oh, masa?" Astrid terkejut walau dirinya tidak akan heran jika Mbok Irah memang seperti itu. "Ya... di buku itu banyak kesedihan sekaligus kebahagiaan Edelweiss. Dia bahagia karena punya sahabat setia kayak elo... Dia sedih karena kucingnya mati. Dia juga ngungkit-ngungkit tentang pembunuhan."

Astrid tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Dia seperti kehilangan perbendaharaan kata di dalam kepalanya. Tiba-tiba saja ada yang bergerak di dekat kaki Astrid dan benda itu menyentuh kakinya. Seekor tikus! Bukan main kaget dan takutnya dia sampai jeritan yang sangat keras pun tidak terhindarkan lagi. Mereka berdua panik karena sudah pasti Mbok Irah mendengar keributan ini.

"Kiran? Lo di mana?" Astrid mencari Kirana yang sudah tidak ada di tempat yang terkena cahaya itu.

Tidak ada tanda-tanda keberadaan Kirana. Tiba-tiba Astrid merasakan ketakutan yang amat sangat. Ke mana Kirana?

Dari arah luar gudang terdengar suara langkah kaki yang semakin lama semakin jelas. Astrid tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

"Siapa di dalam?!"

Suara kemarahan Mbok Irah dari balik pintu gudang membuat tubuh Astrid lemah tak berdaya. Tanpa sadar dia gemetar dan jantungnya berdebar-debar.

"Pasti kamu, ya? Gadis pencuri!"

Astrid menutupi kedua telinganya keras-keras dengan telapak tangan. Matanya terpejam sangat rekat. Bagaimanapun pintu ini sudah dikunci oleh Kirana dari dalam. Astrid berharap Mbok Irah tidak sanggup mengakali pintu itu.

Astrid membuka mata dan melepaskan tangannya. Dia masih belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Kirana. Sementara itu, pintu sudah mulai digedor-gedor dengan kerasnya dari luar.

"Buka! Atau saya bunuh kamu!" ancam Mbok Irah beringas.

Astrid merasa dirinya tak ubahnya seekor burung yang terancam kehilangan sayap. Perkataan Mbok Irah semakin membuatnya yakin bahwa di balik usia yang tak muda lagi dan kulit yang sudah keriput itu tersembunyi naluri seorang pembunuh berdarah dingin.

Astrid tidak tahu harus melakukan apa atau bergerak ke mana. Yang jelas dia masih berdiri kaku di tengah-tengah ruangan.

Kreeek.

Tubuh Astrid semakin melemah saat perlahan pintu itu berhasil dibuka dari luar. Refleks dia mundur dan membalikkan tubuh, mencari sudut ruangan....

"ASTRID, AWAS!!!" Teriakan Kirana yang penuh peringatan terdengar nyaring di belakang Astrid.

Astrid belum sempat membalikkan tubuh ketika tongkat bisbol itu menghantam kepalanya....

***

Rumah Edelweiss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang