Jam mungil di atas meja belajar di kamar Astrid menunjukkan sudah pukul 20.47.
Saat itu Astrid sedang menelungkup di atas tempat tidurnya, membaca sebuah buku yang terlihat usang. Belum, dia belum tepat dikatakan sedang membaca sebuah buku. Yang dia lakukan sejak tadi hanyalah membolak-balik halaman, seolah mencari sebuah kata yang bersembunyi di suatu halaman. Buku di tangan Astrid rupanya adalah buku harian, bentuknya mungil. Sampulnya yang hard cover bergambar kepala kucing. Buku itu adalah sesuatu yang terjatuh menimpa sepatunya dari dalam lemari di kamar Edelweiss, yang berhasil diam-diam disembunyikan Astrid ke dalam tasnya, lalu dibawanya pulang.
Wajah Astrid menyiratkan rasa tidak puas. Ini cuma buku harian "biasa". Yang tertulis di sini hanya pengalaman sehari-hari seorang anak yang beranjak remaja. Edelweiss tidak menuliskan hal-hal yang luar biasa baginya. Ataukah saat hal-hal yang luar biasa itu terjadi dalam hidupnya, gadis kecil itu tidak sanggup menuliskannya karena jiwanya terguncang?
Ponsel Astrid berdering, mengagetkan gadis itu. Dia segera menggapai benda itu. "Halo?" sapa Astrid sedetik setelah menekan tombol OK dengan napas yang memburu.
"Belom tidur, kan, lo?" tanya Evand.
Astrid menghela napas. "Belom. Ada apa, Vand?" tanyanya kemudian.
"Nggak... Cuma pengen ngajak lo keluar aja."
"Ke mana?"
"Ya... kita cari aja kafe yang deket-deket sini. Ada yang mau gue omongin ke elo," jelas Evand. "Tentang Rumah Edelweiss."
"Oh, hmmm, oke." Astrid tak perlu berpikir dua kali untuk menerima ajakan Evand, padahal biasanya dia selalu menolak setiap kali Evand mengajaknya pergi.
"Ya udah, siap-siap deh lo. Gue udah di bawah, nih," kata Evand disusul tawanya yang renyah.
Astrid hanya cukup melapisi kausnya dengan jaket sporty dan berlalu meninggalkan buku harian Edelweiss di tempat tidurnya.
Saat Astrid sudah keluar dari kamarnya, sampul buku harian itu tiba-tiba saja terbuka. Pelan. Kemudian lembar pertama buku itu juga terbuka. Disusul lembar kedua, ketiga, dan seterusnya. Bagai ditiup angin. Makin lama makin cepat. Sangat cepat.
Wuuusssh...!
***
Kafe yang dipilih Evand tergolong kecil tapi suasananya menenangkan. Ruangan kafe bernuansa minimalis modern namun tidak terkesan kaku karena di beberapa sisi tergantung lukisan-lukisan.
Sudah pukul 21.35. Pengunjung kafe hanya beberapa orang. Astrid dan Evand duduk berhadap-hadapan di antara dua cappuccino.
"Katanya mau cerita? Kok malah bengong..." tagih Astrid sebal, memergoki Evand sedang memandangnya.
Evand menutupi rasa malunya dengan tersenyum lebar. "Oh, sori. Nggak bengong juga, sih. Cuma agak salah fokus gitu sama kecantikan lo...."
"Apaan, sih, lebay deh," Astrid tampak kesal. "Nggak enak banget didengernya."
Evand tampak malu. "Sori, ya. Gue nggak maksud bikin lo bete."
"Yang pantes bikin lo salah fokus itu Kirana..."
Astrid semakin menekuk wajahnya sehingga senyum Evand pudar perlahan. Agh, kenapa setiap kali Evand berusaha mendekati Astrid, gadis ini seolah langsung menyodorkan Kirana kepadanya? Memangnya ada hubungan apa antara mereka berdua dengan Kirana, selain pertemanan yang erat?
Evand menghela napas pasrah. Dia sengaja mengajak Astrid jalan agar dapat leluasa dengan pendekatannya. Dia memang tertarik pada Astrid, tapi entah mengapa yang lebih memberinya respons justru Kirana. Sialnya, Astrid malah mendukung Kirana agar bisa pacaran dengannya. Tak tahukah Astrid tentang perasaan Evand selama ini? Atau sudah tahu tapi pura-pura tidak tahu? Dan tak mau tahu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Edelweiss
HorrorAda orang misterius yang telah menusuk kucing peliharaan Kirana sampai mati. Ia meninggalkan secarik kertas yang ditulis dengan darah: "Pembunuh harus dipasung dan dibakar hidup-hidup." Kirana yakin bahwa kejadian itu adalah pola pembunuhan yang per...