Episode 6 - Dia Wanita Gila!

442 15 0
                                    

Kepalaku tiba-tiba sakit di hantam benda tumpul. Kubuka mataku. Terlihat senyum Tia yang puas. Hantaman keras itu dari sepatu ditangannya kekepalaku. Sial! Sempat sempatnya dia seperti itu di suasana yang romantis ini

"Yeh... Kamu kira aku semanja itu." Tia cekikikan .
Secepatnya dia memakai sepatunya dan kemudian berlari. "Eii sial! " Aku memgejarnya

Kalau kamu tahu bagaimana tidak manusiawinya Tia kepadaku. Kamu akan mengeleng dan iba. Namun itulah aku. Dengan segenap hati menikmatinya sebagai mana aku jatuh cinta kepadanya.

Aku berlarian. Dia terus lari dan keluar. Di luar terlihat dia capek. Aku duduk disampingnya. Tia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, peace . Aku yang sesak juga tidak sanggup lagi. Aku diam Tia diam. Kami hanya menikmati Ngarai Sianok. Ah indahnya. Tia menghapus keringatnya. Dia perhatikan aku.

" Kamu kira aku mencium kamu ya?" Tanya Tia
"Eh... Apa salahnya. Kamu kan pacar!"
"Memang pacaran harus ciuman?"
"Itu tanda sayang!"
Jawabku.
"Lalu kamu yakin? Aku sayang kamu?"
Jawab Tia balik bertanya.

Aku bingung. Di ujung lidah aku ingin sekali bertanya. Kamu sayang sama aku? . Namun seberat apapun perasaanku untuk bertanya. Namun aku simpan kembali dalam dalam.

"Kenapa diam?" Tanya Tia.
"Eih lihat ada Monyet lagi penetrasi!" kataku sembari menunjuk gak jelas lalu aku berdiri dan berlari tidak karuan. Sekilas aku lihat Tia hanya duduk. Dia tersenyum sesaat lalu mengejarku.

"Ei jangan di ganggu siapa tahu itu monyet bulan madu" katanya dari belakang
"Bukan mau ganggu cuma pengen tahu mereka itu saudaraan gak sama kamu" jawabku sembarangan.
"Eih! Si anying! Tunggu!" Tia kesal.

*****

Kalau pagi kota ini memang sepi. Apalagi ini bukan libur. Seru rasanya bila tidak berdesakan. Dari Ngarai yang indah. Tia mengajakku ke arah pusat. Kami masuk kedalam gerai pasar. Mengikuti jalanan menurun lalu berbelok. Tibalah kami di pasar Lereang , suatu istilah bahasa yang menunjukan tempat yang miring. Disana pusat perbelanjaan barang bekas. Mulai dari baju, celana, sepatu, sendal ,topi ,tas, dan aksesoris. Semua ada. Aku tak suka disini. Bagiku hal aneh apabila memakai pakaian seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan banyaknya bakteri dan virus. Namun perasaan jijik ini harusku tahan. Aku tidak mau terlihat seperti anak mami di hadapan Tia.

Dengan serabutan Tia mulai mengusai seluruh toko. Dia begitu jeli dan benar-benar pemilih. Sungguh kakiku sudah tidak sanggup lagi mengikutinya. Namun aku tidak mau di tertawakan oleh Tia. Kakiku bertahanlah! Dan kau Tia, berikan sejenak waktu istirahat.

Nyaris 2 jam aku dan Tia disini. Sedang aku yang sudah seperti zombie. Tapi tia masih seperti tikus got yang masuk ke gudang makanan. Tasnya yang pipih sudah mulai berisi. Satu dua kantong sudah di pegang. Tiga dan empat aku yang memegang. Pasar yang tadi lengang kini sudah ramai riuh. Tak jarang aku tergencet diantara dua pinggul ibu-ibu yang sama persis seperti rombongan badak bercula satu mencari makanan. Aku tidak mengerti dengan pola belanja perempuan. Seperti Tia. Dia melihat satu baju yang bagus. Kemudian dia memutari seluruh beluk pasar. Lalu membeli satu baju. Yang pertama kali dia lihat! Tapi jangan sekali sekali kamu mempertanyakan persoalan itu. Tikus got yang sibuk mengumpulkan makanan itu akan berubah menjadi anjing yang akan lelolong soal matematika, akutansi dan manajemen ekonomi jika ditanya soal gaya berbelanjanya yang ribet.

Lututku sudah mau copot sebelum akhirnya Tia berhenti. Ada satu karung barang kali pakaian yang dia beli. Kali ini dia lapar. Kami duduk di makanan ala amerika di sudut monumen jam yang menjadi ikon kota ini. Aku mau nasi kapau , tapi ini kencan pertama. Mana mungkin aku mengajak dia di los lambuang , los pusat kuliner khas suku bangsa lereng gunung merapi. Sebaiknya aku melihatkan kegantenganku dengan membawa dia makan ayam goreng ala paman sam.

Kami duduk di jendela yang menghadap monumen jam itu. Aku seperti mobil traktir yang nyetem. Aku duduk seduduk-duduknya mengeluarkan seluruh kepenatanku mengikuti Tia.

Teng, teng,....

Jam itu berbunyi dua kali. Tanda bahwa sekarang sudah pukul dua. Tia sibuk dengan minum pepsi dengan pipetnya. Matanya tertuju ke lingkaran jam itu. Kakinya digoyangkan seperti seorang anak kecil keriangan. Aduh Tia, kamu manis sekali.

"Roy. Kenapa jam itu aneh ya.?" Tanyanya padaku
"Aneh kenapa" jawabku sembari merobek paha ayam dengan tanganku.
"Iya. Lihat. Itu angka empat. Kenapa ditulis IIII . Bukannya ditulis IV?" Tanyanya sembari menunjuk angka yang ganjil itu

Sejujurnya aku baru tahu hal itu. Memang Jam Gadang bukanlah pertama kali aku lihat. Sedari pertama aku mengingat aku sudah sering kesini. Minimal sekali ketika libur. Atau minimal saat lebaran dan berta.asya dengan keluarga.

"Ah, kenapa ya. Mungkin tukangnya usil, hehe" jawabku sepele
Muka Tia berubah serius
"Masak sih anak IPS macam kamu tak tahu." Tanya Tia

"Ya aku maunya IPA. Nilaiku saja yang tak cukup." Jawabku ngawur
"Selamat ulang tahun Tia." Aku membuka kotak yang sudah kupersiapkan. Isinya hanya cincin.

Tia bengong. Lalu alisnya mengkerut. Dia tersenyum di ambilnya cincin itu. Lalu di pakainya. Kelihatanya dia suka. Aku cukup senang.

"Apa permintaanmu" tanyaku.
Tia melihatku. Lalu tersenyum. Dari senyumnya seperti nenek sihir. Aku tahu dia akan meminta hal yang aneh aneh lagi.

"Kalau gitu sekarang juga kamu kebawah. Tanya sama tukang foto itu kenapa dengan angka empar jam itu !" Suruhnya
"Ah, kamu gila. Aku masih capek Tia!" Jawabku terkejut
"Pokokny kamu tanya atau aku teriak-teriak?" Katanya membalas.

Aku tahu Tia gila. Namun gilanya kali ini benar benar diluar batas manusia menurutku. Kalau kamu angap aku lelaki pengeluh. Ya benar! Kali ini aku mengeluh. Namun aku tidak berani berkata kata. Aku tahu Tia pasti benar benar teriak. Dan seluruh pelangan restoran akan melihatku. Pak satpam akan menangkapku. Aku dibawa kekantor polisi. Lalu di penjara. Tidak. Aku masih punya negara yang harusku bela.

Aku segera melompat dari kursiku. Sebetulnya itu lompatan yang tidak perlu. Namun entah kenapa aku begitu. Andai saja hal ini bukan di tahun 2007 tapi 2017. Mungkin aku hanya akan mengeluarkan telepon pintarku
"Oke Google! Kenapa huruf romawi di jam gadang salah"
Namun sayang. Sekali lagi kukatakan kepadamu ini tahun 2007. Teleponku hanya 3315. Dengan pulsa perdananya yang hampir setengah juta rupiah.

Aku keluar dan kutanyai satu persatu tukang foto keliling. Tak juga ku temukan jawabannya. Apa aku harus bertanya kepada dinas pariwisata? Namun aku juga malas.

Dari bawah aku melihat Tia lewat jendela besar di lantai dua itu. Dia memperhatikan cincinku. Ah senangnya bila hadiahku disukainya. Tapi di pandanganya terlihat jelas bahwa fikirannya jauh menerawang. Namun dia tersenyum dan memakai cincin itu. Disatu sisi kota ini sudah menjadi kenangan aku dengan Tia.

JOMBLO RADIKAL The Series  Vol 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang