Hari sudah mulai petang. Mbak Sari, pembantu di rumah Kirana, baru saja pamit pulang. Ia memang biasanya pulang sore bila pekerjaannya sudah usai. Rumahnya cuma lima belas menit kalau naik angkot. Tapi tak jarang pula ia menginap bila pekerjaan sedang menumpuk. Kini Kirana sedang sendiri. Bagas sedang les. Sedangkan Tante Lestari sedang pergi membeli peralatan lukis.
Kirana menunggu di ruang tamu... Astrid dan Evand sedang dalam perjalanan menuju rumahnya. Mereka datang berdua, dan mestinya Kirana tidak mempermasalahkan hal itu. Namun tiap kali membayangkan Astrid berdua Evand dalam satu mobil... ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Tapi, ia tak mau menganggap hal itu sebagai rasa cemburu.
Suara mobil yang tak asing bagi telinganya, terdengar dari depan rumah. Kirana menyambut ke luar rumahnya, dan memang benar Evand datang bersama Astrid.
"Hei. Ayo kalian berdua masuk," kata Kirana singkat, sebelum ia berbalik menuju rumah, diikuti Astrid dan Evand.
Mereka bertiga duduk bertiga di ruang tamu. Kirana paham dengan raut penasaran di wajah Astrid dan Evand. Evand-lah yang kemudian bertanya duluan.
"Kiran, ada apa... lo manggil kami berdua ke sini?"
Astrid mengangguk setuju dengan pertanyaan Evand. Kirana menghela napas termenung, matanya menerawang, entah apa yang sedang dipikirkannya. Sesaat kemudian ia seperti baru sadar dari renungannya itu dan menatap Astrid dan Evand bergantian...
"Gue teringat masa kecil dulu."
Dalam rasa penasaran, Astrid dan Evand hanya bisa saling tatap sejenak, lalu Evand mengangkat bahu. Keduanya tak mendesak Kirana, karena sama-sama percaya kalau Kirana akan meneruskan ceritanya.
"Gue punya seorang sahabat. Tapi dia udah pergi. Dan sekarang... Gue pengen ngerasain hal yang sama. Gue pengen punya sahabat."
Perlahan senyum Evand mengembang. "Oooh jadi selama ini lo nganggap gue dan Astrid masih sebatas temen?"
Kirana mengangguk sedih. "Gue nggak berhak nganggap kalian berdua lebih dari seorang teman, takutnya... kalian berdua pun cuma menganggap gue sebagai teman."
Astrid menggenggam tangan Kirana penuh pengertian. "Ya ampun Kiran... Lo kayak kita ini siapa aja, sih. Kan tiap hari kita selalu bertiga. Makan sering sama-sama, belajar sama-sama, main pun sama-sama. Ya, kan?"
Kirana sedikit tersenyum dan mengangguk. Dia mengusir keragu-raguannya. "Kalau begitu, kalian berdua nggak keberatan kan, kalau... kita lebih baik bersahabat aja?"
"Sangat nggak keberatan," sahut Astrid.
"Sangat nggak keberatan juga," timpal Evand.
Kirana menjulurkan tangan ke depan... dengan telapak menghadap ke bawah. Astrid menumpuk tangannya di atas tangan Kirana. Lalu Evand menyusul, menumpuk tangannya di atas tangan Astrid. Sesaat Kirana tertegun menahan perasaannya, melihat tangan Evand yang seolah hendak menggenggam tangan Astrid. Kenapa bukan tangan Evand duluan yang menumpuk di atas tangannya? Kenapa harus tangan Astrid...?
Ah... tidak baik bila ia harus berpikir seperti ini. Setidaknya, di situasi seperti ini...
"Best friend forever?" tanya Kirana penuh harap.
Lalu, seakan hendak memenuhi harapan Kirana, Astrid dan Evand menjawab serempak, tegas dan tulus. "Best friend forever."
Tiga tangan yang kini menyatu dalam ikatan persahabatan. Banyak rasa campur aduk di dalam hati Kirana. Bahagia, sedih, dan cemburu. Tapi, Astrid dan Evand tak merasakan apa-apa selain kebahagiaan.
"So, sekarang kita bersahabat, kebahagiaan dan kesedihan kita, harus ditanggung sama-sama," ucap Evand, menenangkan perasaan Kirana sekaligus Astrid.
Kirana melihat Evand tersenyum dengan barisan giginya yang sedikit mengintip, Astrid pun tampak manis dalam lengkungan bibirnya.
Sebuah daun jendela di sisi ruangan tiba-tiba terbanting menutup, membuat jantung mereka bertiga tersentak dalam keterkejutan. Kirana menjerit dan matanya menoleh ke jendela yang tertutup itu. Ia mengelus dada dengan lega.
"Astaga... kirain apa."
"Bikin kaget aja, sialan!" Evand tertawa ngakak.
Astrid pun tampak tersengal. Tentu aja ia juga merasa kaget. Benturan daun jendela itu begitu memekakkan telinga, apalagi di suasana yang setenang ini.
"Cuma angin, kok," hibur Kirana.
Baru saja merasa tenang, tiba-tiba terdengar jeritan seekor kucing dari luar sisi kiri rumah. Kirana tersentak.
"Cathy kenapa, ya!?"
Kirana bangkit berdiri dan berlari keluar rumah. Tanpa pikir panjang lagi, Astrid dan Evand ikut menyusul Kirana keluar rumah. Kini mereka berada di sisi rumah, tepat di depan jendela yang baru saja tertutup. Terlihat kucing Kirana yang lucu, Cathy, sedang duduk meringkuk di bawah jendela itu. Seakan ingin sembunyi di balik pot bunga yang berbaris di bawah jendela itu.
"Cathy... kamu kenapa teriak, sih?" tanya Kirana bingung.
Astrid dan Evand hanya memerhatikan kucing berbulu putih lebat itu. Kirana mengangkat kucing itu dan membenamkannya dalam gendongannya.
"Kamu kenapa, Sayang?" desak Kirana khawatir. Ia celingukan mencari hal-hal yang mencurigakan, semisal ada benda yang baru terjatuh yang mungkin saja telah menimpa tubuh kucing kesayangannya ini. Atau mungkin keberadaan seekor anjing atau sesama kucing di sekitarnya yang ditakuti Cathy sehingga membuatnya meringkuk ketakutan seperti itu. Namun tak ada sama sekali. Hanya ada Cathy di sini.
Apa yang membuatnya teriak...? Dan, apa yang telah membuat daun jendela terbanting begitu mendadak...? Cuma angin, kata Kirana tadi. Ya, cuma angin.
Dari balik lengan Kirana, Cathy menatap takut-takut ke arah rumah itu... rumah yang berada di sebelah rumah Kirana, yang kelihatannya adalah sebuah rumah kosong. Kirana mengikuti arah pandangan mata Cathy, hingga kemudian ia membalikkan badannya dan melempar pandang ke arah rumah itu.
Astrid dan Evand jadi memerhatikan rumah itu, meski belum ada perasaan apa-apa yang dirasakan Astrid. Cathy dan Kirana mengarahkan tatapannya ke titik yang sama, sebuah jendela di lantai dua di rumah kosong itu. Jendela itu terbuka. Ruangan di dalamnya terlihat gelap. Mungkin itu adalah sebuah kamar.
Kini Astrid dapat mengenali rasa takut di wajah Kirana.
"Kiran... lo kenapa?" tanya Evand pelan. Rupanya bukan cuma Astrid yang menyadari ada yang berbeda dengan sikap Kirana.
Kirana menoleh ke Evand, seakan ia tak merasakan apa-apa. Senyumnya begitu getir, seakan ada yang dipaksakan.
"Enggak. Nggak ada apa-apa, kok." Lalu, dipeluknya Cathy dengan erat dan dielusnya tubuh gemuk yang berbalut bulu putih lebat itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Edelweiss
HorrorAda orang misterius yang telah menusuk kucing peliharaan Kirana sampai mati. Ia meninggalkan secarik kertas yang ditulis dengan darah: "Pembunuh harus dipasung dan dibakar hidup-hidup." Kirana yakin bahwa kejadian itu adalah pola pembunuhan yang per...