6. BUKU HARIAN EDELWEISS

992 68 16
                                    


Malam itu juga Astrid mengambil kembali buku harian Edelweiss di lemari kamarnya. Pokoknya dia harus meneliti dengan detail setiap kejadian yang ditulis di dalam buku tersebut. Sesederhana apa pun, pokoknya dia harus membacanya. Siapa tahu saja dia berhasil menemukan catatan yang sebelumnya tidak terbaca oleh matanya.

Sebelum berkurung sendirian di dalam kamarnya, Astrid hanya makan seadanya. Dia bahkan hampir tidak merasakan sup jagung yang melewati tenggorokannya. Dia benar-benar hampir tidak menyadari hal-hal di luar rasa penasarannya akan "Rumah Edelweiss".

Astrid menelungkup di atas tempat tidurnya sambil membuka-buka setiap halaman buku harian itu. Benar saja, rupanya kemarin-kemarin dia telah melewatkan catatan-catatan penting di dalam buku tersebut karena semakin mendekati halaman terakhir, Edelweiss gemar menempatkan catatannya secara melompat-lompat. Setiap catatan dipisahkan oleh satu-dua lembar yang dibiarkan kosong. Mata Astrid terpancang pada sebuah halaman....

Aku takut. Kenapa harus ada pembunuhan? Aku mau mati saja, Tuhan...!

Tidak ada kronologis yang tepat mengenai tanggal, bulan, dan tahun berapa catatan kecil itu dibuat. Tapi Astrid berani bertaruh bahwa catatan tersebut pastilah menceritakan pembunuhan pertama di Rumah Edelweiss. Ya, pasti.

Dalam kalimat singkat itu ada kesan bahwa rasa takut yang dialami Edelweiss telah menyebabkan gadis kecil itu frustrasi, entah bagaimana ceritanya. Jelas, dia seperti tidak sanggup mengatasi masalah yang dialaminya sehingga berpikir kematian mungkin adalah satu-satunya cara agar dia terbebas dari masalah itu. Meskipun kematian itu akhirnya terjadi juga....

Astrid memundurkan halaman demi halaman buku itu, berusaha menemukan catatan penting lainnya.

Ya Tuhan, Om Bram baik sekali. Hari ini dia membelikanku kucing, padahal Kirana tidak dibelikan. Untung saja Kirana tidak iri. Dia makin akrab kepadaku. Semenjak Papa meninggal, Om Bram semakin hari semakin sayang kepadaku....

Astrid terus menelusuri halaman demi halaman. Ia menyimpulkan Edelweiss menuliskan catatan hariannya tidak berurutan. Bisa saja dia menulis catatan terakhirnya di halaman pertengahan. Astrid tak terlalu memedulikan. Dia serius mencari kisah lainnya.

Hari ini kucingku mati ditusuk orang. Aku sedih sekali. Terima kasih, Kirana. Kamu selalu ada untuk menemaniku.

Dan catatan lainnya....

Kirana, jangan pernah tinggalkan aku. Cuma kamu sahabat terbaikku. Mereka selalu mengucilkan aku karena aku cacat.

Dan catatan lainnya....

Aku bukan orang gila. Ya Tuhan, aku bukan orang gila seperti anggapan mereka.

Dan catatan lainnya....

Hari ini Om Bram meninggal karena bunuh diri. Ya Tuhan, berilah ketabahan untuk Kirana....

Semakin banyak Astrid membaca dan memikirkan catatan lainnya, semakin pusinglah kepalanya. Perlahan tapi pasti dia merasakan kantuk yang amat sangat....

***

Kamar Evand memiliki satu kesamaan dengan kamar Astrid, yaitu setiap malam lampunya selalu dipadamkan dan hanya diterangi oleh lampu duduk yang terletak di meja.

Saat itu Evand sudah tidur pulas. Namun, garis matanya yang terpejam, secara perlahan melebar. Masih belum sadar sepenuhnya, dia bingung karena belum tahu apa yang telah membangunkan tidurnya.

Tok... tok... tok....

Terdengar sebuah ketukan dari kolong tempat tidurnya. Mata Evand terbuka dalam satu sentakan saja. Dalam sadar yang belum sepenuhnya dia dapatkan, ada perasaan penasaran yang merasuki dirinya: suara apakah itu?

Rumah Edelweiss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang